Info Penting! Transaksi Penggunaan Uang Kartal akan Dibatasi
Legislasi:

Info Penting! Transaksi Penggunaan Uang Kartal akan Dibatasi

Pemerintah menyusun sebuah RUU yang memuat pembatasan dan pengecualian transaksi penggunaan uang kartal. Berharap dibahas intensif di Senayan pada 2016.

Oleh:
MUHAMMAD YASIN
Bacaan 2 Menit
Sosialisasi RUU Pembatasan Transaksi Uang Kartal di Ditjen PP Kementerian Hukum dan HAM Jakarta, Kamis (30/7). Foto: MYS
Sosialisasi RUU Pembatasan Transaksi Uang Kartal di Ditjen PP Kementerian Hukum dan HAM Jakarta, Kamis (30/7). Foto: MYS
Pemerintah tengah menyusun Rancangan Undang-Undang tentang Pembatasan Transaksi Penggunaan Uang Kartal. Salah satu materi RUU ini adalah membatasi transaksi langsung atau tunai dalam jumlah nominal tertentu. Pembatasan transaksi ini dinilai memberikan banyak manfaat bagi Pemerintah, termasuk mencegah kejahatan korupsi dan pencucian uang.

Draf sementara RUU ini sudah disosialisasikan Pemerintah dengan melibatkan tim penyusun di Jakarta, Kamis (30/7). Para pemangku kepentingan memberikan sejumlah masukan dalam sosialisasi yang berlangsung di kantor Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-Undangan (Ditjen PP) Kementerian Hukum dan HAM. RUU ini akan melengkapi pengaturan penggunaan uang setelah sebelumnya Indonesia memiliki UU No. 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang, dan UU No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.

Ketua Tim Penyusun RUU ini, Yunus Husein, memaparkan RUU Pembatasan Transaksi Penggunaan Uang Kartal disusun untuk banyak keperluan. Sehari-hari terbukti pembayaran dengan uang tunai  merepotkan. Contoh sederhana adalah antrian pembayaran di jalan tol.

Contoh lain yang banyak disorot adalah kasus-kasus suap yang diungkap Komisi Pemberantasan Korupsi. Pelaku menyuap penyelenggara negara miliaran rupiah dengan uang kontan. Dalam operasi tangkap tangan KPK berhasil ditemukan uang cash dalam jumlah sangat banyak. Bayangkan betapa repotnya menarik uang kartal, membawa, dan menyerahkannya kepada penyelenggara negara penerima suap. “Banyak energi terbuang sia-sia dan tidak efisien,” jelas Yunus.

Sinyalemen Yunus dibenarkan Irvan Yustiavandana. Direktur Pemeriksaan dan Riset Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) ini mengungkapkan kasus-kasus yang dianalisis PPATK selama ini menunjukkan transaksi tunai masih sering dilakukan. Dari 210 Laporan Keuangan Tunai (LKT) yang dianalisis PPATK, misalnya, 152 (72%) berkaitan dengan perbuatan korupsi. Artinya, transaksi tunai seringkali dipakai untuk melakukan kejahatan. Menurut Irvan, sistem cash jadi pilihan karena pelaku paham resiko transaksi melalui lembaga jasa keuangan.

Bagi Pemerintah, pembatasan transaksi uang kartal bisa membantu pencegahan tindak pidana korupsi dan pencucian uang. Layanan publik pun bisa lebih cepat dilakukan. Dan tak kalah penting adalah efisiensi pencetakan dan peredaran uang. Kalau pembayaran tunai semakin berkurang, Bank Indonesia bisa menghemat bahan baku pencetakan uang dan berhemat tempat penyimpanan uang.

Karena itu, salah satu urgensi RUU ini adalah demi efisiensi, keamanan, dan kecepatan bertransaksi. RUU ini diharapkan bisa membangun masyarakat yang sadar penggunaan uang non-tunai (cashless society). Namun yang tak kalah penting adalah mencegah tindak pidana korupsi dan tindak pidana pencucian uang. Konsiderans RUU menyebut secara gamblang urgensi ini. “Penggunaan transaksi keuangan non-tunai melalui lembaga keuangan bermanfaat untuk membatasi penggunaan transaksi keuangan tunai untuk tujuan tindak pidana atau menjadikannya sebagai sarana pencucian uang”.

Salah satu norma hukum yang dimuat  dalam RUU ini adalah kewajiban melakukan pembayaran secara non-tunai untuk setiap transaksi dalam jumlah 100 juta rupiah atau lebih. Kewajiban ini berlaku baik untuk perseorangan maupun untuk transaksi orang dengan penyedia jasa keuangan dan penyedia barang/jasa lainnya. Kewajiban ini hanya berlaku jika transaksi dilakukan di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Anggota tetap Kamar Dagang dan Industri Indonesia (Kadin), Adler Haymans Manurung, sepakat bahwa pada dasarnya RUU ini mendorong efisiensi. Terutama efisiensi pencetakan, peredaran, dan penggunaan uang tunai. Tetapi bagi Guru Besar Universitas Bina Nusantara ini, yang paling penting adalah pendidikan untuk membuat masyarakat sadar atas manfaat pembayaran non-tunai. Kesadaran itu bisa terbentuk jika Pemerintah juga memberikan contoh yang baik. Misalnya, pembayaran pajak, baik perseorangan maupun perusahaan, sebaiknya menggunakan mekanisme transaksi non-tunai. “Pemerintah harus memberikan contoh,” ujarnya.

Dirjen Peraturan Perundang-Undangan Kemenkumham, Wicipto Setiadi, mengingatkan RUU ini sebenarnya sudah masuk Program Legislasi Nasional 2015-2019. Ia berharap naskah RUU segera dirampungkan agar bisa dikirimkan ke DPR. Semakin cepat dirampungkan, proses pembahasan semakin cepat dilakukan. Wicipto juga berharap RUU Pembatasan Transaksi Penggunaan Uang Kartal bisa dibahas dan menjadi prioritas legislasi 2016 mendatang. Ia optimis jika proses penyusunan berlangsung dengan baik, harapan itu bisa terwujud. “Tinggal mendorong sedikit saja,” kata Wicipto dalam pidato pembukaan sosialisasi RUU ini di Ditjen PP, Kamis (30/7) pagi.

Pertanyaannya, apakah semua transaksi di atas 100 juta wajib menggunakan transaksi non-tunai?
Tags:

Berita Terkait