Aturan Denda Iuran BPJS Kesehatan Perlu Direvisi
Utama

Aturan Denda Iuran BPJS Kesehatan Perlu Direvisi

Aturan yang ada menambah beban ekonomi masyarakat peserta BPJS. Padahal, sesuai amanat konstitusi setiap warga negara berhak mendapat pelayanan kesehatan, bukan mempersulit.

Oleh:
RFQ
Bacaan 2 Menit
Foto: RES
Foto: RES
Aturan penarikan denda terhadap peserta yang terlambat membayar iuran Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan perlu direvisi. Hal ini terkait adanya fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang merekomendasikan bahwa denda yang tidak sesuai syariah islam dan masuk kategori riba. Hal ini menjadi sorotan di tengah masyarakat.

“Kami minta kepada pemerintah untuk segera merevisi peraturan yang mengatur mengenai denda keterlambatan pembayaran iuran BPJS Kesehatan,” ujar anggota Komisi IX DPR, Roberth Law, Jumat (31/7).

Menurutnya, UU No.40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) dan UU No.24 Tahun 2011 tentang BPJS dibentuk dalam rangka meningkatkan kemudahan akses masyarakat untuk mendapatkan fasilitas kesehatan. Apalagi, Pasal 28 H UUD 1945 temah mengamanatkan bahwa kesehatan menjadi hak dasar setiap orang. Dengan begitu, setiap warga negara berhak mendapatkan pelayanan kesehatan.

Atas dasar itulah, peraturan yang mengatur mengenai sanksi berupa denda keterlambatan pembayaran iuran menambah beban ekonomi masyarakat peserta BPJS. Robert mendesak agar pemerintah melakukan revisi terhadap peraturan tersebut. Pasalnya, aturan tersebut dinilai tidak sejalan dengan amanat UUD 1945.

“Seperti halnya Perpres No.111 Tahun 2013 tentang perubahan atas Perpres No.12 Tahun 2013 tentang Jaminan Kesehatan pada pasal 17A ayat 3 dan 4, serta Peraturan BPJS Kesehatan No.1 Tahun 2014 tentang Penyelenggara Jaminan Kesehatan pada Pasal 35 ayat 4 dan 5 mengenai Iuran Kepesertaan Jaminan Kesehatan yang isinya justru memberatkan masyarakat yang menjadi peserta BPJS Kesehatan,” ujarnya.

Politisi Partai Gerindra asal Papua itu berpandangan, denda administratif yang ditarik dari pekerja penerima upah sebesar dua persen perbulan dari total iuran yang tertunggak. Paling banyak tiga bulan. Denda tersebut dibayarkan bersamaan dengan total iuran yang tertunggak pemberi kerja. Sementara keterlambatan pembayaran iuran peserta bukan penerima upah dan bukan pekerja dikenakan denda sebesar dua persen perbulan dari total iuran yang tertunggak paling banyak enam bulan.

“Hal-hal inilah yang perlu kita tekankan untuk segera direvisi. Sebab negara tidak boleh mengambil keuntungan dengan membebankan rakyatnya sendiri. Sehingga kita bisa mendapatkan konsep ideal jaminan sosial yang sejalan dengan amanah UUD 1945,” ujarnya.

Anggota Komisi IX lainnya Rieke Dyah Pitaloka mengatakan, Fatwa MUI berupa rekomendasi terhadap pemerintah terkait dengan BPJS. Pertama, kata Rieke, penyelenggaraan jaminan sosia BPJS Kesehatan terutama terkait dengan akad antar para pihak tidak sesuai dengan prinsip syari’ah. Pasalnya dinilai MUI terdapat unsur gharar, maisir dan riba.

Kedua, MUI mendorong pemerintah membentuk, menyelenggaran dan melakukan pelayanan jaminan sosial berdasarkan prinsip syariah dengan melakukan pelayanan prima. Terhadap isi rekomendasi tersebut, Rieke mendukung fatwa MUI tersebut.

“Saya yakin tujuannya untuk kemaslahatan umat (rakyat) bukan untuk kepentingan bisnis berkedok  ‘kata syariah’,” ujarnya.

Mantan anggota Pansus RUU BPJS itu menilai fatwa MUI mesti disikapi pemerintah sebagai regulator. Sementara BPJS Kesehatan sebagai penyelenggara jaminan kesehatan sebagai buah kritik membangun terhadap jaminan sosial kesehatan dan sistem kesehatan yang terintegrasi dari hulu ke hilir.

Menurutnya, kritik tersebut sebagai upaya agar pemerintah memberikan hak rakyat atas kesehatan  yang menjadi hak dasar sebagaimana amanat konstitusi. Bukan sebaliknya mempersulit akses masyarakat mendapatkan pelayanan kesehatan di lapangan.

Lebih lanjut politisi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) itu berpendapat fatwa MUI sebagai dukungan agar dana jaminan kesehatan milik peserta digunakan seluruhnya untuk pengembangan program dan untuk sebesar-besarnya kepentingan peserta. Dengan kata lain, dana tersebut tidak diperbolehkan menjadi jaminan komersial pelayanan kesehatan negara.

“Artinya, dana tersebut haram hukumnya jika mengubah watak jaminan sosial menjadi jaminan komersial yang berujung pada komersialisasi pelayanan kesehatan negara,” pungkasnya.
Tags:

Berita Terkait