Lembaga Keagamaan Perlu Kritik BPJS Kesehatan
Berita

Lembaga Keagamaan Perlu Kritik BPJS Kesehatan

Sekaligus mendorong fasilitas kesehatan yang dimiliki oleh yayasan keagamaan agar melayani peserta BPJS Kesehatan secara optimal.

Oleh:
ADY
Bacaan 2 Menit
BPJS Kesehatan. Foto: RZK
BPJS Kesehatan. Foto: RZK
Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang menyebut denda bagi peserta BPJS Kesehatan haram mendapat tanggapan dari berbagai pihak, terutama serikat pekerja. Menurut Sekjen OPSI, Timboel Siregar, denda yang diterapkan BPJS Kesehatan terhadap peserta yang telat membayar iuran sebagai bentuk sanksi yang memaksa agar peserta tersebut rutin menunaikan kewajibannya membayar iuran.

Denda patut diterapkan karena dana yang dikelola BPJS Kesehatan untuk memberi manfaat kepada peserta berasal dari iuran yang terkumpul. Oleh karenanya Timboel menjelaskan jika peserta tidak rutin membayar iuran, berpotensi merugikan peserta itu sendiri karena BPJS Kesehatan tidak dapat memberi manfaat secara maksimal sebagaimana amanat peraturan perundang-undangan.

Walau begitu, Timboel menyambut baik fatwa MUI tersebut. Menurutnya, lembaga keagamaan seperti MUI perlu mengkritik pelaksanaan program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) mengingat program ini masih mengandung kelemahan dan  butuh perbaikan. “Lembaga keagamaan itu perlu mengkritisi dalam rangka membenahi pelaksanaan JKN BPJS Kesehatan. Misalnya, bagaimana pelayanan terhadap peserta,” kata koordinator advokasi BPJS Watch itu di Jakarta, Jumat (31/7).

Selain itu Timboel mendesak agar lembaga keagamaan mendorong agar faskes yang dimiliki oleh yayasan keagamaan untuk melayani peserta BPJS Kesehatan secara optimal. Pasalnya, tidak jarang peserta BPJS Kesehatan mengalami kesulitan mendapat pelayanan di faskes yang berada di bawah payung yayasan lembaga keagamaan.

Terpisah, Presiden KSPI, Said Iqbal, menegaskan tidak ada nilai yang bertentangan antara prinsip syariah dan BPJS Kesehatan. Menurut UU No. 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional, program JKN yang diselenggarakan BPJS Kesehatan merupakan bentuk perlindungan sosial. Itu diperlukan dalam rangka mewujudkan keadilan sosial sesuai amanat Pancasila.

Iqbal menjelaskan, ada beberapa model penyelenggaraan jaminan sosial. Diantaranya, jaminan sosial yang dananya ditanggung oleh negara. Ada juga jaminan sosial yang dananya berasal dari iuran peserta seperti yang dianut Indonesia saat ini. Jaminan sosial yang dananya berasal iuran peserta menerapkan prinsip gotong royong yakni peserta sehat membantu yang sakit. “Itu tidak bertentangan dengan nilai-nilai agama karena BPJS menerapkan prinsip gotong royong,” ujarnya.

Namun, pada tingkat operasional Iqbal melihat ada bias. Salah satunya sebagaimana disebut oleh MUI yakni denda terhadap peserta BPJS Kesehatan yang telat membayar iuran. Iqbal berpendapat denda itu mestinya dihapus tanpa menghilangkan kewajiban setiap peserta membayar iuran.

Iqbal mengusulkan agar upaya paksa yang digunakan BPJS Kesehatan agar peserta rutin membayar iuran tidak diarahkan pada membayar denda. Tapi, menggunakan mekanisme administratif dan dihukum dengan cara tidak menanggung biaya pelayanan kesehatan bagi peserta yang telat membayar iuran.

Misalnya, dikatakan Iqbal, peserta tidak membayar iuran selama tiga bulan, maka ketika peserta itu jatuh sakit dan butuh pelayanan kesehatan, BPJS Kesehatan tidak menanggung biaya pelayanan sampai periode waktu tertentu. “Jadi peserta yang menunggak bayar iuran itu harus membayar biaya pelayanan kesehatannya sendiri,” usulnya.

Berbeda, Timboel menilai jika peserta yang telat membayar iuran biaya pelayanan kesehatannya tidak ditanggung BPJS Kesehatan maka akan melanggar prinsip kemanusiaan sebagaimana amanat UU SJSN. Menurutnya, denda sudah tepat diterapkan untuk mendorong orang membayar iuran tepat waktu. Sama halnya dengan orang yang telat membayar pajak, akan dikenakan denda. Dengan begitu mendorong orang taat membayar pajak.

Anggota Komisi IX DPR, Rieke Diah Pitaloka, mengingatkan MUI merupakan salah satu lembaga yang mendukung diterbitkannya UU BPJS. Pada 29 Juni 2010, MUI menerima perwakilan Komite Aksi Jaminan Sosial (KAJS) yang bersama DPR mendorong agar RUU BPJS segera dituntaskan. Dalam pertemuan itu MUI mendukung disahkannya UU BPJS.

Politisi PDIP itu menjelaskan forum ijtima’ ulama komisi fatwa seluruh Indonesia kelima yang berlangsung di Jawa Tengah beberapa waktu lalu menerbitkan fatwa dan rekomendasi. Diantaranya terkait BPJS Kesehatan yakni penyelenggaraan Jamsos oleh BPJS Kesehatan, terutama yang terkait dengan akad antar para pihak tidak sesuai dengan prinsip syariah karena mengandung unsur gharar, maisir dan riba.

Kemudian, dalam forum itu MUI mendorong pemerintah membentuk, menyelenggarakan dan melakukan pelayanan Jamsos berdasarkan prinsip syariah dan pelayanan prima. “Saya mendukung fatwa yang dikeluarkan MUI karena saya yakin tujuannya untuk kemaslahatan umat (rakyat) bukan untuk kepentingan bisnis berkedok kata syariah,” paparnya.

Rieke mengatakan fatwa MUI harus disikapi oleh pemerintah dan BPJS Kesehatan sebagai kritik membangun dalam rangka membenahi pelaksanaan JKN. Sehingga dapat memberikan hak rakyat atas kesehatan yang merupakan salah satu hak dasar yang diamanatkan konstitusi.

Rieke juga mendukung sikap MUI itu agar dana jaminan kesehatan milik peserta digunakan untuk pengembangan program dan kepentingan peserta. Itu sesuai dengan perintah pasal 4 huruf (i) UU BPJS. Dana itu haram hukumnya jika diubah semangatnya dari jaminan sosial jadi komersial yang berujung komersialisasi pelayanan kesehatan negara.
Tags:

Berita Terkait