Bismar di Mata Media dan Peneliti Asing
Mengenang Bismar:

Bismar di Mata Media dan Peneliti Asing

“Jika kalian ingin keadilan, datanglah ke (Pengadilan,-red) Utara Timur dan temui Bismar”.

Oleh:
ALI
Bacaan 2 Menit
Kutipan artikel Asiaweek tentang Bismar Siregar. Foto: https://www.library.ohiou.edu
Kutipan artikel Asiaweek tentang Bismar Siregar. Foto: https://www.library.ohiou.edu
Tak pernah ada kata habis membincangkan nama Bismar Siregar, sang hakim kontroversial yang dimiliki Indonesia. Walau jasadnya kini telah terbujur kaku di Taman Pemakaman Umum (TPU) Jeruk Purut, kisah dan gagasannya masih asyik diperbincangkan kalangan hukum.

Tak hanya itu, “kebesaran” nama Bismar ternyata juga menarik sejumlah media asing dan peneliti asing untuk menulis dan mengkaji sosok hakim yang dikenal sangat mengedepankan hati nurani ini.

Berdasarkan penelusuran hukumonline, kisah dan gagasan Bismar terserak di beberapa sumber luar negeri. Salah satunya adalah di situs perpustakaan Ohio University, Amerika Serikat. Situs ini merekam kisah Bismar yang dituturkan melalui majalah Asiaweek.

Pada 14 Desember 1994, Asiaweek melaporkan sosok Bismar dalam artikel bertajuk “Judges for the People; Off the Bench, Some Are Taking the Courts to Task”. Dalam laporan itu, Bismar digambarkan sosok Bismar yang pro keadilan untuk rakyat kecil.

Bismar disebut memuji putusan majelis kasasi Mahkamah Agung (MA) dalam kasus Kedung Ombo. Ia “membela” putusan majelis kasasi yang dipimpin oleh Asikin Kusumah Atmadja yang memberikan ganti rugi lima kali lipat dari yang diminta oleh rakyat yang dirugikan atas sengketa tanah tersebut.

Asiaweek juga mengutip ketegasan Bismar yang hanya mau memutus perkara berdasarkan hati nurani, bukan atas “arahan” atasannya. Pernyataan Bismar yang mengedepankan keadilan saat menjabat sebagai Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Utara-Timur pun tak luput dari perhatian Asiaweek.

“Jika Anda ingin keadilan, datanglah ke (Pengadilan,-red) Utara-Timur dan temui Bismar,” demikian kutip majalah tersebut.

Selain itu, sosok Bismar juga pernah menjadi peneliti asal Jepang, Hisanori Kato. Kata itu, Hisanori yang sedang menempuh PHD study agama di University of Sidney mencoba berdiskusi dengan Bismar seputar pandangan tentang perkembangan Indonesia pasca reformasi.

Dikutip dari laman inside indonesia, Hisanori kaget ketika Bismar tanpa takut menyebut “I Love Suharto (Saya Cinta Suharto,-red)”. Bila ucapan itu diungkapkan pada awal 1990-an mungkin biasa saja, tetapi Bismar mengucapkan hal tersebut pada September 1998, pasca jatuhnya Suharto, di saat banyak orang membenci Suharto.

“Saya tertegun ketika mantan Hakim Agung berusia 70 tahun itu mengatakan hal tersebut kepada saya,” tulis Hisatori pada Januari-Maret 1999.

Hisatori pun menyadari nilai-nilai keislaman yang dianut Bismar. Ketika itu, Bismar menjelaskan bahwa dalam Islam, pemaafan sangat penting. Cintailah orang lain seperti kamu mencintai diri sendiri. Ungkapan Bismar ini sangat membekas di hati Hisatori.

“Melihat matanya yang lembut, saya ingin dengan kata dalam “Japanese Buddhist”: jihi, kasih sayang,” tulisnya lagi.

Bahkan, ketika interview selesai dan Hisatori akan meninggalkan ruang kerja Bismar, sang hakim masih mengucapkan “selamat tinggal” dalam bahasa Jepang. Kepada tamunya, Bismar mengaku mempelajari bahasa Jepang saat penjajahan negeri mata hari terbit itu di Indonesia.

“Saya percaya bahwa dia telah memaafkan militer Jepang. Saya berterima kasih atas kasih sayangnya. Dan saya bisa membayangkan bagaimana Suharto merespon Bismar,” tulisnya.

Surat kabar Australia, Sydney Morning Herald juga pernah ‘merekam’ pandangan Bismar yang merujuk kepada kasih sayang kepada sesama. Dalam laporan tertanggal 6 Agustus 1986, Sydney Morning Herald melaporkan perdebatan yang sedang “in” di Indonesia saat itu, yakni wacana narapidana yang mau mendonorkan organ tubuhnya bisa dikurangi masa tahanannya.

Kementerian Kehakiman sedang mewacanakan hal itu dan akan mempertimbangkan bahwa donor organ tubuh bisa dikategorikan sebagai “berkelakuan baik”. Sejumlah lawyer dan dokter banyak yang menolak wacana tersebut.

Namun, Bismar berpendapat wacana itu sangat beralasan. Ia bahkan sempat menyebut akan mendonasikan organ tubuhnya ketika meninggal dunia kelak.

Melihat peneliti asing berbicara hakim Indonesia, sepertinya kurang lengkap bila belum mengutip Sebastiaan Pompe, peneliti Belanda yang bertahun-tahun meneliti Mahkamah Agung (MA) Indonesia. Dalam disertasinya yang bertajuk “The Indonesian Supreme Court, A Study of Institutional Collapse”, Pompe setidaknya menyebut nama Bismar Siregar sebanyak delapan kali.

Pompe mengutarakan adanya “tradisi” bahwa panitera Mahkamah Agung (MA) yang naik pangkat menjadi hakim agung, dan salah satunya Bismar. Selain itu, Pompe, dalam disertasi yang diterjemahkan menjadi buku “Runtuhnya Institusi Mahkamah Agung” menilai bahwa Bismar termasuk yang mewarnai ideologi para hakim di era 1950-an.

Pompe menyebut ada hakim yang bersifat netral terhadap agama atau bisa disebut sekuler, tetapi ada juga yang cenderung ambisius memperjuangkan kepentingan Islam. Bismar adalah tipe hakim yang disebutkan terakhir.  

“Hakim-hakim lainnya, terutama berasal dari Sumatera, jelas lebih ambisius memperjuangkan kepentingan Islam. Mereka ini meliputi orang-orang seperti Bismar Siregar atau Bustanul Arifin, yang nampaknya makin kental keislamannya seiring dengan bertambahnya usia,” jelas Pompe.
Tags:

Berita Terkait