Kisah Pembatasan Transaksi Tunai dalam Hukum Indonesia
Utama

Kisah Pembatasan Transaksi Tunai dalam Hukum Indonesia

Keinginan Pemerintah membatasi transaksi uang kartal bukan pertama kali muncul. Sejak awal kemerdekaan sudah ada dengan beragam tujuan.

Oleh:
MUHAMMAD YASIN
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi. Foto: BAS
Ilustrasi. Foto: BAS
Setiap orang yang melakukan transaksi dalam jumlah 100 juta rupiah atau lebih, atau yang nilainya setara, yang dilakukan baik dalam satu kali atau beberapa kali transaksi dalam satu hari kerja yang dilakukan di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia wajib melalui mekanisme (pembayaran) secara non-tunai.

Inilah rumusan norma baru yang sedang dipersiapkan Pemerintah untuk membatasi transaksi uang kartal. Lewat kebijakan ini, Pemerintah berusaha mendorong sistem pembayaran non-tunai, sehingga pada akhirnya terbentuk cashless society, masyarakat yang senang menggunakan transaksi elektronik.

Rumusan baru itu dipersiapkan Pemerintah dalam RUU tentang Pembatasan Transaksi Penggunaan Uang Kartal. Dirjen Perundang-Undangan Kementerian Hukum dan HAM, Wicipto Setiadi, berharap RUU ini bisa segera dirampungkan agar bisa dibahas di Senayan –bersama DPR—pada 2016 mendatang.

RUU ini adalah perangkat terbaru yang disiapkan pemerintah untuk ‘membatasi’ ruang gerak transaksi cash menggunakan uang dalam jumlah banyak. Terutama membatasi peluang penyimpangan transaksi itu, misalnya, dilakukan untuk menyuap atau melakukan pencucian uang. Kisah-kisah penangkapan aparat penegak hukum oleh Komisi Pemberantasan Korupsi menunjukkan modus penyuapan dengan pemberian uang dalam jumlah banyak (tunai) masih dilakukan hingga sekarang. Bahkan digunakan mata uang negara lain seperti dolar Amerika Serikat (AS$).

UU No. 7 Tahun 2011tentang Mata Uang adalah perangkat lain yang bersifat ‘membatasi’. Di luar mereka yang dikecualikan, Undang-Undang Mata Uang mengancam pidana setiap orang yang melakukan transaksi di Indonesia tanpa menggunakan mata uang rupiah.

Dalam acara sosialisasi RUU Pembatasan Transaksi Penggunaan Uang Kartal, akhir Juli lalu, praktisi hukum Chandra Hamzah, juga menyebutkan bahwa pembatasan sudah pernah dilakukan tak lama setelah Indonesia merdeka. Dulu, ada Peraturan Pemerintah (PP) No. 14 Tahun 1948tentang Peredaran Uang dengan Perantaraan Bank-Bank Berhubung dengan Adanya Uang Palsu.

Pasal 1 PP ini menyebutkan ‘tiap pembayaran uang yang melebihi Rp10.000 harus dilakukan dengan perantaraan Bank Negara Indonesia atau Bank Rakyat Indonesia, menurut peraturan yang berlaku pada dan yang akan ditetapkan oleh bank-bank tersebut’. Jika antara dua pihak yang sama, dilakukan pembayaran uang, hingga dalam waktu 4 hari berturut-turut jumlahnya lebih dari 10 ribu, maka pembayaran yang mengakibatkan jumlahnya menjadi lebih dari 10 ribu harus dilakukan melalui penetapan bank-bank tersebut.

Pembatasan tersebut sudah dicabut dengan PP No. 34 Tahun 1948  tentang Peredaran Uang dengan Perantaraan Bank. PP baru ini menaikkan jumlah uang yang pembayarannya harus melalui bank, yakni lebih dari 25.000 rupiah. Kebijakan ini rupanya juga tak bertahan lama. Pada tahun yang sama terbit UU No. 32 Tahun 1948tentang Peradaran Uang dengan Perantaraan Bank. UU ini tetap mempertahankan nominal lebih dari 25 ribu rupiah jumlah uang yang pembayarannya harus melalui bank. Tetapi Menteri Keuangan diberi kewenangan mengurangi jumlahnya.

Chandra Hamzah mencoba mempertanyakan relevansi tujuan dari masing-masing regulasi pembatasan pembayaran uang tahun 1948  dengan tujuan RUU tentang Pembatasan Transaksi Penggunaan Uang Kartal yang sedang disiapkan Pemerintah. PP No. 14 Tahun 1948 bertujuan memberantas peredaran dan kekacauan dalam lapangan perekonomian. PP No. 34 Tahun 1948 dan UU No. 32 Tahun 1948 bertujuan menyehatkan peredaran uang. Melihat pada konsiderans, RUU Pembatasan Transaksi yang kini disusun Pemerintah bertujuan untuk membatasi penggunaan transaksi keuangan tunai untuk tujuan melakukan tindak pidana atau menjadikannya sebagai sarana pencucian uang. “Apakah itu saja tujuan pembatasan transaksi penggunaan uang kartal dalam RUU ini?” tanya Chandra.

Pemerintah dan Tim Penyusun RUU sebenarnya melihat banyak manfaat atau urgensi RUU tentang Pembatasan Transaksi Penggunaan Uang Kartal. Jadi, tak hanya mencegah orang melakukan korupsi atau pencucian uang melalui transaksi tunai. Ada manfaat efisiensi dan kecepatan bertransaksi. Ketua Tim Penyusun, Yunus Husein, memberi contoh sederhana pembayaran tol melalui kontan atau kartu elektronik. Pembayaran tunai bisa lebih merepotkan karena, misalnya, petugas harus menyiapkan uang receh untuk kembalian.

Dalam konteks lain, UU No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang juga mengatur batasan nomimal tertentu. Tengok saja Pasal 34 ayat (1) yang mewajibkan siapapun memberitahukan kepada Ditjen Bea Cukai jika membawa uang tunai (rupiah atau mata uang asing) paling sedikit 100 juta rupiah ke luar daerah pabean Indonesia. Kewajiban itu juga berlaku untuk instrumen pembayaran lain dalam bentuk cek, cek perjalanan, surat sanggup bayar, atau bilyet giro senilai minimal 100 juta rupiah.

Angka 100 juta rupiah dalam konteks pencucian uang inilah yang menjadi rujukan pembatasan nominal transaksi uang kartal dalam RUU yang kini sedang disiapkan Pemerintah.
Tags:

Berita Terkait