Korupsi Ditinjau dari Ajaran Agama
Berita

Korupsi Ditinjau dari Ajaran Agama

Ironisnya, korupsi turut melibatkan hakim dan juga advokat sebagai penegak hukum.

Oleh:
RIA
Bacaan 2 Menit
Gedung Pengadilan Tipikor Jakarta. Foto: Sgp
Gedung Pengadilan Tipikor Jakarta. Foto: Sgp
Setiap agama tentu memiliki nilai dan ajaran yang membawa pengikutnya pada kebaikan. Ajaran-ajaran itu pula yang sepatutnya menjadi pegangan para pemeluknya dalam menjalankan profesi. Tak terlepas orang-orang yang berprofesi sebagai penegak hukum.

Bukan terlihat baik, dengan banyaknya kasus korupsi yang dilakukan oleh para penegak hukum, malah kebanyakan dari mereka kini dicap sebagai penjahat oleh masyarakat. Sebut saja dalam kasus penyuapan Hakim Pengadilan Tata Usaha Negaraa (PTUN) Medan. Kasus tersebut tak hanya melibatkan majelis hakim, tetapi juga advokat. Lalu bagaimana korupsi ditinjau dari beberapa agama yang kini diakui di Indonesia?

Sugianto Sulaiman, seorang advokat yang dikenal memiliki semangat Buddhis, menjelaskan Buddha mengajarkan kepada umatnya untuk tidak mencuri. “Dalam bahasa sanksekerta disebut adinnadana, artinya jangan mencuri,” sebut Sugianto.

“Korupsi itu kan sama dengan mencuri kan? Mencuri uang rakyat kan? Jadi terhadap korupsi yang merajalela di negara kita ini dari sudut pandang agama Buddha ya jelas kita tidak dapat mentolerir terjadinya korupsi,” jelas advokat yang meski dengan ketidaksempurnaannya karena hilang penglihatan, tetap semangat menjalani profesinya.

Ajaran untuk tidak mencuri ini merupakan bagian dari Pancasila Buddhis. Selain untuk tidak mencuri, Buddha juga mengajarkan umatnya agar tidak berbohong (musavada).

Kebanyakan advokat saat ini, sebut Sugianto seraya menunjuk mereka yang sudah terseret ke KPK, saat orang lain yang bermasalah mereka heboh berkoar agar tersangka tersebut dihukum mati saja. “Giliran udah menimpa diri sendiri, wah udah deh banyak alasannya,” kata Sugianto.

“Padahal sama dengan agama lain, ucapnya, di agama Buddha juga kita itu harus satu  kata dengan perbuatannya,” tambahnya.

Sugianto mengatakan, Buddha pernah mengajarkan bahwa apa yang sudah diatur dan sudah menjadi hukum harus dijalankan. Kalau kita mau berdebat, berdebat lah sebelum dia jadi aturan, jelasnya.

Sementara itu dalam ajaran Kristen, Pendeta TZ Raprap di hadapan ratusan advokat dalam Perayaan Natal Perhimpunan Advokat Indonesia (PERADI) 2014 yang diadakan pada Kamis (18/12) mengatakan bahwa sebaik-baiknya umat adalah mereka yang hidup dalam terang.

“Orang yang hidup dalam terang itu bisa membedakan mana benar mana salah. Mana hitam,mana putih. Mana adil,mana ngga adil, mana yang jujur mana yang tidak jujur. Mana uang perusahaan,mana uang pribadi,” paparnya. “Jadi kalau anda melihat semua uang milik anda, itu anda masih dalam gelap,” ia melanjutkan.

Dalam sebuah perjanjian yang cukup terkenal ada bunyi ‘seringkali yang kita cari dalam hidup kita bukan kebutuhan tapi keinginan’, sementara ada perbedaan besar antara kebutuhan dan keinginan, sebut Pendeta Raprap.

“Karena itu lah St. Paulus membaliknya marilah kita belajar mencukupkan diri dengan apa yang Tuhan kasih. Jadi kalau duitmu segitu, cukupkan lah dirimu dengan uangmu. Kalau duitmu cukup untuk tempe, makan lah tempe. Banyak orang duitnya cukup untuk tempe tapi pengennya Kentucky, makanya korupsi,” tuturnya dalam ceramah malam itu.

Untuk itu, Pendeta Raprap mengajak advokat sama-sama bertindak benar. “Kebenaran itu lah yang sudah susah diperoleh di negeri ini. Ngga usah di pengadilan, ngga usah di lembaga-lembaga penegak hukum, di traffic lights aja kebenaran sudah sulit diperoleh,” tukasnya.

Persekutuan Gereja-Gereja Indonesia, kata Pendeta Raprap, telah merumuskan bahwa ‘Anak Terang’ adalah pembawa kebenaran, keadilan, dan menciptakan damai sejahtera. Oleh karena itu, menurut Pendeta Raprap, advokat sebagai ‘Anak Terang’ yang menjadi saksi Tuhan dalam penegakan hukum di Indonesia, haruslah selalu bertindak benar.

Dalam Islam, menurut Ustadz Nurul Irfan, mengenai korupsi ini dapat dilihat dalam Al Quran surat Ali Imran ayat 161. Terjemahan ayat ini berbunyi, “Tidak mungkin seorang nabi berkhianat dalam urusan harta rampasan perang. Barangsiapa yang berkhianat dalam urusan rampasan perang itu, maka pada hari kiamat ia akan datang membawa apa yang dikhianatkannya itu, kemudian tiap diri akan diberi pembalasan tentang apa yang ia kerjakan dengan (pembalasan) setimpal, sedang mereka tidak dianiaya.”

Sementara, bagi hakim yan melakukan korupsi, diriwayatkan dalam Hadits Riwayat Bukhari, kelak akan masuk neraka. Dipaparkan oleh Ustadz Nurul, ada tiga golongan hakim, dua di antaranya adalah golongan yang akan masuk neraka, dan hanya satu yang akan masuk surga.

“Yang masuk neraka itu adalah hakim yang sebetulnya mengerti hukum dengan baik, tetapi karena terpengaruh pemberian berupa ryswah (suap), maka putusannya salah karena mengikuti selera yang bayar,” jelasnya yang juga dosen pengajar Hukum Pidana Islam di Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah.

Yang kedua hakim yang memutuskan perkara dengan putusan salah akibat kedangkalan ilmu yang dia miliki, lanjut Ustadz Nurul. Hal ini disebabkan karena kompetensinya mungkin tidak memenuhi tapi karena ada kolusi dan segala macam dia jadi hakim sehingga putusannya menyesatkan.

“Satu di antara tiga yang masuk surga itu adalah hakim yang mengerti dengan baik lalu memutuskan dengan putusan yang baik dan benar. Itu lah yang oleh nabi diberi apresiasi berupa hakim calon penghuni surga,” sebut Ustadz Nurul saat dihubungi hukumonline, Jumat (14/8).

Hakim dalam hadits ini, menurut Ustadz Nurul, juga termasuk penegak hukum lainnya seperti jaksa dan pengacara. “Kalau di zaman nabi memang profesi tentang hukum hanya disebutkan hakim semata-mata. Tidak ada jaksa, pengacara. Tetapi apapun namanya sekarang, ada jaksa, panitera, pengacara, itu kalau kita lihat tugasnya terkait penegakan hukum, itu maka masuk dalam kelompok hakim yang namanya Al-Qudhatu,” pungkasnya.
Tags:

Berita Terkait