Kata Mahasiswa Soal Judicial Corruption
Berita

Kata Mahasiswa Soal Judicial Corruption

Keadilan sulit tewujud jika praktik korupsi sudah merambah ke lembaga peradilan.

Oleh:
RIA/CR-19
Bacaan 2 Menit
Mahasiswa/Mahasiswi. Foto: SGP (Ilustrasi)
Mahasiswa/Mahasiswi. Foto: SGP (Ilustrasi)
Citra penegakan hukum di Indonesia nampaknya kian memburuk. Hukumonline mencatat cukup banyak rentetan kasus yang melibatkan kalangan profesi penegak hukum. Sebut saja kasus suap Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Semarang Pragsono dan Asmadinata dan kasus korupsi Jaksa non aktif pada Kejaksaan Negeri Cibinong, Sistoyo.

Kasus yang paling anyar adalah kasus yang menimpa advokat Otto Cornelis Kaligis. OCK baru-baru ini ditetapkan sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) karena diduga memberikan suap kepada Majelis Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Medan.

Melihat banyaknya praktik korupsi yang kian merajalela dalam sistem peradilan saat ini, mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada (FH UGM) angkatan  2013, Agnes Sulistya Wardani, mengatakan praktik tersebut tentu bukanlah sesuatu yang seharusnya dilakukan.

“Tujuan penegakan hukum itu kan untuk memberantas, bukan untuk mengembangkan korupsi. Nah menurut saya karena ada praktik judicial corruption itu bukannya memberantas korupsi malah akan semakin menumbuhkan praktik korupsi itu tadi,” tutur Agnes.

Menurut Agnes, pengadilan adalah tempat untuk orang mencari keadilan. Akan tetapi, kalau praktik korupsi sudah merambah ke pengadilan, Agnes tak yakin keadilan tak bisa terwujud di situ.

Hal sama disampaikan Rico Novianto, mahasiswa FH Universitas Indonesia. Menurut Rico. “Ini satu hal yang sangat disayangkan ya karena inti dari hukum itu kan ada pada keadilan itu sendiri. Ketika badan yudisial diselewengkan, nyawa dari hukum sendiri menjadi satu hal yang dipertanyakan oleh masyarakat,” ucapnya.

“Buat apa warga mencari keadilan tetapi ketika dia datang ke pengadilan mencari keadilan dari hakim jaksa pengacara, ternyata mereka sudah ‘bermain’ di sana?,” imbuhnya.

Menurut Rico, hal itu harus dibersihkan dan buang jauh-jauh supaya ke depannya masyarakat yang kemudian mencari keadilan dari lembaga yudisial dapat benar-benar percaya dan memberikan suatu kepercayaannya untuk mencari keadilan di sana.

Meski praktik tersebut tak bisa dipungkiri terlihat sebagai satu kewajaran akibat kebiasaan, mahasiswa yang berniat mengecapi dunia litigasi begitu lulus ini percaya bahwa kebiasaan tersebut dapat diubah. “Tapi pada akhirnya habit atau budaya itu kan bisa diubah. Itu lah sebenarnya yang harus kita dorong,”  ungkap Rico.

Lalu bagaimana bila mahasiswa-mahasiswa yang berpotensial menjadi penerus penegak hukum masa kini dihadapkan pada kasus-kasus yang mengharuskan mereka melakukan praktik judicial corruption?

Rico mengatakan memilih untuk mengundurkan diri. Sedangkan Agnes berkata, dengan idealismenya saat ini sebagai mahasiswa yang belajar ilmu hukum, dan sudah dibekali mata kuliah Sikap Mental dan Etika Profesi, ia memilih untuk menolak suruhan atasan mau pun permintaan klien untuk melakukan praktik-praktik serupa.

“Karena sekarang saya punya idealisme sebagai mahasiswa hukum. Saya akan bilang ngga. Itu pasti,” jawabnya.

Mahasiswa Ilmu Hukum, Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Ria Marsella juga mengatakan dengan tegas akan menolak dan memilih mundur dari pekerjaan yang mengharuskannya untuk berkonspirasi. “Saya akan menolak. Dan saat saya dikenakan sanksi dan blablabala, lebih baik saya mencari lawfirm yang benar-benar masih memiliki integritas,” ucap Ria.
Tags:

Berita Terkait