Transportasi Berbasis Aplikasi, Inovasi Berujung Litigasi
Utama

Transportasi Berbasis Aplikasi, Inovasi Berujung Litigasi

Murah dan cepat tak menjamin keselamatan. Tak hanya lawan bisnis, di beberapa negara perusahaan transportasi berbasis aplikasi justru digugat konsumennya sendiri.

Oleh:
KAR
Bacaan 2 Menit
Kantor GRAB TAXI, di Jalan Cikini 2, No.8, Menteng Jakarta Pusat. Foto: RES
Kantor GRAB TAXI, di Jalan Cikini 2, No.8, Menteng Jakarta Pusat. Foto: RES
Kini di Indonesia, khususnya Ibu Kota, memesan taksi atau ojek cukup bermodal teknologi. Hanya dengan sentuhan ibu jari di layar ponsel pintar, taksi atau ojek akan menjemput untuk meluncur kemanapun tujuan kita. Fenomena semacam itu sudah lama dinikmati penduduk di negara lain. Tapi siapa sangka, beberapa perusahaan penyedia jasa aplikasi yang mengembangkan inovasinya justru harus berujung pada proses litigasi di pengadilan untuk menghadapi persoalan hukum.

Berikut kami rangkum beberapa kasus yang sempat mendera perusahaan penyedia aplikasi transportasi:

1.    Uber Taksi Dituntut C$400 juta di Kanada
Keberadaan moda transportasi ini memang menuai kontroversi di Indonesia. Armada berpelat hitam yang digunakan membuat pemerintah menuding perusahaan Uber sebagai perusahaan tanpa ijin. Rupanya, hal ini tak hanya terjadi di sini. Di Toronto, Kanada, sejumlah sopir taksi melayangkan gugatan class-action terhadap UberX dan UberXL. Saat ini, para pihak masih menunggu putusan pengadilan di Ontario terkait kasus ini.

Uber dianggap melakukan usaha transportasi ilegal. Mereka yang diwakili para advokat dari kantor hukum Sutts, Strosberg LLP, menuntut ganti rugi sebesar C$400 juta atau senilai Rp4,2 miliar atas kerugian yang diderita para sopir itu lantaran kehilangan pelanggan dalam jumlah besar.

Selain itu, Uber dinilai juga telah melanggar Undang-undang Lalu Lintas. Salah satu penggugat bernama Dominik Konjevic, seperti dilansir dari laman digitaltrends, menyebut bahwa kebanyakan sopir Uber tak memiliki SIM. Ia menyayangkan, tindakan itu membuat jutaan dolar pendapatan negara harus melayang. Pasalnya, pembuatan lisensi untuk para pengemudi taksi dan limosin bisa menghasilkan tambahan penghasilan negara yang tak sedikit.

Sementara itu, seperti kebanyakan kasus Uber di seluruh dunia, perusahaan itu mengklaim usahanya legal. Uber menyangkal sebagai perusahaan penyedia taksi. Uber menekankan bahwa usahanya merupakan broker bisnis yang menghubungkan penumpang dengan sopir taksi. Dengan demikian, Uber tak harus tunduk pada aturan-aturan yang mengikat perusahaan taksi tradisional. Inilah salah satu pembeda yang membuat harga Uber bisa lebih miring di pasaran.

2.    Yellow Cabs Co Digugat Penumpangnya di Australia
Seperti diberitakan lawnix, seorang perempuan yang disebut bernama Li, harus menanggung derita akibat mengalami benturan kepala saat menumpang sebuah taksi. Singkat cerita, Li menggunakan taksi yang dioperasikan melalui kecanggihan teknologi oleh perusahaan asal Brisbane, Australia, Yellow Cabs Co. tak pernah terbayangkan oleh Li, sopir yang mengantarnya melaju dengan begitu cepat dan berhenti mendadak di sebuah SPBU.

Saat pedal rem diinjak sopir, sontak kepala Li terayun kencang hingga membentur kaca depan mobil. Akibat kecelakaan itu, Li mengalami cedera yang cukup berat. Ia pun menuntut Yellow Cabs Co. ke meja hijau.

Sayangnya, pengadilan memutuskan Yellow Cabs Co tak sepenuhnya bersalah. Li dianggap memiliki peranan atas kecelakaan yang terjadi karena telah membiarkan sang sopir mengemudi dengan kecepatan tinggi. Andil itu menggugurkan hak Li untuk mendapatkan ganti rugi dari cedera yang dialaminya.

3.    Taxi Magic Dihukum di Amerika Serikat
Kali ini, perusahaan aplikasi taksi digugat karena mengirimkan pesan singkat kepada mantan penumpangnya. Seorang penduduk Washington, Torrey Gragg, awalnya merasa puas dengan aplikasi dari perusahaan Orange Cab Co. Inc. yang membuatnya bisa memesan taksi secara mudah lewat ponsel pintar. Namun kepuasan itu tak berlangsung lama sampai perusahaan tersebut mengirimkan pesan singkat ke ponselnya agar ia mengunduh aplikasi lain, bernama Magic Taxi.

Tak terima dirinya menjadi sasaran pesan promosi, Torrey mengumpulkan orang-orang yang merasa terganggu oleh iklan itu. Tak lama, ia pun mengajukan gugatan ke pengadilan. Sementara itu, Orange Cab Co. Inc. mengklaim pihaknya tak mungkin mengirim pesan itu tanpa persetujuan konsumen sebelumnya. Namun, mereka dianggap tak mampu membuktikan hal itu dipersidangan.

Singkat cerita, seperti dilansir dari topclassaction, hakim Robert S. Lasnik menghukum Orange Cab Co. Inc. bersama-sama rekanannya RideCharge Inc. yang mengembangkan Magic Taxi. Kedua perusahaan diputuskan terbukti melanggar Perda Washington mengenai Surat Elektronik Komersil, yang serupa dengan ketentuan Undang-undang Perlindungan Konsumen Telepon di Amerika Serikat.
Tags:

Berita Terkait