DPR dan Polri Bicara tentang Kualifikasi Seorang Ahli
Utama

DPR dan Polri Bicara tentang Kualifikasi Seorang Ahli

Penyidik Polri tak harus sarjana hukum. Karena itu, dalam proses penyidikan ia butuh keterangan seorang ahli. Masalahnya, apa kualifikasi seseorang sehingga layak disebut ahli.

Oleh:
AGUS SAHBANI
Bacaan 2 Menit
DPR diwakili Anggota Komisi III, Muslim Ayub seusai menyampaikan keterangan DPR dalam persidangan pengujian UU Polri dan KUHAP, Kamis (20/8). Foto: Humas MK
DPR diwakili Anggota Komisi III, Muslim Ayub seusai menyampaikan keterangan DPR dalam persidangan pengujian UU Polri dan KUHAP, Kamis (20/8). Foto: Humas MK
Kualifikasi yang harus dipenuhi seseorang agar bisa dijadikan sebagai ahli dalam proses penyidikan atau pemeriksaan di muka persidangan tampaknya masih terus menjadi perdebatan. Setidaknya, silang pendapat itu berlangsung berlangsung di sidang-sidang Mahkamah Konstitusi. Majelis hakim MK mendengarkan pandangan satu persatu pemangku kepentingan.

Dalam sidang lanjutan pengujian sejumlah pasal UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dan UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia (UU Polri), Kamis (20/8) kemarin, giliran wakil kepolisian dan DPR memberikan pandangan. Sebelumnya pemerintah sudah memberikan pandangan.

Dalam keteranganya, DPR menganggap sejumlah pasal dalam KUHAP dan UU Polri terkait ketentuan keterangan ahli bukanlan persoalan konstitusionalitas norma, melainkan implementasi norma. Ketentuan itu sama sekali tidak bertentangan dengan UUD 1945.

“Pasal 16 ayat (1) huruf g UU Polri, Pasal 7 ayat (1) huruf h KUHAP tidak bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28H ayat (2), Pasal 28I ayat (2) UUD 1945,” ujar anggota Komisi III DPR Muslim Ayub di ruang sidang MK, Kamis (20/8).

Muslim mengingatkan sesuai persyaratan penyidik menurut Pasal 2A ayat (1) Peraturan Pemerintah (PP)  No. 58 Tahun 2010 tentang Perubahan atas PP No. 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan KUHAP tidak dipersyaratkan harus bergelar sarjana hukum. Dengan begitu, penyidik belum tentu ahli pidana, sehingga memerlukan keterangan ahli.

Menurutnya, frasa “dalam hal penyidik menganggap perlu” dalam Pasal 120 ayat (1) KUHAP ditujukan memberi kebebasan penyidik memutuskan perlu atau tidaknya meminta pendapat ahli atau orang yang memiliki keahlian khusus untuk mengungkap tindak pidana. Apabila dikatakan pencantuman frasa itu telah menimbulkan kesewenangan penyidik karena keterangan tiga ahli dari tiga universitas berbeda yang mengakibatkan perkara pemohon tidak jalan berkaitan dengan implementasi norma.

Diakuinya, pratik penerapan Pasal 229 ayat (1) KUHAP, biaya pemanggilan ahli seharusnya memang ditanggung oleh pihak yang memanggil (penyidik), justru faktanya ditanggung pihak yang berperkara. Namun, hal ini bukan berarti norma tersebut inkonstitusional, melainkan penegakan norma tersebut yang perlu diperbaiki. “Jadi, pasal-pasal yang dimohonkan pengujian tidak bertentangan dengan UUD 1945,” tegasnya.

Sementara Polri yang diwakili Staf Divisi Hukum Mabes Polri Komisaris Besar (Pol) Sis Mulyono memaparkan mendatangkan ahli yang berhubungan dengan pemeriksaan perkara bagian dari tugas Polri dalam rangka penegakan hukum. Kalau ada masalah yang dihadapi pemohon, kata Sis, itu merupakan masalah teknis implementasi norma, bukan kesalahan pada substansi Undang-Undang.

“Permohonan yang didalilkan oleh Pemohon, permasalahan yang terjadi menyangkut teknis implementasi undang-undang, dan bukan permasalahan substansi undang-undang. Jadi ini bukan kewenangan MK. Dengan demikian permohonan pemohon selayaknya tidak dapat diterima,” harap Sis.

Sebelumnya, seorang warga Bandung Sri Royanimempersoalkan Pasal 7 ayat (1) huruf g, Pasal 120 ayat (1), Pasal 229 ayat (1) KUHAP dan Pasal 229 ayat (1) UU Polri terkait keberadaan ahli dalam proses pemeriksaan perkara pidana. Dia menilai pasal-pasal bersifat ambigu karena tidak menjelaskan secara ekplisit kapan, bagaimana dan keadaan apa keterangan ahli diperlukan serta tidak jelas ukuran/kriteria pendapat ahli dalam penyidikan.

Pemohon sebagai korban merasa diperlakukan tidak adil atas kasus penipuan dan penggelapan sebidang tanah dan bangunan yang dilaporkannya di Polda Jawa Barat selama empat tahun terakhir. Padahal, kasus yang dialaminya sudah jelas bukti materiilnya, tetapi terganjal oleh opini penyidik yang memanggil ahli dari tiga universitas yang berbeda yang menyimpulkan tidak ada unsur pidana dalam kasus ini.

Dalam kasus yang sama di Polwiltabes Bandung dengan pelapor yang berbeda justru terlapor ditetapkan sebagai tersangka. Meski akhirnya berakhir “damai” lantaran pihak terlapor mengembalikan uang muka pembayaran pembelian rumah yang sama kepada pelapor.

Dia mempertanyakan sebetulnya yang harus memanggil ahli dan atas biaya siapa? Sebab, selama ini dia tidak menemukan aturannya. Karena itu, pemohon meminta agar ketentuan yang mengatur mengenai seorang ahli dalam suatu pemeriksaan perkara akan memperoleh ketetapan atau kejelasan posisi hukumnya. Karena itu, pemohon meminta agar pasal-pasal itu ditafsirkan secara bersyarat.
Tags:

Berita Terkait