(Pincangnya) Kebangkitan Sektor Maritim Indonesia: Kemanakah Penerbangan Perintis Kita?
Kolom

(Pincangnya) Kebangkitan Sektor Maritim Indonesia: Kemanakah Penerbangan Perintis Kita?

Harmonisasi hukum perlu untuk mewujudkan cita-cita negara maritim yang kuat sekaligus mengesahkan penyelenggaraan penerbangan perintis sebagai tandem penerapan konsep tol laut.

Bacaan 2 Menit
Foto: Koleksi Pribadi Penulis
Foto: Koleksi Pribadi Penulis

Tidak dapat dipungkiri suasana perayaan Hari Maritim Nasional tahun ini terasa lebih hambar dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya, tepatnya di saat sektor maritim tengah dihidupkan kembali. Memang Pemerintahan Jokowi-JK telah memprioritaskan pembangunan sektor maritim, sektor yang selama ini telah terabaikan potensinya bagi negara kepulauan, dengan membangun tol laut serta menindak tegas secara hukum para pelaku pencurian ikan.

Sejauh ini, program kerja yang baru berjalan seumur jagung ini relatif belum terasa dampaknya bagi perekonomian nasional, tetapi efek psikologisnya dalam mengembalikan kepercayaan diri bangsa ini sebagai jawara di lautan tidak dapat dikecilkan, dan yang terpenting harus ditindaklanjuti dengan serius selagi momentum ini ada.

Absennya Merpati Nusantara dalam menjangkau pulau-pulau terpencil kita sejak Februari 2014 lalu telah membuat dunia penerbangan nasional pincang. Pulau-pulau tersebut seolah terputus dari peradaban dan harus mengandalkan moda transportasi laut yang belum tentu beroperasi ketika cuaca buruk.

Dunia menjadi semakin terasa tidak adil bagi rakyat yang tinggal di pulau-pulau terpencil, ketika mereka harus mengantri lama dan mengeluarkan uang yang tidak sedikit untuk dapat beraktivitas ke tempat lainnya, di saat promosi tiket liburan Jakarta-Bali dengan harga miring menjamur di media. Terlihat jelas maskapai penerbangan rela perang harga guna memberikan harga promosi bagi rute-rute populer tertentu demi branding.

Ironisnya, keadaan sebaliknya ialah yang terjadi dengan penerbangan perintis di nusantara. Tidak banyak maskapai penerbangan yang tertarik untuk menggarap rute perintis, tentunya kurang menarik secara komersial, walaupun peluangnya terbuka lebar pasca berhenti beroperasinya Merpati Nusantara setahun lalu. Bahkan ketika Merpati Nusantara masih terbang, insiden Bupati Ngada yang memblokir landasan pacu karena tidak memperoleh tiket pesawat untuk menjalankan tugas dinas mencerminkan tingginya kebutuhan akan penerbangan perintis yang tidak dapat dipenuhi oleh perusahaan plat merah sendiri.

Stigma terbang untuk merugi dan minimnya infrastruktur pendukung membuat banyak maskapai penerbangan swasta berpikir seribu kali untuk menggarap rute perintis. Padahal menerbangi rute perintis tidaklah identik dengan stigma tersebut seandainya memiliki rencana bisnis yang unggul dan manajemen yang efektif dan efisien.

Skema Public Service Obligation (PSO) telah diimplementasikan dalam penyelenggaraan penerbangan perintis dengan bentuk pemberian subsidi kepada maskapai pemenang tender. Subsidi ini akan digunakan untuk menutupi kerugian biaya operasional akibat penentuan tarif tetap terhadap tiap rute perintis yang disesuaikan dengan daya beli masyarakat. Sebagai kompensasi, pemerintah menjanjikan jaminan slot rute gemuk yang berpotensi memberikan keuntungan (trunk routes) kepada maskapai yang menerbangi rute perintis demi menjamin keberlangsungan usahanya.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait