Kemenaker dan MA Seleksi Ratusan Calon Hakim Ad Hoc
Berita

Kemenaker dan MA Seleksi Ratusan Calon Hakim Ad Hoc

Sebanyak 467 peserta dinyatakan lolos seleksi administrasi.

Oleh:
ADY
Bacaan 2 Menit
Kemenaker dan MA Seleksi Ratusan Calon Hakim Ad Hoc
Hukumonline
Kementerian Ketenagakerjaan bekerjasama dengan Mahkamah Agung (MA) menyeleksi calon hakim ad hoc Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) baik pada tingkat pertama maupun tingkat kasasi di Mahkamah Agung. Seleksi administrasi dan tes tertulis sudah dilakukan.

Direktur Pencegahan dan Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial, Sahat Sinurat, menginformasikan dari 655 peserta yang mendaftar, 467 peserta dinyatakan lolos seleksi administrasi.

Peserta yang lolos seleksi administrasi mengikuti tes tertulis yang dilaksanakan serentak di 34 provinsi pada Kamis (20/8). Tes tertulis dilakukan serentak sebagai upaya menjamin obyektivitas. Sahat mengatakan kalau sudah dinyatakan lulus kelak, para hakim ad hoc itu bertugas menyelesaikan kasus-kasus perburuhan dan perselisihan hubungan industrial di PHI dan MA. Ia berharap para hakim terpilih nanti bisa segera bekerja. "Dapat segera bekerja untuk mengisi atau menggantikan hakim ad hoc yang akan berakhir masa tugasnya Maret 2016," kata Sahat di Jakarta, Rabu (19/8).

Dari 467 peserta yang lolos seleksi administrasi, 294 berasal dari perwakilan unsur serikat pekerja dan 173 asosiasi pengusaha. Menurut Sahat pemerintah mengapresiasi para peserta karena telah mendaftarkan dirinya untuk ikut seleksi hakim ad hoc. Seleksi itu dibutuhkan salah satunya untuk mencegah kekurangan hakim ad hoc yang menangani perselisihan hubungan industrial di PHI dan MA. "Pemerintah berharap para peserta yang lolos dalam tahapan-tahapan seleksi calon hakim ad hoc ini merupakan orang-orang terbaik," ujar Sahat.

Terpisah, Sekjen OPSI, Timboel Siregar, mengatakan seleksi calon hakim ad hoc di PHI dan MA harus segera dilakukan karena hakim ad hoc periode sekarang akan habis masa jabatannya. Namun, proses seleksi administrasi harus bisa menilai niatan calon hakim ad hoc tersebut. Misalnya, ada calon yang meminta rekomendasi bukan dari organisasi asalnya baik dari serikat pekerja atau asosiasi pengusaha. Itu dilakukan agar dia bisa memenuhi salah satu syarat administrasi yang diperlukan yakni mengantongi rekomendasi.

Timboel berharap agar panitia seleksi memperhatikan perihal surat rekomendasi tersebut. Jika ada calon hakim ad hoc yang surat rekomendasinya tidak sesuai dengan organisasi asal itu berarti calon yang bersangkutan terindikasi tidak jujur. “Bila dalam proses awal saja sudah manipulatif atau bahkan bermain uang, saya yakin calon tersebut bila menjadi hakim maka akan menjadi hakim yang korup dan akan memperjualbelikan perkara,” katanya di Jakarta, Senin (24/8).

Pada ujian tertulis, dikatakan Timboel, Kemenaker perlu menguji pengetahuan calon hakim terhadap putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait UU Ketenagakerjaan. Sebab, MK sudah banyak mengubah ketentuan-ketentuan dalam UU Ketenagakerjaan seperti pasal 64-66 dan pasal 155 ayat (2) UU Ketenagakerjaan. Itu dibutuhkan agar ke depan putusan yang dihasilkan hakim ad hoc sejalan dengan putusan MK.

Timboel mencatat tidak sedikit putusan PHI dan MA yang tidak selaras dengan putusan MK. Misalnya, MA menerapkan upah proses paling lama 6 bulan sesuai Permenakertrans No. 150 Tahun 2000. Padahal pada 2011, MK telah mengeluarkan putusan yang memperjelas aturan upah proses sebagaimana diatur dalam pasal 155 ayat (2) UU Ketenagakerjaan itu. Putusan MK itu intinya mewajibkan pengusaha membayar upah proses (dalam proses pemutusan hubungan kerja) sampai ada putusan hukum yang berkekuatan hukum tetap.

“Jika dilakukan pembatasan upah proses hanya enam bulan maka itu bertentangan dengan putusan MK tersebut,” papar Timboel.

Proses seleksi mestinya melibatkan publik. Bagi Timboel itu dibutuhkan agar publik bisa memberi masukan salah satunya terkait perilaku calon hakim. Ia mencatat ada calon hakim yang ikut seleksi calon hakim ad hoc MA berperilaku koruptif dan tidak profesional selama menjabat sebagai hakim PHI. Sekain itu ia menilai PPATK juga layak dilibatkan dalam proses seleksi untuk melihat transaksi keuangan para calon hakim ad hoc.

Berdasarkan UU No. 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial, seleksi calon hakim harus dilakukan setiap lima tahun. Namun praktiknya, hakim ad hoc PHI dan MA periode sekarang diperpanjang masa jabatannya oleh pemerintah. Padahal ketika masa jabatan hakim ad hoc habis, Kemenaker dan MA harus melakukan seleksi untuk menjaring hakim ad hoc yang baru. “Ke depan Kemenkaer dan MA harus menyeleksi calon hakim setiap 5 tahun dan tidak boleh lagi ada perpanjangan masa jabatan secara otomatis,” tukas Timboel.
Tags:

Berita Terkait