DJSN Bentuk Tim Anti Fraud BPJS
Berita

DJSN Bentuk Tim Anti Fraud BPJS

Guna mewujudkan tata kelola BPJS yang baik dalam rangka meningkatkan pelayanan bagi peserta.

Oleh:
ADY
Bacaan 2 Menit
DJSN Bentuk Tim Anti Fraud BPJS
Hukumonline
Dalam rangka mendukung terwujudnya tata kelola BPJS yang baik Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) membentuk dua kelompok kerja (Pokja). Pokja pertama mengurusi integrasi sistem teknologi informasi (IT system). Pokja kedua mengurusi anti error, fraud and corruption (EFC).

Anggota DJSN, Ahmad Ansyori, menjelaskan Pokja EFC dibentuk untuk merumuskan dan mengidentifikasi potensi error, fraud (kecurangan) dan corruption (korupsi) dalam pelaksanaan BPJS. Kehadiran Pokja EFC diharapkan bisa memberikan pedoman kepada BPJS dan semua pihak terkait untuk mengetahui batas-batas kesalahan, kecurangan, dan korupsi yang mungkin terjadi dalam pelaksanaan setiap program BPJS.

Misalnya, dikatakan Ansyori, dalam pelaksanaan program jaminan kesehatan nasional (JKN) ada indikasi fraud. Diantaranya, di beberapa daerah seperti Sumatera Utara ada fasilitas kesehatan tingkat primer (FKTP) yang merujuk peserta sampai 55 persen ke RS. Padahal, dalam aturan mestinya FKTP seperti dokter keluarga, Puskesmas dan klinik harus mampu menangani 155 diagnosa penyakit.

Namun, praktiknya DJSN melihat FKTP rata-rata hanya mampu mendiagnosis sekitar 70 penyakit. Akibatnya, FKTP banyak merujuk ke RS. Guna membenahinya, peran FKTP perlu didorong agar lebih optimal. Dengan dibentuknya tim EFC diharapkan dapat memberi panduan terhadap FKTP agar mampu memberikan pelayanan yang terbaik bagi peserta.

Error, fraud and corruption ini sangat berpengaruh dalam pelaksanaan BPJS khususnya program JKN. Jika itu sudah ada rambu-rambunya maka akan menuju tata kelola yang baik dalam pelaksanaan BPJS yang akan berpengaruh pada pelayanan terhadap peserta,” kata Ansyori dalam diskusi yang diselenggarakan Elkape dan DJSN di Jakarta, Selasa (25/8).

Ansyori mengatakan pokja itu dibentuk DJSN sebagai salah satu bentuk implementasi kewenangan DJSN sebagaimana amanat UU SJSN. Menurutnya, pasal 6 UU SJSN mengamanatkan fungsi DJSN diantaranya melakukan monitoring, evaluasi dan sinkronisasi regulasi. Oleh karena itu diharapkan tim EFC bisa membentuk panduan yang dijadikan pedoman bagi BPJS dan semua pihak terkait guna mencegah terjadinya ECF.

Kepala Badan Pengawas Rumah Sakit Indonesia (BPRSI), Slamet Riyadi Yuwono, mengatakan pelaksanaan BPJS, khususnya Kesehatan menghadapi tantangan. Sebab, BPJS Kesehatan menyelenggarakan program jaminan sosial bidang kesehatan yang sifatnya berbeda dengan asuransi komersial. Manfaat yang diberikan JKN komprehensif sementara asuransi komersial terbatas sesuai dengan besaran iuran yang dibayar peserta.

Untuk meminimalisasi masalah dalam pelaksanaan JKN, kata Slamet, pemangku kepentingan perlu menghitung besaran tarif yang sesuai untuk fasilitas kesehatan yang bekerjasama dengan BPJS Kesehatan. Juga perlu pembenahan infrastruktur kesehatan karena setiap daerah kondisinya berbeda-beda.

“Untuk menilai apakah terjadi fraud atau tidak perlu dicermati secara hati-hati. Tapi memang kami akui  ada oknum-oknum yang memanfaatkan kelemahan yang ada,” ujar Slamet.

Slamet mengatakan pengawasan yang dilakukan terhadap RS dilakukan secara internal dan eksternal. Untuk internal dilakukan oleh satuan pengawas internal yang dibentuk direktur RS dan dewan pengawas RS dibentuk pemilik atau yayasan yang menaungi RS. Pengaduan yang ditangani oleh pengawas internal diantaranya terkait pelayanan oleh RS.

BPRS berperan sebagai pengawas eksternal. Misalnya, ada peserta BPJS Kesehatan atau masyarakat yang membutuhkan pelayanan kesehatan tapi ditolak RS. Jika persoalan yang diadukan oleh pasien berkaitan dengan proses pengobatan yang diberikan RS maka menjadi ranah komite etik.

Setelah menerima pengaduan pasien, BPRS akan melakukan penyelidikan. Hasilnya, BPRS akan menerbitkan rekomendasi mulai dari peringatan lisan, tertulis sampai pencabutan izin RS yang bersangkutan. Untuk RSUD, rekomendasi dilayangkan kepada Bupati/Walikota. Jika RS milik pemerintah pusat maka rekomendasi disampaikan kepada Menteri Kesehatan. “Kalau RS swasta maka rekomendasi kita berikan kepada pemilik atau yayasan RS tersebut,” urainya.

Sekjen Lembaga Anti Fraud Asuransi Indonesia (LAFAI), Odang Muchtar, mencatat beberapa bentuk fraud yang terjadi dalam pelaksanaan JKN. Misalnya, RS tipe D mendiagnosis seorang peserta terkena penyakit gagal jantung berat. Karena tidak punya alat yang memadai maka dirujuk ke RS yang tipenya lebih tinggi. Kemudian, di RS rujukan itu ternyata hasil diagnosisnya bukan penyakit gagal jantung tapi penyakit lain. Ini mengakibatkan masing-masing RS mengajukan klaim terhadap BPJS Kesehatan untuk satu orang peserta.

Koordinator BPJS Watch, Indra Munaswar, menilai ada sejumlah peluang fraud dalam pelaksanaan JKN. Misalnya MoU antara BPJS Kesehatan dan Apindo yang disaksikan DJSN. Kesepakatan itu intinya menunda aktivasi kepesertaan atau pembayaran iuran bagi anggota Apindo yang mestinya 1 Januari 2015 menjadi akhir Juni 2015.

Akibatnya, Indra melanjutkan, tidak sedikit perusahaan yang menunda mendaftarkan pekerja mereka jadi peserta BPJS Kesehatan. Akibatnya, pekerja yang bersangkutan dan keluarganya tidak mendapat pelayanan kesehatan yang komprehensif lewat program JKN sejak 1 Januari 2015.

Kemudian, fraud dialami oleh peserta yang membayar iuran. Dalam kasus yang ditangani BPJS Watch Indra mengatakan ada peserta yang pembayarannya ditolak oleh sistem perbankan. Peserta tersebut sudah mencoba berulang kali untuk membayar iuran lewat bank namun selalu gagal. Ketika peserta itu berhasil membayar iuran, ada denda yang dikenakan dan besarannya dinilai melebihi ketentuan. “Ketika berhasil bayar iuran, peserta itu dikenakan denda sampai Rp300 ribu,” pungkasnya.
Tags:

Berita Terkait