Kurator Tak Wajib Lapor PPATK, Ini Pembelaan Kurator
Transaksi Mencurigakan:

Kurator Tak Wajib Lapor PPATK, Ini Pembelaan Kurator

Profesional yang disebut gatekeeper diwajibkan melaporkan transaksi mencurigakan kepada PPATK. Profesi kurator tidak disebut.

Oleh:
FITRI N. HERIANI/M. YASIN
Bacaan 2 Menit
Sosialisasi PP No. 43 Tahun 2015 di kantor PPATK. Foto: RES
Sosialisasi PP No. 43 Tahun 2015 di kantor PPATK. Foto: RES
Berbasis pada hasil riset Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan, Peraturan Pemerintah (PP) No. 43 Tahun 2015 mengharuskan advokat, notaris/PPAT, akuntan/akuntan publik, dan perencana keuangan melapor jika mengetahui dugaan transaksi keuangan mencurigakan. PP tentang Pihak Pelapor dalam Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang ini mewajibkan para profesional tadi menerapkan ‘prinsip mengenali Pengguna Jasa’.

Pembebanan kewajiban itu tak berjalan mulus. Pada saat sosialisasi PP tersebut oleh PPATK akhir Juli lalu, kalangan advokat, notaris, dan akuntan menyinggung kemungkinan ‘benturan’ kewajban itu dengan kode etik profesi. Seorang advokat bahkan menempuh upaya hukum Hak Uji Materiil (HUM) PP. No. 43 Tahun 2015 ke Mahkamah Agung.

“Tanggung jawab auditor sebatas opini saja,” kata Tarko Sunaryo, Ketua Umum Ikatan Akuntan Publik Indonesia (IAPI) saat jadi pembicara dalam sosialisasi PP itu di kantor PPATK.

Memang, masih ada sejumlah keberatan dari pihak yang mempersoalkan PP tersebut. Salah satunya karena tak semua profesi yang berkaitan dengan aset dimasukkan ke dalam Pihak Pelapor. Advokat senior, Denny Kailimang, misalnya, tanpa tedeng aling-aling menyebut profesi kurator. Kurator, sesuai UU No. 37 Tahun 2004, bertugas mengurus harta pailit. Peluang untuk menggelapkan aset-aset (boedel) pailit tetap ada. Kurator, kata Denny Kailimang juga harus masuk. “Kurator juga mengurusi uang-uang kliennya. Kurator juga bisa mengolah aset-aset kliennya,” ujarnya kepada hukumonline, awal Agustus  lalu.

Peluang untuk memasukkan curator masih terbuka? Misalnya Peraturan PPATK? Memberi ruang besar kepada PPATK. Pasal 12 PP 43, misalnya, menyebutkan ketentuan mengenai bentuk, jenis, dan tata cara penyampaian laporan bagi Pihak Pelapor sebagaimana dimaksud Pasal 3 diatur dengan Peratuan Kepala PPATK.

Cuma, kalangan kurator tampaknya kurang sepakat dikualifikasi sebagai Pihak Pelapor dalam kasus tindak pidana pencucian uang (TPPU). Imran Nating, Sekretais Jenderal Asosiasi Kurator dan Pengurus Indonesia (AKPI) menegaskan kurator adalah profesi yang mengurus aset dalam rangka kepailitan. Beda halnya dengan profesi lain –lazim disebut gatekeeper- yang menjalankan tugas pada saat aset perusahaan atau aset klien masih banyak. “Menurut saya, kurator tidak ada dalam kapasitas untuk dilibatkan di situ karena kurator mengurus dan membereskan harta pailit,” tegasnya dalam wawancara via telepon dengan hukumonline.

Imran menegaskan tidak dalam posisi setuju atau tidak setuju, sebagaimana langkah sejumlah advokat. Sebagai kurator, Imran melihat kurator tidak dalam posisi yang terlibat dalam corporate action sebagaimana halnya advokat, notaris/PPAT, atau akuntan. “Tidak ada corporate action yang kurator lakukan. Transaksi dilakukan hanya untuk menjual aset yang dibagikan kepada kreditor. Sehingga saya tidak melihat ada potensi TPPU di sana,” jelasnya.

Ketua Umum Himpunan Kurator dan Pengurus Indonesia (HKPI), Soedeson Tandra, punya pandangan senada. “Kurator tidak masuk karena memang mereka tidak mempunyai transaksi apapun,” ujarnya.

Selain itu, ada dalil lain yang memperkuat argument tidak layaknya kurator masuk sebagai Pihak Pelapor. Soedeson menyebut, semua yang harus dilakukan curator sudah ada dalam undang-undang, pekerjaannya berdasar pada penetapan pengadilan. Bahkan honorarium yang diterima curator pun diatur oleh Menteri Hukum dan HAM. “Semua clear. Semua transaksi apapun jelas, tidak ada sesuatu yang harus dicurigai sebagai TPPU,” kata Soedeson.

Apalagi, tambah Soedeson, apa yang dilakukan kurator dalam pemberasan harta pailit sangat terbuka. Dibuka di media massa, dibuka di rapat kreditor. “Jadi, semuanya jelas,” pungkasnya.

Selain profesi gatekeeper (advokat, notaris/PPAT, akuntan/akuntan publik, dan perencana keuangan) tadi, yang dibebani kewajiban lapor adalah penyedia jasa keuangan, dan penyedia barang dan/atau jasa lain. Kewajiban yang disebut dalam PP ini merupakan aturan pelaksanaan dari Pasal 17 ayat (2) UU No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.
Tags:

Berita Terkait