IKAHI Tolak Pembentukan Pengadilan Pertanahan
Utama

IKAHI Tolak Pembentukan Pengadilan Pertanahan

Karena dikhawatirkan bakal sulit mendapatkan hakim adhoc yang mumpuni, hingga boros keuangan negara.

Oleh:
RFQ
Bacaan 2 Menit
Ketua I IKAHI, Suhadi (kanan). Foto: SGP
Ketua I IKAHI, Suhadi (kanan). Foto: SGP
Rancangan Undang-Undang (RUU) Pertanahan memuat klausul pembentukan Pengadilan Pertanahan. Pertimbangan pembentukan pengadilan pertanahan diharapkan mampu menyelesaikan permasalahan pertanahan yang sudah seperti benang kusut. Namun Ikatan Hakim Indonesia (IKAHI) menolak pembentukan pengadilan pertanahan.

Hal itu diungkapkan Ketua I IKAHI, Suhadi, dalam rapat dengan pendapat umum dengan Badan Legislasi (Baleg) di Gedung DPR, Kamis (27/8). “Kalau bisa, kami menolak berdirinya Pengadilan Pertanahan di RUU ini. Tetapi, kami tidak menolak soal RUU Pertanahan ini,” ujarnya.

Pasal 61 dalam draf RUU Pertanahan memang mengatur pembentukan pengadilan pertanahan. Menurutnya dalam praktik pelaksanaan pengadilan khusus, seperti kehutanan dan perikanan kerap mengalami kendala. Begitu pula dengan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor).

Pengadilan Tipikor berada di tingkat provinsi. Kemudian, dimulailah merekrut hakim ad hoc Pengadilan Tipikor. Sayangnya, harapan publik tak seperti membalikan telapak tangan. Menurut Suhadi, banyak orang memiliki pengetahuan soal korupsi. Namun, menjadi hakim ad hoc Pengadilan Tipikor bukan perkara mudah. Fakta di lapangan, banyak terdapat hakim ad hoc Pengadilan Tipikor justru terjerat kasus korupsi.

Ternyata, kata Suhadi, setelah IKAHI membongkar file sejumlah hakim adhoc yang bermasalah belakangan diketahui tidak memenuhi syarat sebagai hakim adhoc. Perekrutan hakim adhoc pun diperketat. Berdasarkan catatan IKAHI sepanjang 2014, hanya terdapat 12 orang yang dinyatakan lulus menjadi hakim adhoc. Menurutnya, mendapatkan hakim adhoc yang memiliki kemampuan dan profesional tidaklah mudah. “Ini kendala dalam praktik juga bagaimana membina hakim,” ujarnya.

Pengadilan Perikanan pun tak lepas dari sorotan Suhadi. Ia mengatakan Pengadilan Perikanan terdapat di beberapa kota. Yakni Jakarta Utara, Medan, Pontianak, Bitung dan Tual. Namun belakangan tidak adanya perkara perikanan. Bahkan di Tual, tiga tahun berturut-turut tidak terdapat perkara yang berujung pengadilan ditiadakan. “Seperti hilang ditelan laut,” ujarnya berkelakar.

Belakangan lahir UU No.18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Pengrusakan  Hutan (P3H). UU tersebut pun mengamanatkan pembentukan pengadilan khusus penanganan perkara ilegal loging dan kehutanan. Namun hingga kini, kata Suhadi, belum juga dapat dilaksanakan lantaran sulitnya mencari hakim.

“Dalam pengadilan pertanahan, tidak semata-mata dia tahu pertanahan kemudian bisa menjadi hakim pertanahan,” katanya.

Alasan lainnya, dengan tidak adanya perkara mengharuskan negara mengalami pemborosan keuangan negara. Pasalnya, negara terus membayar gaji hakim pengadilan khusus yang tidak terdapat perkara. “Ini juga akan menyulitkan mahkamah sendiri dan akan memboroskan keuangan negara,” katanya.

Pengurus IKAHI lainnya I Gusti Agung Sumanatha menambahkan, banyaknya pengadilan khusus di banyak tempat belakangan justru membebani keuangan negara. Hal itu disebabkan minimnya perkara yang ditangani pengadilan khusus tersebut. Pasalnya itu tadi, negara mesti membayar gaji hakim dan remunerasi. Kendati demikian, Agung persoalan sengketa tanah mesti diselesaikan secepatnya lantaran berkaitan dengan investasi. “Kami tidak setuju kehadiran hakim adhoc. Tetapi kami setuju RUU Pertanahan,” katanya.

Anggota Baleg  Rufinus Hotmaulana Hutauruk berpandangan, persolan pertanahan terus bertambah. Sementara keberadaan tanah terus berkurang. Filosofi RUU Pertanahan dibuat dalam rangka menyelesaikan sejumlah tumpukan persoalan pertanahan yang tak kunjung selesai dari tahun ke tahun. Makanya, harapan dengan adanya RUU Pertanahan dimungkinkan persoalan pertanahan diselesaikan melalui lembaga.

“RUU ini sebenarnya untuk membuat out put terhadap persoalan pertanahan,” katanya.

Anggota Baleg lainnya Taufikulhadi menambahkan, kehadiran hakim ad hoc menjadi keniscayaan ketika lembaga permanen tidak mampu menyelesaikan persoalan yang menjadi tuntutan masyarakat. Ia menilai lembaga peradilan umum dinilai tidak mampu memenuhi harapan publik. Nah, sepanjang lembaga permanen sudah baik, maka lembaga maupun hakim adhoc ditiadakan. Begitu pula dengan pengadilan pertanahan.

“Tapi kala terus terjadi persoalan pertanahan, bagaimana kita menyelesaikan,” ujarnya anggota Komisi III itu.

Sertifikasi hakim
Meski tegas menolak keberadaan hakim adhoc dan pengadilan pertanahan, Ketua Pengadilan Tinggi DKI Jakarta, Made Rawa Aryawan, memberikan catatan. Menurutnya, pengadilan khusus memiliki kekhususan hukum acara. Namun  hukum acara dalam penanganan perkara pertanahan bersifat umum.

“Bahwa masalah pertanahan, bagi hakim di indonesia, sudah berhadapan kasus pertanahan. Kemudian hukum acara bersifat umum, juga hukum adat,” katanya.

Sekalipun DPR dan pemerintah tetap kekeuh menginginkan ada klausul hakim pertanahan, maka jelan tengahnya dengan melalui sertifikasi. Menurutnya dengan hakim yang sebelumnya terlebih dahulu mendapatkan sertifikasi diharapkan mampu membuat putusan yang berkualitas.

“Mungkin dengan limitasi waktu, kemudian ada sertifikasi ke depan. Kemudian hakim di peradilan umum yang menangani kasus pertanahan dapat disertifikasi sesuai dengan kemampuan dan keahliannya,” ujarnya.

Lebih lanjut, Made berpendapat kualitas hakim adhoc mestinya diatas rata-rata hakim peradilan umum. Pasalnya dengan memiliki kekhususan itulah hakim adhoc dapat memberikan pelajaran kepada hakim biasa. Faktanya, kata Made, di lapangan hakim adhoc tidak banyak menguasai hukum acara, penggalian pembuktian, membuat amar putusan.

Bahkan lantaran banyak kekurangan itulah berujung lambatnya dalam penanganan perkara. “Juga sering dissenting. Yang penting dirumuskan, untuk hakim pertanahan perlu sertifikasi misalnya hakim peradilan umum kemudian disertifikasi 6 bulan sampai dua tahun,” katanya.

Wakil Ketua Baleg, Firman Subagyo, berpandangan adanya kekhawatiran dengan adanya hakim adhoc serta pengadilan pertanahan. Menurutnya, dengan banyaknya persoalan pertanahan diperlukan terobosan cepat. Keberadaan hakim dan lembaga adhoc terkadan lebih hebat dibanding lembaga permanen.

“Misalnya, KPK. Kalau lembaga-lembaga adhoc diisi untuk mengisi kekosongan lembaga, kita harus mengubah sistem ketatanegaraan. Tetapi ini tantangan bagi lembaga peradilan untuk mengejar ketertinggalan,” pungkas politisi Golkar itu.
Tags:

Berita Terkait