Ini Pasal Krusial RKUHP Versi Aliansi Nasional Reformasi KUHP
Berita

Ini Pasal Krusial RKUHP Versi Aliansi Nasional Reformasi KUHP

Mulai aturan kejahatan moral, korupsi, TPPU hingga kebebasan hak asasi manusia.

Oleh:
RFQ
Bacaan 2 Menit
Ini Pasal Krusial RKUHP Versi Aliansi Nasional Reformasi KUHP
Hukumonline
Sepuluh fraksi di Komisi III DPR mulai memetakan pasal krusial dalam Daftar Inventarisir Masalah (DIM). Sejalan dengan itu, Aliansi Nasional Reformasi KUHP melakukan hal serupa dalam rangka menelisik pasal yang berpotensi memberangus kebebasan berekspresi dan mengkungkung hak asasi manusia.

“Dari sejumlah pasal-pasal tersebut masih ditemukan pengaturan ketentuan umum dan tindak pidana yang berpotensi menimbulkan banyak perdebatan yang disebut aliansi sebagai pasal krusial,” ujar anggota Aliansi Nasional Reformasi KUHP, Supriyadi Widodo Eddyono di Jakarta, Kamis (27/8).

Menurutnya, berdasarkan kajian aliansi, setidaknya terdapat tiga jenis isu krusial. Pertama dalam Buku ke-I terdapat beberapa hal, mulai hukum adat, pidana mati, jenis tindak pidana dan pidana anak. Aliansi pun menggunakan metode cluster. Setidaknya terdapat pasal proteksi terhadap negara. Misalnya, kejahatan terhadap idelogi, penghinaan terhadap presiden, penyadapan, dan kerahasiaan negara. “Ini cukup eksesif,” imbuhnya.

Kedua, pasal yang berkaitan dengan kepentingan publik. Misalnya pasal yang mengatur tindak pidana korupsi. Kemudian mengatur tindak pidana pencucian uang (money laundring), serta narkotika. Namun sayangnya, aturan pasal yang menyangkut kepentingan publik tidak terlampau kuat. Dengan begitu seolah mendegradasi aturan yang lebih full seperti UU yang bersifat khusus tersebut.

Ketiga, berkaitan dengan tindak pidana moral. Yakni kejahatan seperti pemerkosaan, pornografi, asusila, zina, kumpul kebo, pencegahan kehamilan dan menggugurkan kandungan. Tak hanya itu, RKUHP pun menyasa para pelaku prostitusi jalanan. Sedangkan terhadap para pengguna dan penyedia jasa prostitusi seperti germo justru tidak tersentuh.

“Makanya kami mendorong DPR untuk mericek kembali pasal-pasal krusial yang bisa disorot lebih dalam,” ujar Direktur Eksekutif Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) itu.

Anggota Aliansi lainnya, Wahyu Wagiman lebih menyorot terhadap pasal yang mengatur kebebasan Hak Asasi Manusia (HAM). Kebebasan berpendapat dan berekspresi sejatinya sudah dijamin dalam konstitusi. Namun dalam RKUHP, kata Wahyu, mengkritik pemerintah pun dapat dikategorikan fitnah dan dipidana.

Kritik masyarakat mestinya dijadikan alat untuk mengawasi jalannya pemerintahan yang baik. Misalnya terkait dengan kebijakan dan program pembangunan. Setidaknya kritik publik dijadikan masukan membangun. “Tapi tidak dijadikan ungkapan yang dapat dipidana. Karena masyarakat sudah bisa menempatkan mana kritik, mana bukan. Sehingga kritikan dijadikan catatan, bukan menghina,” katanya.

Berkaca dari sejumlah pasal itulah pemerintah seolah melindungi dirinya sendiri dari pengawasan publik. Negara, kata Wahyu, dalam RKUHP lebih banyak melindungi kepentingannya ketimbang warga negara. Hal itu dinilai Wahyu menjadi berbahaya ketika ada pemutarbalikan kepentingan warga negara, justru lebih diutamakan kepentingan negara.

“Oleh sebab itu tim perumus RKUHP perlu diingatkan, agar RKUHP baru dengan kepentingan melindungi masyarakat bukan negara. Banyak pasal RKUHP, yang kemudian warga negara dikekang,” ujar Deputi Direktur Pembelaan HAM untuk Keadilan ELSAM itu.

Anggota Aliansi lainnya, Emerson Yuntho lebih menyorot pada pasal korupsi. Ia menilai dalam RKUHP terdapat upaya melemahkan pemberantasan korupsi terhadap lembaga. Menurut Emerson, terdapat dua isu krusial dalam pemberantasan korupsi di RKUHP. Pertama mengatur tindak pidana korupsi, dan kedua mengatur  tindak pidana pencucian uang.

“Kalau dua ketentuan ini dimasukan RKUHP, maka UU No.31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tipikor dan UU No.8 Tahun 2010 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) tidak akan berlaku. Dan ini memangkas kewenangan KPK, Kejaksaan dan Pengadilan Tipikor,” ujarnya.

Koordinator Divisi Monitoring Hukum dan Peradilan Indonesia Corruption Watch (ICW) itu berpandangan jika kedua ketentuan tersebut tetap diberlakukan dalam RKUHP, maka penyidikan hanyalah dilakukan oleh kepolisian. Sedangkan kejaksaan yang dapat melakukan penyidikan pun hanya berwenang melakukan penuntutan.

“Ini langkah kemunduran dan kembali ke hutan rimba,” katanya.

Menurutnya, langkah tepat dalam mendukung pemberantasan korupsi bukanlah dengan memasukan UU Pemberantasan Tipikor dan TPPU ke dalam RKUHP. Tetapi melakukan revisi kedua ketentuan tersebut. Makanya, UU Pemberantasan Tipikor dan TPPU mesti ditarik ke luar dari RKUHP.

“ICW menolak pengaturan tindak pidana korupsi dan TPPU masuk dalam RKUHP. Ini langkah mundur kalau RKUHP memasukan tindak pidana korupsi dan TPPU,” pungkasnya.
Tags:

Berita Terkait