Studi Banding RKUHP ke Inggris, Komisi III Dinilai Salah Alamat
Berita

Studi Banding RKUHP ke Inggris, Komisi III Dinilai Salah Alamat

Semestinya bertandang ke Rusia karena KUHP yang dimiliki Rusia lebih progresif.

Oleh:
RFQ
Bacaan 2 Menit
Anggota Komisi III DPR Arsul Sani. Foto: RES
Anggota Komisi III DPR Arsul Sani. Foto: RES
Dalam rangka mendapatkan masukan dari berbagai kalangan, sejumlah anggota Komisi III menyambangi Inggris untuk melakukan studi banding. Setidaknya, terdapat alasan kunjungan sembilan anggota Komisi III DPR menuju Negeri Ratu Elizabeth. Mulai persepektif hukum dari sisi berbeda, hingga mendapatkan masukan yang lebih luas.

Anggota Komisi III Arsul Sani berpandangan, dalam mendapatkan persepektif hukum tak saja dari negara eropa continental semata, tetapi negara lainnya. Ia berpandangan rancangan naskah akademik RKUHP yang dilayangkan pemerintah ke DPR telah bergeser. Pergeseran dari prinsip asas legalitas murni menjadi asas legalitas tidak murni.

“Artinya KUHP yang sekarang berlaku di Indonesia dan Eropa Continental adalah prinsip bahwa perbuatan itu bisa dipidana jika ada yang UU-nya,” ujarnya di Gedung DPR, Selasa (1/9).

Selain alasan mendapatkan perpektif hukum, juga mendapatkan pengetahuan terkait dengan penerapan hukum yang berlaku di masyarakat. Sebab dalam Pasal 2 RKUHP dibuka kemungkinan seseorang dapat dipidana berdasaran hukum yang menjadi kebiasaan atau berlaku di tengah masyarakat. Atas dasar itulah Panja RKUHP bertandang ke negeri Inggris.

Lebih lanjut, politisi Partai Persatuan Pembangunan itu mengatakan di Inggris dibedakan antara tindak pidana yang berbasis common law dan tindak pidana yang dituangkan dalam UU. “Karena itulah alasan kita ke sana, kita ingin melihat. Yang macam tindak pidana tidak berdasarkan UU dan berdasarkan hukum kebiaasaan itu yang kaya apa,” ujarnya.

Di Inggris, terdapat sembilan anggota Panja RKUHP bertemu dengan ahli hukum pidana dari Oxford University. Dikatakan Arsul, ahli hukum pidana tersebut mengatakan saat ini di Iggris telah bergeser dari tindak pidana yang merujuk statuta saja yang dikembangkan.

“Jadi berdasarkan hukum kebiasaan yang menjadi hukum, atau preseden itu sudah mulai ditinggalkan,” ujarnya.

Ahli hukum pidana Universitas Trisakti, Prof Andi Hamzah, menilai bertandang ke Inggris dalam rangka studi banding terkait dengan RKUHP, adalah hal yang keliru. Pasalnya, Inggris tidak memiliki KUHP. Ia menyarankan lebih tepat Komisi III bertandang ke Rusia karena KUHP yang dimiliki Rusia lebih progresif.

“Itu salah jalan ke Inggris, karena Inggris tidak gak punya KUHP. Yang paling progresif KUHP-nya itu Rusia,” ujarnya saat rapat dengar pendapat umum dengan Komisi III.

Anggota Aliansi Nasional Reformasi KUHP, Anggara Suwahju, menilai studi banding yang dilakukan Panja RKUHP di Komisi III ke Inggris tak tepat. Ia berpandangan pembentukan hukum di Inggris dan Indonesia memiliki sejarah berbeda satu sama lain. Pasalnya, Inggris, bentukan hukumnya berdasarkan putusan-putusan pengadilan. Kemudian, putusan pengadilan itu diikuti secara konsisten (Yurisprudensi).

“Ini yang dinamakan living law dan kemudian karena banyak putusan pengadilan maka dibentuk UU atau statute law,” ujarnya.

Sementara Indonesia, hukum ada belum sempat berkembang. Sebab umumnya hukum adat tidak tertulis. Namun lantaran masuk hukum eropa khususnya dari Belanda, negeri kincir angin itu memiliki budaya tertulis. Atas dasar itulah, sejarah antara Inggris dan Indonesia sangat berbeda dalam hal pembentukan hukum. Hal ini semakin memperjelas bahwa Indonesia dan Inggris tidak bisa disamakan.

“Karena itu di Indonesia ada 19 lingkungan hukum adat. Jadi, living law di Inggris tidak bisa diterjemahkan jadi hukum adat,” pungkasnya.
Tags:

Berita Terkait