DPR dan Pemerintah Sepakat KTKI Konstitusional
Berita

DPR dan Pemerintah Sepakat KTKI Konstitusional

UU Tenaga Kesehatan justru telah menjamin kepastian hukum baik secara yuridis maupun konstitusional.

Oleh:
ASH
Bacaan 2 Menit
I Putu Sudiartana selaku Anggota Komisi III mewakili DPR menyampaikan keterangannya dalam sidang uji materi UU Tenaga Kesehatan, Rabu (2/9). Foto: Humas MK
I Putu Sudiartana selaku Anggota Komisi III mewakili DPR menyampaikan keterangannya dalam sidang uji materi UU Tenaga Kesehatan, Rabu (2/9). Foto: Humas MK


“Terbentuknya KTKI, KKI tetap bisa menjalankan tugas sesuai UU Praktik Kedokteran, seperti mengeluarkan Surat Tanda Registrasi (STR), menyusun standar nasional pendidikan kedokteran, dan penegakan disiplin praktik kedokteran,” dalihnya.    

Soal sertifikasi uji kompetensi tenaga kesehatan, kata Putu, memang harus diberikan perguruan tinggi bekerja sama dengan institusi (Kemenkes) atau lembaga pelatihan yang dikoordinasikan dengan organisasi profesi. Hal ini mengacu pada Pasal 43, Pasal 44 UU Pendidikan Kedokteran. Jadi, penerbitan sertifikasi uji kompetensi tidak semata-mata dilakukan perguruan tinggi, tetapi melibatkan kementerian dan atau organisasi profesi.        

Pemerintah yang diwakili Staf Ahli Menkes Tri Tarayati memandang UU Tenaga Kesehatan justru telah menjamin kepastian hukum baik secara yuridis maupun konstitusional. UU itu telah mengatur pengelompokan jenis tenaga kesehatan baik yang sudah ada maupun belum ada demi perlindungan jenis tenaga kesehatan lain.

“Pembentukan KTKI ini untuk mencegah pembentukan berbagai konsil yang bertanggung jawab langsung kepada presiden. Jadi, tidak perlu diperdebatkan independensi masing-masing konsil di bawah presiden melalui menteri kesehatan,” ujar Tri.

Dia mengingatkan selama ini fungsi konsil menjalankan delegasi kewenangan pemerintah melalui Kementerian Kesehatan. Model pengaturan seperti ini diadopsi dari sistem yang berlaku di Singapura, Malaysia, dan Hongkong dimana konsil berkedudukan di bawah Menteri Kesehatan atau Dirjen Kesehatan.

“Best practice di berbagai negara tidak dikenal model penggabungan, seperti KKI yang didalamnya mencakup dokter dan dokter gigi, tetapi umumnya masing-masing konsil terpisah dan independen,” dalihnya.              

Sebelumnya, Komunitas Kedokteran Indonesia yang terdiri dari Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB-IDI), Pengurus Besar Persatuan Dokter Gigi Indonesia (PB-PDGI), Konsil Kedokteran Indonesia (KKI), dokter Mohammad Adib Khumaidi, dan Salamuddin mempersoalkan sekitar 22 pasal dalam UU Tenaga Kesehatan.

Misalnya, Pasal 1 angka 1, angka 6 sepanjang frasa “Uji Kompetensi”; Pasal 11 ayat (1) huruf a dan huruf m, ayat (2); Pasal 12; Pasal 21 ayat (1), (2), (3), (5), (6) sepanjang kata “Uji Kompetensi”; Pasal 34 ayat (1), (2) sepanjang frasa “Konsil Tenaga Kesehatan Indonesia”; Pasal 35 sepanjang frasa “Konsil Tenaga Kesehatan Indonesia; Pasal 36 ayat (1), (2), (3) sepanjang frasa “Konsil Tenaga Kesehatan Indonesia”; Pasal 37; Pasal 38; Pasal 39 sepanjang kata “Konsil”; Pasal 40 ayat (1); Pasal 41; Pasal 42; dan Pasal 43 sepanjang frasa “Konsil Tenaga Kesehatan Indonesia”; Pasal 90 ayat (1), (2), (3); dan Pasal 94 UU Tenaga Kesehatan.

Ketentuan itu dinilai mengandung kesalahan/kekeliruan konseptual karena mencampuradukan tenaga medis (profesi dokter, dokter gigi) dan tenaga kesehatan lain tanpa membedakan mana yang merupakan tenaga profesi (dokter dan dokter gigi) dan tenaga vokasi (misalnya teknisi gigi). Kesalahan konseptual ini dinilai pemohon bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28H ayat (1) UUD 1945.

Seperti, Pasal 34 ayat (3) menyebut Konsil Kedokteran dan Konsil Kedokteran Gigi yang dibentuk berdasarkan UU Praktik Kedokteran akan diambil alih (dibubarkan) menjadi bagian dan di bawah KTKI. Pemohon menganggap KTKI bekerja tanpa disumpah, tidak memiliki fungsi pengawasan (penegakan disiplin), dan tidak independen karena bertanggung jawab terhadap Menkes. Hal ini bentuk pencampuradukan atau penyamaan antara tenaga medis dan tenaga kesehatan yang mengacaukan sistem praktik kedokteran.    

Karena itu, para pemohon meminta MK tafsir bersyarat, seperti misalnya dalam Pasal 11 ayat (1a) ditafsirkan ‘istilah tenaga medis dikeluarkan pengaturan UU Tenaga Kesehatan’; menghapus istilah ‘KTKI’ atau diubah dengan ‘Majelis Tenaga Kesehatan Indonesia’ dalam Pasal 34 ayat (3), Pasal 90 ayat (1), (2), (3), Pasal 94 UU Tenaga Kesehatan. Selain itu, frasa “uji kompetensi” dalam Pasal 1 angka 6, Pasal 21 ayat (1)-(6) harus dimaknai “ujian kelulusan akhir”.  
DPR dan Pemerintah sepakat menyatakan bahwa sejumlah pasal dalam UU No. 36 Tahun 2014tentang Tenaga Kesehatan sama sekali tidak bertentangan dengan UUD 1945. Mereka mengganggap sejumlah dalil para pemohon yang intinya keberatan dengan keberadaan Konsil Tenaga Kedokteran Indonesia (KTKI) dan klasifikasi tenaga kesehatan menyangkut legislative review yang bukan kewenangan Mahkamah Konstitusi (MK).

“Pasal 34 ayat (3) UU Kesehatan, nantinya Konsil Kedokteran Indonesia (KKI) bagian dari KTKI. Ini disebabkan tenaga medis (dokter dan dokter gigi, red) masuk pengelompokan (besar) tenaga kesehatan,” ujar Anggota Komisi III DPR, Putu Sudiartana saat menyampaikan pandangan DPR di sidang lanjutan uji materi sejumlah pasal UU Tenaga Kesehatan yang dimohonkan Komunitas Kedokteran Indonesia di Gedung MK, Rabu (2/9).      

DPR beralasan pembentukan KTKI didasarkan pada pemikiran membentuk wadah tunggal untuk menghimpun seluruh konsil tenaga kesehatan yang ada, seperti konsil kedokteran, konsil keperawatan, konsil kefarmasian, dan lain-lain. Jadi, konsil kedokteran dan konsil kedokteran gigi sesuai UU No. 29 Tahun 2004tentang Praktik Kedokteran diambil alih menjadi bagian KTKI.

“Sesuai Pasal 90 ayat (2) UU Tenaga Kesehatan, KKI bubar setelah terbentuk KTKI. Pengalihan KKI menjadi bagian KTKI tidak bertentangan dengan konstitusi karena telah disepakati DPR dan pemerintah,” ujar Putu dalam persidangan.

Lagipula, lanjutnya, apabila setiap tenaga kesehatan membentuk konsil yang indepeden dan bertanggung jawab langsung ke presiden, seperti model KKI, akan banyak sekali lembaga negara berbentuk konsil yang tentunya akan menambah dan membebani anggaran negara. Makanya, dibentuknya KTKI berfungsi untuk menfasilitasi, mengawasi dan mengevaluasi tugas konsil tenaga kesehatan masing-masing.
Halaman Selanjutnya:
Tags: