Aturan Konsultasi Penyelenggara Pemilu Digugat
Berita

Aturan Konsultasi Penyelenggara Pemilu Digugat

Majelis mempertanyakan legal standing dan alasan permohonan.

Oleh:
ASH
Bacaan 2 Menit
Titi Anggraini selaku Pemohon (kanan). Foto: Humas MK
Titi Anggraini selaku Pemohon (kanan). Foto: Humas MK
Dinilai bermuatan materi yang rentan intervensi kekuasaan, sejumlah pasal UU No. 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilu terkait konsultasi proses penyusunan peraturan penyelenggara pemilu ke DPR dan pemerintah dipersoalkan ke Mahkamah Konstitusi (MK).

Pemohonnya, dua orang warga negara yang selama ini dikenal sebagai pengamat pemilu, Titi Anggraini dan Heriyanto. Keduanya memohon pengujian Pasal 119 ayat (4), Pasal 120 ayat (4), dan Pasal 121 ayat (3) UU Penyelenggara Pemilu. Ketiga pasal ini menyebutkan Peraturan KPU, Bawaslu, dan DKPP ditetapkan setelah berkonsultasi dengan DPR dan Pemerintah.

Mereka beralasan proses konsultasi dengan DPR dan Pemerintah secara langsung telah mempengaruhi penyelenggara pemilu (KPU dan Bawaslu). “Telah mempengaruhi kemandirian  lembaga penyelenggara pemilu dalam menjalankan kewenangan mengatur,” ujar salah satu pemohon, Heriyanto dalam sidang pendahuluan yang diketuai Patrialis Akbar di ruang sidang MK, Kamis (03/9).

Heriyanto melanjutkan salah satu bukti ketika DPR berupaya mengintervensi KPU dalam proses konsultasi terhadap Peraturan KPU mengenai pencalonan demi mengakomodasi kepentingan Partai Golkar dan PPP yang sedang berkonflik. Saat itu, KPU ‘dipaksa’ Komisi II DPR mengatur hal-hal yang bertentangan dengan UU No. 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Perppu No. 1 Tahun 2014 tentang Pilkada dan UU Partai Politik.

“KPU dipaksa menabrak Undang-Undang dengan mengharuskan KPU mengakomodasi pengajuan pasangan calon kepala derah dari Partai Politik yang memiliki kepengurusan ganda,” ungkapnya dalam persidangan.

Menurut pemohon, kewenangan untuk menetapkan peraturan KPU, Bawaslu, dan DKPP setelah berkonsultasi dengan DPR dan Pemerintah dapat mengganggu kemandirian lembaga tersebut. Sebab, dirinya melihat proses konsultasi sangat kental dengan nuansa kepentingan (politik) DPR dan Pemerintah.

“Proses konsultasi tersebut membawa dampak politik dan psikis terhadap kemandirian kelembagaan penyelenggara pemilu terutama bagi anggota KPU, Bawaslu, DKPP yang khawatir akan dipermasalahkan di kemudian hari,” katanya. “Makanya, kita minta membatalkan pasal-pasal itu,” pintanya.

Pemohon lainnya, Titi menuturkan sering mendengar di media ketika suatu peraturan sudah dibuat atau belum, KPU selalu menjawab masih menunggu konsultasi dengan DPR. Padahal, seharusnya ada kemandirian dari penyelenggara pemilu yang dijamin Pasal 22E ayat (5) UUD 1945. Akan tetapi, kemandirian tersebut tidak bisa dilaksanakan karena adanya kewajiban konsultasi tersebut.

“Kalau konsultasinya hanya pola koordinasi antara DPR dan KPU tidak masalah. Tapi konsultasi ini menjadi sebuah mekanisme yang terlembagakan. Jadi membuat KPU sebagai lembaga mandiri 'tersandera' oleh keberadaan institusi DPR,” ujar Titi usai persidangan.

Dia mengakui DPR memang memiliki fungsi pengawasan, tetapi fungsi tersebut hanya untuk produk legislasi yang sudah dibuat DPR dengan pemerintah. Sementara apabila KPU menyalahgunakan tugas dan kewenangannya, KPU sebenarnya sudah memiliki mekanisme pengawasan oleh DPR, mekanisme etik oleh DKPP, dan jika peraturannya salah bisa diuji ke Mahkamah Agung (MA).

Persoalannya, dengan ketentuan tersebut, KPU, Bawaslu, dan DKPP tidak bisa membuat peraturan jika tidak dikonsultasikan dengan DPR dan pemerintah. Misalnya dalam Peraturan KPU soal pencalonan kepala daerah. DPR malah meminta apa yang mereka kehendaki untuk diakomodir. Lalu, karena DPR sering mengalami reses, maka kadang peraturan KPU harus tertunda dan menunggu masa sidang DPR kembali mulai. Akibatnya penyelenggara pemilu menjadi bergantung pada lembaga lain.

“Ini bukan untuk menggerogoti kewenangan DPR. Tetapi, lebih ingin memastikan pemilu kita berjalan dengan apa yang dimandatkan UU untuk langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, adil, dan demokratis,” tambah Direktur EksekutifPerkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem)ini.

Mempertanyakan
Ketua Majelis Panel Patrialis Akbar mempertanyakan legal standing terkait kerugian konstitusional yang dialami para pemohon akibat berlakunya pasal itu. “Selama ini KPU, DKPP, dan Bawaslu tidak pernah keberatan dengan aturan konsultasi itu, kita belum dengar. Seharusnya yang lebih pas mengajukan permohonan adalah penyelenggara pemilu,” kritiknya. “Coba ini direnungi kembali legal standing-nya!”

Selain itu, dia mempertanyakan apakah makna konsultasi bisa dipersamakan dengan intervensi? “Coba tolong dicari referensi yang paling kuat bahwa konsultasi sama dengan intervensi,” sarannya.

Menurutnya, intervensi jelas berbeda dengan konsultasi karena intervensi lebih pada pemaksaan, sementara konsultasi merupakan tukar pikiran. Apalagi DPR juga bertugas mengawasi dan memiliki tanggung jawab agar jalannya pemilu sesuai UU. Demikian pula dengan pemerintah, kalau pemilu dianggap gagal pemerintah dan DPR bisa disalahkan.

Dia juga mempertanyakan sejauh mana kemandirian penyelenggara pemilu bisa terganggu akibat adanya konsultasi dengan DPR selama ini. Apakah dengan adanya konsultasi kemandirian penyelenggara pemilu bisa terganggu? “Sebenarnya makna kemandirian disini apa, apa bermakna tidak boleh berhubungan dengan lembaga lain, padahal kita mengenal prinsip check and balances,” kata Patrialis mempertanyakan. “Selama ini MK saja masih membutuhkan konsultasi dengan DPR, demikian pula dengan lembaga negara lain.”

Menanggapi pernyataan Patrialis, usai persidangan, Titi mengakui semua lembaga terikat dengan lembaga lain, bahkan MK pun berkonsultasi dengan DPR. Namun, MK sendiri dalam membuat Peraturan MK tidak berkonsultasi dengan DPR. Padahal, UU MK memerintahkan hukum acara persidangan di MK diatur dalam peraturan MK, bukan peraturan pemerintah.

“Jadi, kami melihat kerugian itu terjadi karena ada diskriminasi perlakuan antara KPU, Bawaslu, DKPP dengan lembaga negara lain yang berwenang membuat aturan. Contoh paling sederhana MK itu,” dalihnya.
Tags:

Berita Terkait