Hasil Muktamar NU Digugat ke Pengadilan
Berita

Hasil Muktamar NU Digugat ke Pengadilan

Gugatan perbuatan melawan hukum ditujukan kepada tiga pihak yakni KH. Said Aqil Siradj, Imam Aziz dan Saifullah Yusuf.

Oleh:
ANT
Bacaan 2 Menit
Kantor PBNU di Jakarta. Foto: lakpesdam.or.id
Kantor PBNU di Jakarta. Foto: lakpesdam.or.id
Kisruh di tubuh salah satu organisasi kemasyarakatan Islam terbesar di Indonesia, Nahdlatul Ulama (NU) bergulir ke ranah hukum. Kamis (3/9), sejumlah pihak melayangkan gugatan ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus) untuk mempersoalkan Hasil Muktamar Ke-33 NU di Jombang, Jawa Timur, yang berlangsung pada 1-6 Agustus 2015 lalu.

"Gugatan resmi sudah dimasukkan ke PN Jakarta Pusat pada Kamis (3/9) lalu oleh pengacara Irma Mayasari," kata Juru Bicara Forum Lintas Pengurus Wilayah NU (FL-PWNU), Halim Machfudz dalam keterangan pers, Jumat (4/9).

Selain Irma, mantan Ketua Lembaga Bantuan Hukum NU, Soleh Amin juga tergabung dalam tim hukum yang mewakili penggugat dari PWNU dan PCNU yang tergabung dalam Forum Lintas PWNU atau FL-PWNU selaku peserta sah Muktamar Ke-33 NU.

Halim menjelaskan gugatan perbuatan melawan hukum itu ditujukan kepada tiga pihak yakni KH. Said Aqil Siradj selaku Ketua Umum PBNU 2010-2015 dan pihak yang mengaku Ketua Umum PBNU 2015-2020, kemudian Imam Aziz selaku ketua panitia nasional muktamar dan Saifullah Yusuf sebagai ketua panitia daerah.

"Materi gugatan yang dilaporkan adalah berbagai pelanggaran hukum dalam proses pelaksanaan Muktamar NU," paparnya.

Berbagai pelanggaran itu di antaranya pemaksaan penerapan sistem "ahlul halli wal aqdi" (AHWA), manipulasi tabulasi anggota AHWA, adanya peserta siluman, mekanisme persidangan yang tidak prosedural, klaim penerimaan laporan pertanggungjawaban tanpa adanya pemandangan umum peserta muktamar, serta pelaksanaan voting pengambilan keputusan yang tidak "fair".

Misalnya, saat muncul sembilan nama teratas calon AHWA hasil tabulasi panitia menimbulkan kecurigaan, karena hasil voting tipis yang menyetujui AHWA ditentukan oleh dukungan satu utusan wilayah dan 29 cabang di Papua, padahal jumlah seperti itu untuk Rais Syuriah di Papua tentu patut dipertanyakan.

Penggugat juga mempersoalkan pengesahan materi keagamaan pada komisi bahtsul masail diniyah maudhu'iyah tentang khashaish (kekhususan) ahl al-sunnah wa al-jamaah (Aswaja) yang tidak sesuai dengan substansi dalam AD/ART NU, khittah nahdliyah dan juga rujukan dalam kitab KH Hasyim Asy'ari, yakni risalah ahl al-sunnah wa al-jama'ah yang selama ini menjadi pegangan penggugat dan warga nahdliyin pada umumnya.

"Pengesahan kekhususan aswaja yang tidak sesuai itu sama saja dengan pembelokan asas NU. Itu sama saja dengan mengubah Pancasila kalau konteks bernegara Indonesia," tuturnya.

Oleh karenanya, penggugat meminta kepada majelis hakim untuk menyatakan tidak sah dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat proses pelaksanaan dan hasil-hasil dan/atau keputusan-keputusan yang dihasilkan oleh Muktamar Ke-33 NU itu.

"Kami juga meminta agar majelis hakim memerintahkan kepada Negara (pemerintah) dalam hal ini MenkumHAM untuk tidak menyetujui dan/atau mengesahkan perubahan Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga, Kepengurusan NU dan/atau Hasil-Hasil Keputusan Muktamar Ke-33 NU sampai dengan putusan berkekuatan hukum tetap (inkracht)," tegasnya.

Utamakan Penyelesaian Hukum Secara terpisah, pengasuh Pesantren Tebuireng, Jombang, KH Salahuddin Wahid (Gus Solah), mengaku pengacara FL-PWNU telah mengirim surat kepada Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia cq Ditjen Administrasi Hukum Umum perihal Permohonan Pemblokiran (Penundaan) Persetujuan Perubahan AD/ART dan Kepengurusan Perkumpulan NU pada 21 Agustus 2015.

Pada 23 Agustus 2015, pengacara juga telah mengirim surat kepada Kapolri perihal : Laporan Dugaan Terjadinya Tindak Pidana, di mana "Terlapor 1" adalah Panitia Nasional Penyelenggara Muktamar ke 33 NU dan "Terlapor 2" adalah Panitia Daerah Penyelenggara Muktamar ke 33 NU.

"Pengacara pun telah memasukkan surat kepada Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat perihal Gugatan Perbuatan Melawan Hukum, dimana "Tergugat 1" adalah PBNU Masa Khidmah 2010-2015 dan "Tergugat 2" adalah Panitia Nasional Penyelenggara Muktamar ke 33 NU serta "Tergugat 3" adalah Panitia Daerah," tambahnya.

Gugatan Perbuatan Melawan Hukum yang dilakukan oleh Tergugat antara lain adalah pemilihan Rais Aam dan Ketua Umum PBNU yang bertentangan dengan AD/ART dan penetapan materi tentang Khashaish (kekhususan) Ahl Al Sunnah Wa Al Jamaah (Aswaja) yang ternyata mengabaikan tanggapan dan sumbangan pemikiran yang telah disampaikan oleh Forum Lintas Pimpinan Wilayah NU.

"Proses persidangan terkait materi Khashaish Aswaja itu menurut banyak peserta tidak memberi kesempatan yang cukup untuk berdialog guna memperoleh hasil yang sesuai harapan," imbuhnya.

Bagi masyarakat di luar NU, mungkin masalah Khashaish Aswaja itu bukan masalah penting, tetapi bagi para ulama NU, khususnya bagi kiai pesantren, Aswaja itu adalah ajaran yang menjadi dasar dari organisasi NU.

"Boleh dibilang seperti kedudukan Pancasila bagi Republik Indonesia. Begitu pentingnya Aswaja itu bagi kiai-kiai pesantren, sehingga para ulama bisa menjawab upaya pembelokan ajaran melalui gerakan budaya untuk menentang hasil Bahtsul Masa'il tentang Khashaish Aswaja itu," tukasnya.

Bahkan, masalah ini bagi mereka lebih penting dari pada masalah kepengurusan. Gerakan itu dilakukan untuk menggalang kekuatan budaya NU melalui sejumlah pesantren bersejarah seperti Pesantren Syaikhona Kholil di Bangkalan, Pesantren Tebuireng di Jombang, Pesantren Asembagus di Situbondo.

"Oleh karena itu, KemenkumHAM harus memberi perhatian yang cukup besar terhadap permohonan pemblokiran tersebut di atas. Penyelesaian hukum harus lebih didahulukan dibanding penyelesaian politik. Jangan sampai pertimbangan politik mengalahkan proses hukum," katanya.

Yang dimaksud dengan penyelesaian politik adalah diterimanya "PBNU Hasil Muktamar ke 33" oleh Presiden di Istana pada 27 Agustus 2015. Selanjutnya, Presiden perlu mempertimbangkan kehadiran dalam acara seremonial seperti pelantikan PBNU.

"Diterimanya "PBNU" yang ditolak sebagian besar PWNU dan PCNU oleh Presiden Jokowi di Istana menunjukkan bahwa Presiden perlu mendapat informasi yang lebih berimbang tentang pelaksanaan Muktamar hingga bisa memahami adanya penolakan kuat terhadap hasil Muktamar ke-33 NU," pungkasnya.
Tags:

Berita Terkait