Pemerintah Ingin Ubah Aturan Kapitasi
BPJS Kesehatan:

Pemerintah Ingin Ubah Aturan Kapitasi

Lantaran masih banyak FKTP yang belum memenuhi indikator pelayanan, Pemerintah memutuskan untuk merevisi aturannya. Seharusnya sejak awal dilakukan sosialisasi massif.

Oleh:
ADY THEA
Bacaan 2 Menit
Pemerintah ingin merevisi aturan kapitasi agar pelayanan lebih baik. Foto: RES
Pemerintah ingin merevisi aturan kapitasi agar pelayanan lebih baik. Foto: RES
Baru berusia sebulan lebih, Peraturan BPJS Kesehatan No. 2 Tahun 2015 tentang Norma Penetapan Besaran Kapitasi dan Pembayaran Kapitasi Berbasis Pemenuhan Komitmen Pelayanan Pada Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama, nasib akan berubah. Rencana revisi itu sudah dibahas para para pemangku kepentingan pekan lalu.

Direktur Utama BPJS Kesehatan, Fachmi Idris membenarkan. “Kami baru selesai rapat dengan Kementerian Kesehatan, melakukan koordinasi dengan Kepala Dinas Kesehatan dan Asosiasi Dinas Kesehatan untuk merevisi Peraturan BPJS No. 2 Tahun 2015,” kata Fachmi di gedung Kementerian Kesehatan di Jakarta, Selasa (01/9).

Peraturan BPJS Kesehatan No. 2 Tahun 2015 itu intinya mendorong agar terjadi peningkatan kualitas pelayanan kesehatan di Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP). Salah satu indikator meningkatnya pelayanan FKTP menurut beleid ini adalah melayani peserta selama 24 jam. Namun, bukan berarti dokter harus ada di FKTP seperti Puskesmas atau klinik selama 24 jam. Sebaliknya, dokter harus siap melayani 24 jam jika peserta membutuhkan pelayanan. “Maksudnya 24 jam itu on call, ketika peserta membutuhkan, dokter harus siap untuk hadir,” ucapnya.

Agar mampu memenuhi indikator itu, kata Fachmi, FKTP harus bisa memenuhi jumlah dokter yang memadai. Dalam ketentuan itu disebut diantaranya perbandingan antara dokter dan peserta yakni satu dokter berbanding lima ribu peserta. Selain meningkatkan pelayanan, regulasi itu diterbitkan sebagai respon BPJS Kesehatan terhadap rekomendasi KPK terhadap dana kapitasi agar pengelolaan dana itu dilakukan secara optimal.

Ternyata, ketentuan itu tak mudah dijalankan. Ada kendala yang muncul, antara lain disebabkan distribusi tenaga kesehatan seperti dokter tidak merata ke seluruh wilayah di Indonesia. Akibatnya, sejumlah FKTP tidak mampu memenuhi indikator peningkatan kualitas pelayanan. Agar kendala itu tak menghambat, Pemerintah memutuskan untuk melakukan revisi. “Maka revisi diperlukan untuk menyusun tahapan-tahapan yang lebih detail lagi,” tukasnya.

Ada yang siap, ada yang tidak. Faktanya, tidak semua fasilitas kesehatan terhambat kendala tersebut. Fachmi bercerita ada Puskesmas di Pontianak yang berhasil mendapatkan tariff kapitasi 230 juta rupiah per bulan. Puskesmas ini juga bisa memenuhi tenaga kesehatan dalam rangka peningkatan pelayanan sebagaimana diamanatkan Peraturan BPJS No. 2 Tahun 2015. “Kalau jumlah tenaga kesehatannya memenuhi dan siap melayani 24 jam maka tidak ada masalah,” kata Fachmi.

Oh ya, tarif kapitasi adalah besaran pembayaran per bulan yang diayar di muka oleh BPJS Kesehatan kepada FKTP berdasarkan jumlah peserta yang terdaftar tanpa memperhitungkan jenis dan jumlah pelayanan kesehatan yang diberikan.

Koordinator advokasi BPJS Watch, Timboel Siregar, mendukung penuh upaya perbaikan pelayanan di FKTP. Kalau sekarang ada rencana revisi, maka prose situ harus menjadi pelajaran. Pembentukan Peraturan BPJS mestinya didahului oleh proses pembahasan yang intensif antara BPJS Kesehatan dengan pemangku kepentingan seperti pemerintah pusat, pemerintah daerah, Asosiasi Puskesmas, Asosiasi Klinik dan Asosiasi RS Pratama.

Apalagi regulasi BPJS Kesehatan itu menuntut komitmen pemerintah pusat dan daerah untuk melengkapi sarana dan prasarana guna meningkatkan kualitas pelayanan kepada peserta. Pembayaran kapitasi banyak dipengaruhi faktor seperti SDM, kelengkapan sarana dan prasarana. Agar regulasi itu dapat berjalan, setelah diterbitkan harusnya BPJS Kesehatan melakukan sosialisasi masif.

Timboel mengangap sosialisasi belum cukup. Sebab, regulasi itu ditetapkan 27 Juli 2015 dan diundangkan 28 Juli 2015, tapi penerapan pembayaran kapitasi berdasarkan norma itu berlaku secara nasional 1 Agustus 2015 kecuali puskesmas daerah terpencil. Sedangkan RS pratama, klink pratama, dokter praktik atau fasilitas kesehatan yang setara puskesmas penerapannya paling lambat 1 Januari 2017 kecuali fasilitas kesehatan yang berada di daerah terpencil.

Regulasi itu juga mengatur penerapan pembayaran kapitasi berbasis pemenuhan komitmen pelayanan dilaksanakan di Puskesmas di wilayah ibukota provinsi diuji coba sejak 1 Agustus 2015. Dan seluruh puskesmas secara nasional mulai 1 Januari 2016 kecuali puskesmas di daerah terpencil. Sedangkan FKTP lain mulai berlaku 1 Januari 2017. Menurut Timboel regulasi itu harus memberikan jangka waktu sosialisasi yang cukup.

“Direksi BPJS Kesehatan harus bijak dalam membuat regulasi dan menentukan penerapannya. Bila 27 Juli 2015 ditetapkan dan 1 Agustus 2015 diberlakukan maka ini sangat tidak baik, puskesmas akan kesulitan melaksanakan regulasi itu,” papar Timboel di Jakarta, Senin (07/9).

Untuk mendukung kualitas pelayanan FKTP, selain menerbitkan Peraturan BPJS Kesehatan No. 2 Tahun 2015 dibutuhkan juga melaksanakan amanat pasal 24 ayat (1) UU No. 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN). Ketentuan itu memerintahkan besaran pembayaran kepada fasilitas kesehatan untuk setiap wilayah ditetapkan berdasarkan kesepakatan antara BPJS Kesehatan dan asosiasi fasilitas kesehatan di wilayah itu.

Timboel melihat biaya kapitasi yang diatur Permenkes No. 59 Tahun 2014 hanya dibuat dan ditentukan oleh Kemenkes. Seharusnya, kata dia, standar tarif baik kapitasi dan INA-CBGs dinegosiasikan dan disepakati antara BPJS Kesehatan dan asosiasi kesehatan. BPJS Watch mengusulkan penangguhan berlakunya Peraturan BPJS Kesehatan No. 2 Tahun 2015. Sosialisasi harus dilakukan massif ke pemerintah daerah, sehingga sehingga, seluruh puskesmas yang ada di wilayah itu bisa memenuhi standar yang ditetapkan BPJS Kesehatan.

Pemerintah akhirnya menempuh jalan revisi. Timboel meminta Pemerintah juga merevisi Permenkes No. 59 Tahun 2014, disesuaikan dengan amanat  Pasal 24 ayat (1) UU SJSN.
Tags:

Berita Terkait