Demikian disampaikan Wakil Indonesia untuk Komisi Antar-Pemerintah ASEAN untuk Hak Asasi Manusia (ASEAN Intergovernmental Commission on Human Rights atau AICHR), Rafendi Djamin, dalam symposium hukum nasional di Jakarta, Selasa (8/9).
Rafendi menuturkan bahwa Indonesia perlu menyusun Rancangan Aksi Nasional (RAN) untuk Bisnis dan HAM. Menurutnya, dalam RAN itu harus ada penegasan peran dan tanggung-jawab pemerintah maupun tanggung-jawab perusahaan untuk memastikan pemajuan, pemenuhan dan perlindungan HAM dalam menjalankan bisnis.
“Tanggung-jawab akhir penghargaan, perlindungan, pemajuan dan pemenuhan HAM ada di tangan pemerintah, sedangkan tanggung-jawab untuk menghargai HAM dalam operasi bisnisnya ada di kalangan korporasi,” tegasnya.
Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Nur Kholis, mengakui bahwa hingga saat ini korporasi banyak dinilai melakukan pelanggaran HAM. Ia menuturkan, dalam sepuluh tahun terakhir korporasi menempati posisi kedua yang paling banyak diadukan masyarakat kepada Komnas HAM. Pelanggaran HAM yang diadukan cukup bervariasi, mulai dari masalah pertanahan hingga perburuhan.
Menurutnya, potensi pelanggaran HAM oleh korporasi memang cukup terbuka. Pasalnya, korporasi membawa dampak baik positif maupun negatif kepada internalnya, termasuk karyawan beserta keluarga, masyarakat lokal, dan lingkungan hidup. Oleh karena itu, dampak yang dibawa korporasi bisa saja bertabrakan dengan HAM.
“Oleh karena itu, negara harus hadir untuk mengawasi. Jangan sampai kekuasaan korporasi justru melampaui kekuasaan negara,” tandasnya.
Kepala Pusat Studi HAM Universitas Airlangga, Iman Prihandono, mengatakan bahwa untuk memastikan korporasi taat terhadap prinsip-prisip HAM harus ada audit bisnis dan HAM. Ia menambahkan, selama ini memang sudah ada beberapa perusahaan yang melakukan. Hanya saja, yang digunakan adalah standar internal. Dengan demikian standar dalam audit di tiap perusahaan berbeda-beda.
“Masyarakat umum pun sulit mengukur dengan pasti bagaimana pemenuhan dan perlindungan HAM yang dilakukan perusahaan,” katanya.
Sementara itu, Ketua Bidang Hukum dan Hubungan Antar Lembaga Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia, Bambang Soesatyo, menyatakan bahwa pihaknya menyambut baik inisiatif untuk meningkatkan komitmen terhadap HAM dalam dunia bisnis. Namun, ia juga mempertanyakan sudah sejauh mana urgensi penerapan UNGP di tengah situasi ekonomi Indonesia saat ini. Ia khawatir niat baik itu justu nantinya semakin memperlambat pertumbuhan ekonomi dan investasi.
Dirinya mengingatkan, pengusaha selalu memegang prinsip efisiensi. Jika memang bisa diefisienkan, untuk apa harus mengeluarkan biaya lagi karena komitmen HAM. Ia pun meminta pemerintah untuk memberikan insentif kepada pengusaha yang menunjukan komitmennya terhadap HAM.
Wakil Ketua Umum Asosiasi UMKM Indonesia (Akumindo), Hermawati Setyorini, menambahkan isu bisnis dan HAM memang perlu dicermati dengan seksama, untuk meningkatkan pemahaman komitmen para pemangku kepentingan. Ia mengakui, para pemangku kepentingan itu tidak hanya pengusaha besar, namun juga kalangan UMKM.
Namun Hermawati meminta agar`nantinya implementasi aturan terkait hal itu bisa mengakomodasikan kepentingan pengusaha kecil. Ia meminta pemerintah memberikan perlakuan yang berbeda sesuai kemampuan pelaku usaha. “Jangan di sama ratakan. Harus hati-hati dalam menjalankan ketentuan HAM disektor UMKM, karena tentu ada perbedaan penanganan dengan pengusaha besar,” singkatnya.