Sistem Seleksi Hakim MK Perlu Diubah
Konferensi HTN II:

Sistem Seleksi Hakim MK Perlu Diubah

Ketua KY Suparman Marzuki mendukung ide Jimly apabila KY ke depan difungsikan sebagai Mahkamah Etik Tertinggi.

Oleh:
ASH
Bacaan 2 Menit
Sistem Seleksi Hakim MK Perlu Diubah
Hukumonline
Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi, Jimly Assiddiqie, mengusulkan agar sistem seleksi hakim konstitusi perlu diubah. Salah satu, mengubah periodeisasi lima tahunan jabatan hakim konstitusi. Hal ini untuk menghindari masa jabatan hakim konstitusi saat ini mengikuti siklus jabatan politik di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).

“Kalau jabatan lima tahunan hakim konstitusi lebih cenderung mengikuti siklus jabatan politik,” ujar Jimly saat menjadi pembicara kunci dalam Konferensi Hukum Tata Negara Kedua yang diselenggarakan Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) FH Universitas Andalas di Hotel Bumi Minang, Padang, Sumatera Barat, Kamis (10/9) malam.

Dia juga mengusulkan agar syarat minimal calon hakim konstitusi berumur minimal 60 tahun. Ketika hakim konstitusi berusia minimal 60 tahun umumnya tidak haus kekuasaan dan uang. “Usia segitu tidak lagi bercita-cita untuk jabatan lebih tinggi dan uang lebih banyak. Ini makna ‘negarawan’ yang menjadi syarat hakim konstitusi dalam konstitusi,” kata Jimly.

Apalagi, hingga kini aturan lebih lanjut mengenai mekanisme seleksi di tiga lembaga negara yakni Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Mahkamah Agung (MA), dan Presiden belum ada. “Sampai saat ini belum ada peraturan MA atau Perpres yang mengatur seleksi hakim MK, satu-satunya ada Tata Tertib DPR yang terkadang dilaksanakan semaunya, padahal aturan itu amanat UU MK,” ujarnya.  “Makanya, sistem seleksi hakim konstitusi perlu ada standar, meski mekanismenya tidak harus sama,” sambungnya.

Mahkamah Etik
Dalam kesempatan ini, Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Indonesia ini juga memimpikan agar Komisi Yudisial (KY) diberi peran menjadi Mahkamah Etik Tertinggi dalam konstitusi ke depannya. Misinya, fokus pada peran penegakan etik demi membangun sistem etika berbangsa dan bernegara.

“Tugas Mahkamah Etik jauh lebih substansial ketimbang fungsi KY seperti sekarang ini terlalu mahal kalau tugasnya menyeleksi calon hakim hakim agung?” kata Jimly. “Tugas melaksanakan seleksi calon hakim agung cukup diserahkan ke Panitia Seleksi (Pansel) saja.”

Di tempat yang sama, Ketua KY Suparman Marzuki mendukung ide Jimly apabila KY ke depan difungsikan sebagai Mahkamah Etik Tertinggi. “Itu gagasan besar untuk jangka panjang. Saya setuju karena pernah mendiskusikan usulan itu (Mahkamah Etik) kepada beliau,” ujar Suparman.

Menurutnya, apabila ide pembentukan Mahkamah Etik ini bergulir, nantinya ada tiga cabang kekuasaan kekuasaan kehakiman yakni MA, MK, dan Mahkamah Etik. “Perkembangan ketatanegaraan di berbagai negara memang seperti itu. Jadi, nantinya tidak semua masalah harus dibawa ke pengadilan yang prosesnya cukup lama, tetapi ada mekanisme lain di Mahkamah Etik dengan prosesnya cepat,” kata dia.

Tentunya, kata Suparman, untuk mengubah fungsi KY ini harus mengubah UUD 1945. “Fungsi KY menyeleksi calon hakim agung kan eksplisit diatur dalam di UUD 1945, sehingga kalau ide pembentukan Mahkamah Etik Tertinggi disepakati harus mengubah UUD 1945,” tegasnya.
Tags:

Berita Terkait