Tanggung Jawab Perseroan Tak Harus Selalu pada Dirut
Putusan MA:

Tanggung Jawab Perseroan Tak Harus Selalu pada Dirut

MA menghukum seorang Kabag Umum perusahaan dalam kasus pencemaran lingkungan. Dokumen kerjasama dan administrasi perseroan dengan pihak ketiga diteken terdakwa.

Oleh:
MYS
Bacaan 2 Menit
Gedung MA. Foto: RES
Gedung MA. Foto: RES
Menurut hukum, direksi mewakili perseroan baik ke dalam maupun ke luar, termasuk urusan hukum ke pengadilan. Kalau ada perkara pidana yang membelit perseroan, maka direksilah yang pertama-tama dimintai tanggung jawab. Prinsip ini jelas disebut dalam UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (UUPT).

Pasal 98 ayat (1) UUPT menyebutkan: “Direksi mewakili perseroan baik di dalam maupun di luar pengadilan”. Pasal 1 angka 5 menyebutkan direksi adalah organ perseroan yang berwenang dan bertanggung jawab penuh atas pengurusan perseroan untuk kepentingan perseroan serta mewakili perseroan, baik di dalam maupun di luar pengadilan sesuai dengan ketentuan anggaran dasar.

Tetapi tampaknya pertanggungjawaban yang demikian tidak bersifat mutlak. Setidaknya, itu bisa dibaca dari putusan Mahkamah Agung pada tingkat kasasi yang menghukum seorang kepala bagian umum perseroan. Konsep tanggung jawab direksi dalam UUPT yang dipakai sang manajer dalam pembelaan justru ditepis hakim agung.

Putusan itu menimpa PT Karawang Prima Sejahtera Steel (PT KPSS). Perusahaan ini dituduh melakukan pencemaran lingkungan akibat pembuangan limbah bahan berbahaya dan beracun. Dalam proses hukum pidana, yang dihadapkan ke meja hijau sebagai representasi perseroan adalah Wang Dong Bing.

Wang Dong Bing, warga negara China/Tiongkok, sebenarnya bukan direktur utama di perusahaan logam, baja dan aluminium yang berdiri sejak 2007 tersebut. Sehari-hari ia menjabat sebagai kepala bagian umum (Kabag Umum). Direksi dan komisaris perusahaan masih ada. Lalu mengapa Wang Dong Bing yang dimintai tanggung jawab?

Menurut majelis, sesuai yang terungkap di persidangan, terdakwa adalah  orang yang mengendalikan dan mengatur aktivitas perseroan. Direktur Utama, Direktur dan Komisaris perseroan justru berada di China. Pengelolaan perseroan telah dikuasakan direksi kepada terdakwa. Buktinya, terdakwa telah meneken perjanjian perusahaan dengan UPTD Puskesmas untuk pengobatan gratis bagi masyarakat Desa Taman Mekar. Demikian pula kerjasama perseroan dengan PT Batu Bara Shin dan CV Chasanah Jaya Abadi tentang pemanfaatan limbah B3. Terbukti pula, terdakwa yang mewakili direktur menandatangani surat permohonan keterangan TFE kepada Bupati Karawang. Surat-surat lain yang diungkap di persidangan juga membuktikan peran Wang selaki representasi perseroan.

“Telah terbukti terdakwa sebagai pengendali dan pengatur aktivitas PT KPSS yang bertanggung jawab atas kerusakan/pencamaran lingkungan yang dilakukan PT KPSS,” demikian antara lain pertimbangan hakim dalam putusan No. 1405K/Pid.Sus/2013 itu.

Pencemaran yang dimaksud adalah pembuangan limbah berupa aero slag, bottom ash, dan fly ash hasil pembakaran batubara ke Kali Kretek. Plus, asap hitam asal pembakaran yang jatuh ke bawah karena cerobong yang kurang tinggi sehingga mengganggu masyarakat sekitar. Sisa pembakaran batubara juga ditaruh di ruang terbuka, sehingga kalau turun hujan akan menyebabkan pencemaran lingkungan.

Menurut majelis, perusahaan telah melakukan tindak pidana melanggar Pasal 104 jo Pasal 116 ayat (1) UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Perusahaan dianggap tanpa izin melakukan dumping limbah ke media lingkungan. Majelis menghukum Wang 10 bulan penjara, menghukum perusahaan membayar denda 500 juta rupiah.

Meskipun begitu, majelis mengakui perseroan telah mendapatkan izin mengelola limbah tetapi mempunyai daya tamping kecil. Perusahaan juga telah membantu masyarakat sekitar, sudah melakukan clean up (pengangkutan limbah), mengurus izin penyimpanan sementara (keluar pada saat penyidikan dilakukan). Bahkan hakim menyentil aparat pemerintah yang tak melakukan pengawasan dengan baik. Perbuatan KPSS, menurut majelis yang dipimpin Artidjo Alkostar itu, ‘tidak terlepas dari kurangnya pengawasan dan pembinaan dari pihak berwenang’.

Pengamat hukum lingkungan, Henry Subagyo, mengatakan dalam kasus pidana yang mendudukkan perseroan sebagai terdakwa, maka sanksi pidana penjara tidak mungkin dikenakan kepada perusahaan. Oleh karena itu dalam kasus semacam ini seharusnya hakim menekankan pada hukuman denda dan hukuman tambahan kepada perusahaan. Misalnya, biaya pemulihan lingkungan yang rusak akibat pencemaran. Dalam putusan ini ia tak melihat hukuman tambahan itu.
Tags:

Berita Terkait