M Agus Riza Hufaida, Advokat Pembela Hak Pesepakbola
Berita

M Agus Riza Hufaida, Advokat Pembela Hak Pesepakbola

Terkadang lebih sibuk dengan probono-nya ketimbang menangani kasus profesional.

Oleh:
CR-19
Bacaan 2 Menit
Mohammad Agus Riza Hufaida. Foto: RES
Mohammad Agus Riza Hufaida. Foto: RES
Pekerjaan, hobi dan passion biasanya sulit bersinergi menjadi satu. Sulit, bukan berarti mustahil. Itulah yang dibuktikan oleh Mohammad Agus Riza Hufaida. Alumnus Fakultas Hukum Universitas Indonesia yang akrab disapa Riza itu tengah menjalani profesi sekaligus mengaktualisasikan hobi sepakbolanya. Selain mendirikan kantor advokat Riza Hufaida & Partners, Riza juga aktif di Asosiasi Pesepakbola Profesional Indonesia (APPI).

Sebagai informasi, APPI merupakan perkumpulan atau asosiasi yang menaungi pemain sepakbola profesional di Indonesia. Berafiliasi dengan FIFPro, satu-satunya asosiasi pesepak bola dunia yang diakui FIFA, APPI menjadi sparing partner bagi Persatuan Sepakbola Seluruh Indonesia (PSSI) khususnya dalam rangka menentukan kebijakan terkait dengan pemain sepakbola.

Sejak awal tahun 2011, dengan posisi sebagai Legal APPI, Riza mulai aktif melakukan sejumlah kegiatan advokasi terkait hak-hak pesepakbola profesional. Tidak hanya pesepakbola lokal, tetapi juga pesepakbola asing yang bermain di Indonesia. 

Ditemui hukumonline di sebuah lapangan futsal di bilangan Pondok Indah, Jakarta Selatan, pada awal September 2015, Riza bercerita panjang lebar seputar latar belakang, motivasi, pencapaian, hingga suka dan duka menjadi pembela hak-hak pesepakbola professional di Indonesia. Berikut ini petikan wawancaranya:

Bagaimana ceritanya sampai bisa bergabung dengan APPI?
Tahun 2011 akhir itu, kita diminta bantuan secara sukarela karena kita ada passion di situ. Saya ada kenalan Valentino Simanjuntak (host acara sepakbola yang khas dengan istilah ‘Jebret’, red) dulu di Big Reds (komunitas fans Liverpool, red) bareng, dia tahu saya lulusan hukum, dia tahu juga saya buka kantor hukum pada saat itu.

Saya baru masuk dan di situ kondisinya pas saya masuk ada yang namanya dualisme di PSSI, jadi Ketua PSSI-nya ada dua, PSSI La Nyalla dan PSSI Djohar Arifin, Timnasnya juga ada dua, pemain kan jadi nggak jelas segala macam. Jadi kita kemudian berperan, kita mewadahi pemain senior yang memang menjadi Exco (Executive Committee) kita. Ada Ponaryo Astaman, Bambang Pamungkas, Firman Utina, Bimasakti, Kurniawan, hingga Greg Nwokolo.

Membantu karena ada rencana beberapa akan dikasuskan. Buat saya yang profesi hukum ini jadi kesempatan artinya pemain ini dalam posisi yang dirugikan dan tidak ada kepastian hukum bagaimana harus menyelesaikan. Saya sebagai advokat dan punya jiwa untuk membela pemain, kita harus cari jalan keluar.

Sejauh ini sudah pegang kasus apa saja? Hasilnya bagaimana?
Kasus kita menangani macam-macam. Satu, soal gaji pemain, itu hampir 90–95 persen. Kita terima 160 kasus di 2012 - 2013. Kita selesaikan sekitar 50 persen, kategori sukses itu iya. Artinya klub merespon dan memberikan penyelesaian tapi itu kita anggap sudah selesai. Tapi sisanya juga 60-70 kasus itu sampai sekarang belum selesai. Itu yang kita selalu tekankan bahwa ini harus segera diselesaikan.

Itu awalnya 10 pemain Persija ditunggak sampai lima bulan dan berguguran. Pada saat itu BP (Bambang Pamungkas) kemudian berani tampil dan dia bilang dan memutuskan kalau Persija belum bayar, dia tidak akan main. Karena memang ada klausula di FIFA yang mengatakan kalau tiga bulan berturut-turut pemain tidak dibayar itu pemain bisa memutuskan kontrak sendiri.

BP meskipun dia cinta sekali dengan Persija akhirnya dia memutuskan untuk tidak bermain untuk Persija. Waktu itu rehat satu musim tahun 2013-2014, akhirnya itu kita ajukan gugatan BP dan Leo (Leo Saputra) meskipun PSSI protes karena dibawa ke pengadilan tapi buat kita pengadilan itukan tidak boleh menolak perkara, pengadilan itu juga tempat kita mencari keadilan. Kalau tidak ke pengadilan, mau ke mana lagi kita mencari keadilan itu? Ketika mereka mau dipanggil, ada campur tangan PSSI juga, mereka menyelesaikan tunggakan itu.

Bagaimana dengan pemain asing?
Pemain asing juga bermasalah, banyak yang surat-surat izinnya itu tidak diurus padahal mungkin menjadi kewajibannya klub. Itu tergantung kontrak, tapi dari beberapa kontrak yang saya terima, itu kewajiban klub. Kalau pemain asingkan wajib pakai agen, kadang klub tidak mau tahu, agen saja yang urus sehingga uangnya kadang dibawa lari. Kadang-kadang agennya juga ‘agen-agenan’, bukan agen resmi.

Pemain asing itu lebih kompleks, karena ada yang gajinya tidak dibayar dan supaya klub nggak bayar ada yang dijebak. Panggil imigrasi, pura-pura mau dibayar dan disuruh tangkap, itu ada juga.

Pemain asing itu dari 2011 sudah ada yang meninggal. Pertama sebenarnya Bruno Zonandi itu yang di Tangerang lalu kemudian Diego Mendieta yang di Solo, ada Sekou Camara yang di Bandung, terakhir ada Salomon Begondo. Masalahnya dia belum digaji. Terus ada beberapa pemain asing ada yang ditipu agennya, jadi kalau pemain asing ada masalah itukan langsung ke FIFA, itu hampir pasti menang. Hampir 90 persen masalah gaji, tapi kalau kemudian ada soal izin kerja kalau untuk pemain asing. Ada hak-hak selain gaji, misalnya asuransi.

Lalu sebenarnya bagaimana kondisi perlindungan hukum bagi pesepak bola di Indonesia?
Kalau yang namanya sepak bola ini ‘haram’ hukumnya pemerintah ikut campur tangan. Jadi tidak boleh badan pemerintah termasuk peradilan pun nggak boleh. Artinya, penyelesaiannya pun tidak boleh dibawa ke pengadilan pada saat itu, doktrinnya lah. Karena sepakbola itu punya rule of the game sendiri, sepakbola itu punya aturan sendiri.

Celakanya, FIFA itu mendorong federasi (PSSI) supaya kalau ada kasus pemain lokal itu diselesaikan lewat National Dispute Resolution Chamber (NDRC). Sampai sekarang, NDRC itu belum dibentuk karena tidak sembarangan, di situ ada unsur pemain, dalam hal ini diwakili oleh asosiasi yang diakui FIFA, yakni APPI. Dan dari unsur pelatih dan klub juga ada.

Cuma sampai sekarang bahkan ngomong aja pun belum ada. karena belum adanya lembaga penyelesaian sengketa itulah membuat pemain dan kita semua jadi bertanya-tanya, kita harus bagaimana?

Jadi payung hukum bagi pesepakbola bagaimana selama ini? Tunduk nggak sama UU Ketenagakerjaan?
Itu dia masalahnya, pemain ini kan profesional. Namanya profesional pengen-nya kan nggak disamakan dengan buruh ya. Tapi jatuhnya adalah ketika profesional mestinya ada perdata atau profesional itu payung hukumnya FIFA karena itu tadi ‘haramnya sepak bola itu dicampuri oleh pemerintah’.

Padahal kecenderungannya kalau di negara-negara seperti Spanyol, Australia, mereka minta diakui sebagai labour union atau buruh. Mereka itu hak-haknya dilindungi sama seperti buruh. Jadi payung hukumnya jelas.

Karena di sini belum ada lembaga penyelesaian yang pasti sehingga tidak ada kepastian, menurut saya bisa kita dibawa alternatifnya ke perdata atau PHI (Pengadilan Hubungan Industrial) karena mereka memenuhi unsur pekerja, misalnya upah.

Kalau dari sisi hukumnya pemain, itu lebih terlindungi. Mereka punya hak mogok, hak cuti, atau segala macam atau adalah payung hukumnya. Tapi itu tidak pernah direstui dan tidak pernah dianggap oleh PSSI atau federasi. Federasi itu ibaratnya pemegang sahamnya klub. Mereka ada kecenderungan agar pemain biarlah bodoh agar tidak susah. Misalnya kontraknya satu miliar ditulisnya padahal cuma Rp800 juta. Banyak, ada yang lapor kita.

Bicara tentang hak, apakah pesepakbola itu sendiri sudah melek soal hukum? Misalnya terkait dengan kontrak pemain?
Dari beberapa tahun belakangan yang kita lihat, kelemahan mereka tidak tahu hak-haknya, mereka tidak berdayalah. Makanya kita kampanyekan #AyoBacaKontrak karena itu penting. Banyak pemain yang tidak tahu apa isi kontraknya, tahunya hanya tandatangan akhirnya dia tidak punya kopian (fotokopi, red) nya. Ketika mau gugat, ya kita mau gugat apa?

Karena mungkin pemain kita tahunya main bola saja, lainnya dia boro-boro ngerti. Kontrakpun yang penting dilihat angkanya berapa, pokoknya tanda tangan. Fungsi kita sebenarnya memberikan edukasi, promosi, kemudian solidarity. Kita ada program tiap bulan, kondisi geografis ujung dan ke ujung. Kita sudah coba untuk roadshow nantinya.

Edukasi itu tentunya memberikan pengetahuan dan pemahaman ke mereka. Kita menerima kasus dan aduan yang harus kita tangani tapi di satu sisi harus edukasi. Di sela-sela waktu advokasi juga kita edukasinya program ngobrol bareng APPI. Itu rutin tiap bulan dan itu kita rekam dan upload ke Youtube. Tujuannya  itu pemain agar bisa jaga keseimbangan.

Di sana kita sampaikan standard minimum contract, penyelesaian perkara, bahkan sampai ke financial planner. Kita analogikan ada sponsor, lapangan, pengurus, tapi kalau nggak ada pemain kan nggak bisa jalan. Untuk ngomong kaya gitu dan menjelaskan itu, pemain masih takut-takut. Itu tugas kita tapi capeknya luar biasa kalau kita kasih tahu ke mereka. Mereka itu ada masalah baru ngomong, masalah beres nggak ngomong ke kita sudah selesai atau belum.

Suka dan duka menjadi advokat pembela pesepakbola apa saja?
Sukanya sekarang kita jadi dekat ya, maksudnya dulu melihat BP seperti gimana tapi sekarang sudah kaya temen lah. Dulu kejar tandatangan, sekarang dia juga kejar tanda tangan kita. Ini juga kaos dari dia, yang lain pada minta, dikasihnya ke saya. Kalau saya punya passion, memang dari dulu cinta olahraga ini. Kebetulan sekarang ada kesempatan untuk berkontribusi dan ini tingkatnya adalah level nasional. Jadi ngerjain-nya emang senang. So far enjoy.

Ini juga bagian dari upaya menuju industrialisasi ya, saya selalu optimis sepak bola kita akan dan sedang menuju industri dan lebih bagus. Saya ada di dalamnya dan menuju ke sana dan mungkin kita bisa menjadi salah satu pelaku dan expert juga. Kita tahu beberapa kampus sudah ada hukum olahraga dan senangnya juga akhirnya punya kesempatan untuk berdiskusi dari UI, UGM, UNDIP bikin seminar tentang hukum olahraga, kita dipanggil jadi narasumber.

Dukanya, kadang kalau kasus lebih banyak dari kemarin, kadang lebih sibuk probono-nya daripada profesionalnya. Kayaknya sibukan ini nih sampai lembur-lembur padahal untuk yang biasa saya batasi untuk tidak lembur, tidak terlalu diporsir. Advokasi kita banyak soalnya.
Tags:

Berita Terkait