Quo Vadis Permohonan Pendaftaran Merek Rokok
Kolom

Quo Vadis Permohonan Pendaftaran Merek Rokok

Penolakan atas dasar Pasal 5 ayat (a) UU Merek jo PP 109/2011 dengan alasan bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang tidak memiliki ‘rujukan’ pada UU Merek adalah janggal.

Bacaan 2 Menit
Foto: Koleksi Penulis
Foto: Koleksi Penulis
Rokok merupakan salah satu penyebab kematian utama di dunia. Survei dari Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia tahun 2007 menyebutkan setiap jam sekitar 46 orang meninggal dunia karena penyakit yang berhubungan dengan merokok di Indonesia. Terlepas dari bahaya ataupun dampaknya, rokok masih menjadi bisnis yang eksis di Tanah Air.   Terkait hal tersebut, terdapat hal menarik tentang permohonan pendaftaran merek rokok di Indonesia. Dari informasi yang penulis terima dari beberapa rekan Konsultan Hak Kekayaan Intelektual (HKI), klien mereka ada yang menerima surat rencana penolakan permohonan pendaftaran merek rokok dari Direktur Merek, Direkorat Jenderal Kekayaan Intelektual, Kementerian Hukum dan HAM.   Alasannya, karena bertentangan dengan tentang Pengamanan Bahan Yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau Bagi Kesehatan (PP 109/2012) dan Pasal 5 huruf (a) pada tentang Merek (UU Merek).   PP 109/2012 merupakan ‘turunan’ atau peraturan pelaksanaan lebih lanjut dari (UU 36/2009) tentang Kesehatan. Materi muatan dari PP seharusnya adalah materi untuk menjalankan undang-undang sebagaimana diatur Pasal 1 angka (5) tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (UU 12/2011).   Berdasarkan Pasal 27 UU 12/2011, maka rancangan PP berasal dari kementerian dan/atau lembaga Pemerintah non-kementerian sesuai dengan bidang tugasnya. Selanjutnya dalam penyusunan rancangan PP, pemrakarsa membentuk panitia antar kementerian dan/atau lembaga pemerintah non-kementerian (Pasal 54 ayat (1) UU 12/2011).   Menjadi pertanyaan apakah Ditjen KI Cq. Direktorat Merek selaku instansi teknis yang membawahi masalah Kekayaan Intelektual khususnya merek dilibatkan pula dalam mempersiapkan rancangan Peraturan Pemerintah tersebut ataukah peraturan tersebut hanya dipersiapkan oleh Kementerian Kesehatan saja mengingat UU Merek tidak disebutkan pada bagian mengingat dari PP 109/2012, meskipun substansinya menyinggung tentang merek.   Selain itu, juga menjadi pertanyaan mengenai peran Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) dalam proses penyusunan PP tersebut, padahal Kemenkumham merupakan pihak yang mempunyai kewenangan melakukan pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan konsepsi rancangan PP (Pasal 54 ayat (2) UU 12/2011 jo. Pasal 63 Perpres Nomor 87 Tahun 2014, sekaligus sebagai pihak yang membawahi Ditjen KI.   Pasal 3 PP 109/2012 menyebutkan bahwa PP tersebut mengatur mengenai: produk tembakau, tanggung jawab pemerintah dan pemerintah daerah, penyelenggaraan, peran serta masyarakat dan pembinaan dan pengawasan.   Mencermati dasar rencana penolakan oleh Dirjen KI atas permohonan pendaftaran merek rokok berdasarkan Pasal 5 huruf (a) UU Merek Jo. PP 109/2011, maka untuk itu kita perlu menelaah dasar hukum rencana penolakan tersebut.   Pasal 5 huruf (a), “”. Sedangkan setelah ditelaah lebih lanjut ketentuan Pasal yang relevan dalam PP 109/2011 maka hanya terdapat 1 Pasal yang terkait atau relevan dengan dasar penolakan tersebut yaitu Pasal 24 yang berbunyi sebagai berikut:  

Apakah larangan pencantuman kata sebagaimana dimaksud pada Pasal 24 ayat (2) PP 109/2011 yaitu “light”, “ultra Light”, “Mild”, “Extra Mild”, “Low Tar”, “Slim”, “Special”, “Full Flavour”, “Premium” atau kata-kata lain yang mengindikasikan kualitas, superioritas, rasa aman, pencitraan, kepribadian, ataupun kata-kata dengan arti yang sama, dapat dianggap bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang ada. Terlebih dasar pengaturannya adalah berupa PP yang tidak memiliki ‘rujukan’ pada UU Merek dan juga penilaian mengenai kata-kata lain yang memilik arti sama adalah sangat subjektif sekali tanpa diberikan suatu pedoman ataupun batasan teknis dalam pemeriksaan permohonan pendaftaran merek.

Apabila kita mencermati Ketentuan Pasal 24 ayat 2 dan 3 PP No. 109 terdapat dua kondisi yang berbeda dimana bagi produk rokok yang telah memiliki Sertifikat Merek tidak dilarang untuk mencantumkan kata “light”, “ultra Light”, “Mild”, “Extra Mild”, “Low Tar”, “Slim”, “Special”, “Full Flavour”, “Premium” atau kata-kata lain yang mengindikasikan kualitas, superioritas, rasa aman, pencitraan, kepribadian, ataupun kata-kata dengan arti yang sama. Namun ketentuan tersebut tidak berlaku bagi produk rokok yang belum memperoleh/memiliki sertifikat merek. Bagaimana halnya apabila permohonan pendaftaran tersebut telah diajukan sebelum terbitnya PP 109/2011 tersebut namun hingga tanggal terbitnya PP 109/2011 tersebut belum memasuki tahapan pemeriksaan substantif.

Titik Singgung Antara UU Merek dan PP No. 109
Penolakan atas dasar Pasal 5 ayat (a) UU Merek jo PP 109/2011 dengan alasan bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang tidak memiliki ‘rujukan’ pada UU Merek adalah janggal, mengingat UU Merek sudah mengatur secara jelas dan spesifik mengenai kriteria merek yang tidak dapat didaftar dan yang akan ditolak pendaftarannya yaitu pada Pasal 4, 5, dan 6 UU Merek.

Sulit dipahami Dirjen KI dapat menafsirkan PP 109/2011 sebagai dasar penolakan pendaftaran merek dengan alasan bertentangan dengan Pasal 5 ayat (a) UU Merek, dengan alasan sebagai berikut:

Pertama, PP 109/2011 tersebut merupakan PP yang merupakan peraturan lebih lanjut dari UU Kesehatan dan bukan UU Merek. Kedua, tidak terdapat ‘rujukan hukum’ pada PP 109/2011 pada bagian mengingatnya mengenai UU Merek sehingga tanpa disebutkan pada bagian mengingat dari PP tersebut ketentuan tersebut tidak serta merta dapat diterapkan dalam proses pemeriksaan permohonan pendaftaran merek rokok.

Ketiga, PP 109/2011 telah keluar dari norma suatu PP seharusnya, seyogyanya norma dari PP 109/2011 tersebut hanya menjelaskan/menjabarkan ketentuan UU Kesehatan saja dan tidak boleh menambah atau mengurangi norma pada UU Kesehatan, apalagi menambah/mengurangi norma pada UU Merek. Untuk itu maka  sudah seharusnya PP 109/2011 tersebut tidak dapat diberikan pengertian sebagai bertentangan dengan peraturan perundang-undangan sebagaimana dimaksud Pasal 5 ayat (a) UU Merek.

Perlu diketahui bahwa merek rokok yang diajukan permohonan pendaftaran tersebut umumnya berupa varian dari merek rokok yang telah beredar sebelumnya di masyarakat. Sebagai consumer good product sudah lazim apabila produsen terus berinovatif mengeluarkan varian nama produk yang berbeda guna nama produknya tetap dapat eksis dan dikenal masyarakat. Seharusnya materi dan muatan dari PP dengan konteks pengamanan produk tembakau bagi kesehatan konsisten hanya mengatur mengenai hal-hal yang menjadi ‘porsi’ dari PP tersebut sebagaimana disebutkan dengan tegas pada Pasal 3 PP 109/2011, dan tidak mengatur mengenai merek yang merupakan ranah dari Kemenkumham.

Upaya Kebaratan atas Rencana Penolakan
Atas Surat Rencana Penolakan yang dikeluarkan oleh Direktur Merek tersebut maka pemohon pendaftaran merek dapat mengajukan keberatan atau tanggapannya berikut alasannya dalam jangka waktu 30 hari kerja sejak Surat Rencana Penolakan tersebut diterima sebagaimana ketentuan Pasal 20 UU Merek. Dalam hal alasan keberatan/tanggapan tersebut tidak diterima oleh pemeriksa maka atas persetujuan Dirjen KI dikeluarkan keputusan tentang penolakan permohonan pendaftaran merek tersebut. Selanjutnya dalam hal terdapat penolakan maka pemohon pendaftaran merek dapat menerima putusan tersebut dan tidak melakukan upaya hukum apapun atau melakukan upaya hukum banding kepada Komisi Banding Merek (Pasal 29 UU Merek) dalam jangka waktu tiga bulan sejak tanggal diterimanya surat pemberitahuan penolakan permohonan pendaftaran merek (Pasal 30 UU Merek).

Dalam hal putusan Komisi Banding Merek tersebut menolak permohonan banding tersebut maka pemohon pendaftaran merek dapat mengajukan gugatan atas putusan penolakan permohonan banding kepada Pengadilan Niaga dalam jangka waktu paling lama 3 bulan terhitung sejak tanggal diterimanya keputusan penolakan tersebut (Pasal 31 ayat (3) UU Merek). Dalam hal pemohon pendaftaran merek menempuh upaya gugatan atas putusan penolakan permohonan banding tersebut kepada Pengadilan Niaga maka putusan Komisi Banding Merek tersebut akan diuji oleh Pengadilan Niaga apakah penolakan permohonan pendaftaran merek tersebut telah berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang ada ataukah tidak.

Jika Majelis Hakim Pengadilan Niaga berpendapat bahwa dasar penolakan permohonan pendaftaran merek yang diberikan oleh Dirjen KI tersebut tidak berdasar maka Pengadilan Niaga akan membatalkan Putusan Komisi Banding Merek tersebut. Selanjutnya apabila majelis hakim Pengadilan Niaga mengabulkan gugatan penggugat maka Dirjen KI dapat mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung Republik Indonesia, demikian pula sebaliknya apabila gugatan Penggugat tidak dapat diterima atau ditolak maka Penggugat dapat mengajukan kasasi [Pasal 31 yat (4) UU Merek].

Penutup
Merupakan suatu langkah yang bijaksana apabila Dirjen KI dalam melakukan penolakan permohonan pendaftaran merek rokok berdasarkan PP 109/2011 melakukan kajian mendalam terlebih dahulu mengenai dasar penggunaan PP 109/2011. Dalam hal tidak terdapat ‘payung hukum’ dalam penerapan PP 109/2011 yang menjadi dasar penolakan permohonan pendaftaran merek rokok maka yang akan terjadi dalam hal terdapat upaya gugatan ke Pengadilan Niaga atas penolakan permohonan pendaftaran merek rokok maka pengadilan yang berlangsung adalah ‘pengadilan yang menguji keabsahan dari dasar hukum penolakan pendaftaran merek antara UU Merek dan PP 109/2011’.

Selain itu, dari hasil penelusuran penulis pada website Ditjen KI pada bagian e-status maka ditemukan adanya merek yang menggunakan kata yang termasuk dalam kriteria PPNo109/2011tersebut, namun diberikan putusan untuk didaftar oleh Dirjen KI, yaitu: Esse Mild Super Slim (BRM A 1214 tanggal 26 Februari 2014) dan Esse Mild Menthol Super Slim (BRMA 1114 tanggal 19 Februari 2014). Hal mana menunjukkan terdapat dualisme dari Ditjen KI atas penerapan PP 109/2011. Terkait dengan penolakan berdasarkan ketentuan Pasal 5 huruf (a), menarik pula mencermati ketentuan Pasal 36 ayat (3) UU Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, Serta Lagu Kebangsaan, yang menyatakan bahwa Bahasa Indonesia wajib digunakan untuk merek dagang yang dimiliki oleh WNI atau badan hukum Indonesia.
* Penulis adalah Advokat




PP Nomor 109 Tahun 2012UU Nomor 15 Tahun 2001

UU Nomor 36 Tahun 2009UU Nomor 12 Tahun 2011











Merek tidak dapat didaftar apabila merek tersebut mengandung salah satu unsur: a. Bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, moralitas, agama, kesusilaan atau ketertiban umum
2. Selain larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) setiap produsen dilarang mencantumkan kata “light”, “ultra Light”, “Mild”, “Extra Mild”, “Low Tar”, “Slim”, “Special”, “Full Flavour”, “Premium” atau kata-kata lain yang mengindikasikan kualitas, superioritas, rasa aman, pencitraan, kepribadian, ataupun kata-kata dengan arti yang sama;
3. Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak berlaku bagi produk tembakau yang sudah mendapatkan sertifikat merek sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
4. Setiap orang yang memproduksi dan/atau mengimpor produk tembakau yang mencantumkan keterangan atau tanda apapun yang menyesatkan atau kata-kata yang bersifat promotif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenakan sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”
Tags:

Berita Terkait