MK: Anjuran Tertulis Bukan Syarat Pengajuan Gugatan PHI
Berita

MK: Anjuran Tertulis Bukan Syarat Pengajuan Gugatan PHI

Menurut Mahkamah anjuran tertulis adalah bagian dari risalah penyelesaian melalui mediasi atau konsiliasi.

Oleh:
ASH
Bacaan 2 Menit
Gedung MK. Foto: RES
Gedung MK. Foto: RES


Namun, persoalannya format dan substansi risalah penyelesaian dalam mediasi atau konsiliasi tidak diatur dalam UU PPHI, maka Mahkamah perlu mempertimbangkan lebih lanjut mengenai format dan substansi risalah dimaksud. Mengacu Pasal 6 UU PPHI, format dan substansi risalah penyelesaian mediasi/konsiliasi sekurang-kurangnya memuat (a) nama lengkap dan alamat para pihak; (b) tanggal dan tempat; (c) alasan perselisihan; (d) pendapat para pihak; (e) anjuran tertulis; dan (f) kesimpulan hasil mediasi/konsiliasi.

“Apabila anjuran tersebut tidak diterima oleh salah satu pihak/kedua pihak maka yang bersangkutan dapat mengajukan gugatan ke PHI dengan melampirkan risalah tersebut,” lanjutnya.

Atas dasar itu, menurut Mahkamah anjuran tertulis adalah bagian dari risalah penyelesaian melalui mediasi atau konsiliasi. Karena itu, frasa “sebagai bentuk risalah penyelesaian melalui mediasi atau konsiliasi” seperti disebut petitum permohonan secara teknis penerapannya kurang tepat.

“Yang paling tepat adalah frasa “dalam bentuk risalah penyelesaian melalui mediasi atau konsiliasi”. Dengan demikian, Pasal 13 ayat (2) huruf a dan Pasal 23 ayat (2) huruf a UU PPHI rumusannya dimaknai menjadi seperti termuat dalam amar putusan.”
Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan uji materi permintaan tafsir frasa “anjuran tertulis”dalam Pasal 13 ayat (2) huruf a dan Pasal 23 ayat (2) huruf a UU No. 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Indutrial (PPHI). Mahkamah memaknai frasa “anjuran tertulis” dalam dua pasal itu sebagai risalah mediasi yang dikeluarkan mediator ketika tidak tercapai kesepakatan sengketa hubungan industrial.    

“Frasa ‘anjuran tertulis’ dalam Pasal 13 ayat (2) huruf a dan Pasal 23 ayat (2) huruf a UU PPHI bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang tidak dimaknai ‘dalam hal tidak tercapai kesepakatan penyelesaian perselisihan hubungan industrial melalui mediasi, maka mediator mengeluarkan anjuran tertulis dalam bentuk risalah penyelesaian melalui mediasi’,” ujar Ketua MK Arief Hidayat saat membacakan putusan No. 68/PUU-XIII/2015 di Gedung MK, Selasa (29/9).  

Sebelumnya, sejumlah buruh yakni Muhammad Hafidz, Wahidin, Solihin, Herwan, dan Yayat Sugara mempersoalkan frasa “anjuran tertulis” dalam Pasal 13 ayat (2) huruf a dan Pasal 23 ayat (2) huruf a UU PPHI. Mereka meminta tafsir agar “anjuran tertulis” dalam proses mediasi atau konsiliasi di Dinas Tenaga Kerja dimaknai sebagai “risalah” sebagai syarat formil pengajuan gugatan ke Pengadilan Hubungan Industrial (PHI).  

Menurutnya, keberadaan kedua pasal tersebut telah merugikan para pihak termasuk para pemohon ketika akan mengajukan gugatan ke PHI. Soalnya, selama ini mediator maupun konsiliator hanya memberikan anjuran tertulis apabila tidak tercapai kesepakatan dalam penyelesaian sengketa hubungan industrial. Satu sisi, UU PPHI tidak memberi kewenangan mediator/konsiliator untuk menerbitkan risalah.  

Sisi lain, Pasal 83 ayat (1) UU PPHI, gugatan ke PHI melampirkan risalah mediasi/konsiliasi sebagai syarat formil pengajuan gugatan ke PHI. Jika tidak, hakim PHI wajib mengembalikan gugatan para penggugat. Namun, praktik dan teori UU PPHI, anjuran tertulis tidak dipakai lagi, yang dipakai itu risalah. Karena itu, para pemohon berharap MK menyatakan konstitusional bersyarat sepanjang kata “anjuran tertulis” dalam dua pasal itu dimaknai sebagai bentuk risalah penyelesaian melalui mediasi atau konsiliasi.

Dalam pertimbangannya, Mahkamah menganggap anjuran tertulis bukan syarat formil pengajuan gugatan di PHI. Sedangkan risalah penyelesaian mediasi atau konsiliasi merupakan syarat formil dalam pengajuan gugatan di PHI. Karena itu, petitum permohonan yang meminta pemaknaan Pasal 13 ayat (2) huruf a dan Pasal 23 ayat (2) huruf a UU PPHI setelah frasa “anjuran tertulis” ditambahkan frasa “sebagai bentuk risalah penyelesaian melalui mediasi” dipandang beralasan.
Tags:

Berita Terkait