Putusan Kode Etik Nyatakan Dua Advokat Tidak Langgar Kode Etik
Berita

Putusan Kode Etik Nyatakan Dua Advokat Tidak Langgar Kode Etik

Ada dissenting opinion yang menyatakan kode etik yang berlaku bagi AAI, yang berwenang mengadili pengaduan di tingkat pertama adalah Dewan Kehormatan Cabang AAI, bukan Dewan Kehormatan Pusat.

Oleh:
HAG
Bacaan 2 Menit
Logo AAI. Foto: aai.or.id
Logo AAI. Foto: aai.or.id
Sidang yang menyeret dua nama advokat, Timotius Tumbur Simbolon dan Jemmy Mokolensang di kursi terdakwa masih berlanjut di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Rabu (30/9). Sidang tersebut beragendakan keterangan saksi yang didatangkan dari Jaksa Penuntun Umum (JPU).  

Sebelumnya, dari dalam Jawaban dari kedua terdakwa tersebut, Timotius dan Jemmy menyatakan bahwa sudah ada Putusan Dewan Kehormatan Kode Etik yang menyatakan bahwa mereka tidak terbukti melakukan pelanggaran Kode Etik Advokat. Putusan Dewan Etik  tersebut ditandatangani pada Selasa (28/4), oleh Majelis Dewan Kehormatan Pusat yang diketuai oleh Munir Fuadi dan beranggotakan Lukman Arifin dan Teuku Nasrullah.

“Memperhatikan ketentuan-ketentuan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga Asosiasi Advokat Indonesia, UU No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat dan Kode Etik Advokat Indonesia memutuskan menerima pengaduan dan Pengadu DPC-AAI Jakarta Pusat terhadap Para Teradu, Timotius Tumbur Simbolon dan Jemmy Mokolensang. Tidak terbukti melakukan pelanggaran Kode Etik Advokat dan dibebaskan dari tuduhan pelanggaran Kode Etik Advokat,” berikut kutipan dari Salinan Putusan Dewan Kehormatan Kode Etik Dewan Pimpinan Pusat Asosiasi Advokat Indonesia yang didapatkan hukumonline, Jumat (2/10).

Dalam pertimbangannya, majelis mempertimbangkan bahwa hal-hal yang dilakukan oleh Timotius dan Jemmy merupakan tindakan dalam melakukan tugas profesi. “Menimbang, bahwa setelah Majelis memeriksa dan mempertimbangkan alasan-alasan, dalil-dalil, dan bukti Pengadu dan Para Teradu, bahwa Para Teradu tidak terbukti telah melakukan tugas profesinya sesuai dengan flatprom dan lingkup kode Etik Advokat,” berikut yang tertera dalam kutipan salinan Putusan.

Namun, dalam Putusan tersebut terdapat Dissenting Opinion dari Munir Fuadi yang menyatakan bahwa kode etik yang berlaku bagi Asosiasi Advokat Indonesia (AAI), yang berwenang mengadili pengaduan di tingkat pertama adalah Dewan Kehormatan Cabang Asosiasi Advokat Indonesia (bukan Dewan Kehormatan Pusat).

“Bahwa karena itu, terhadap perkara a quo seyogianya Dewan Kehormatan Pusat harus menyatakan dirinya tidak berwenang mengadili, sehingga seuai dengan kode etik Advokat yang berlaku bagi AAI. Dewan Kehormatan AAI seyogyanya memutuskan bahwa perkara a quo dinyatakan tidak dapar diterima (N.O) dengan demikian pemberi Disenting Opinion menyatakan diri tidak masuk kedalam pokok perkara,” jelasnya.

Sedangkan dua anggota lain yaitu Lukman Arifin dan Teuku Nasrullah berpendapat bahwa Dewan KehormatanPusat Asosiasi Advokat Indonesia berwenang memeriksa dan mengadili Pengadu. Hal tersebut didasarkan beberapa alasan diantaranya bahwa Teradu merupakan anggota Asosiasi Advokat Indonesia Cabang Jakarta Pusat, sehingga demi objektifitas dan independensi sebaiknya diadili oleh Dewan Kehormatan Pusat Dewan Pimpinan Pusat Asosiasi Advokat Indonesia.

“Selama ini dan dengan merujuk kepada beberpa kasus sebelumnya, Dewan Kehormatan Pusat Dewan Pimpinan Pusat Asosiasi Advokat Indonesia berwenang memeriksa dan mengadili perkara-perkara sejenis, namun statusnya adalah dalam tingkat pertama dan terakhir,” tambahnya.

Untuk diketahui,kasus yang menyeret dua advokat tersebut diawali saat keduanya mewakili kliennya untuk mengurus tanah, dimana dalam menjalankan tugas tersebut keduanya mendapatkan surat kuasa dan surat pernyatan dari kliennya. Namun saat melakukan pengurusan kedua advokat tersebut diadukan oleh BCA dengan tuduhan memasuki perkarangan. Mereka adalah Timotius Tumbur Simbolon dan Jemmy Mokolensang yang diduga melanggar Pasal 263 ayat (2) KUHP jo Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP atau Pasal 167 ayat (1) jo Pasal 4 KUHP jo Pasal 5 ayat (1) ke 1 KUHP.

Untuk diketahui, Pasal 263 ayat (2) KUHP mengatur tentang delik pemalsuan surat dengan ancaman pidana penjara paling lama enam tahun. Sementara, Pasal 167 ayat (1) KUHP mengatur tentang delik menerobos rumah, ruangan atau pekarangan secara melawan hukum dengan ancaman pidana penjara paling lama sembilan bulan atau pidana denda paling banyak Rp4500.
Tags:

Berita Terkait