Spirit Permendag Pembatasan Minuman Beralkohol Tidak Jelas
Berita

Spirit Permendag Pembatasan Minuman Beralkohol Tidak Jelas

Awalnya membatasi, tapi belakangan malah melarang.

Oleh:
HAG
Bacaan 2 Menit
Foto Ilustrasi: RES
Foto Ilustrasi: RES
Dikeluarkannya Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) No.6 Tahun 2015  tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Menteri Perdagangan Republik No.20 Tahun 2014 tentang pengendalian dan Pengawasan terhadap pengadaan, peredaran, dan penjualan minuman berakholhol merupakan salah satu bagian dari Revolusi Mental yang dicanangkan oleh Presiden Jokowi.

Hal itu dinyatakan Refrizal, anggota DPR RI saat Talkshow Pro Kontra Regulasi Minol yang diadakan oleh Sindotrijaya Network, di Warung Daun Cikini, Sabtu (3/10). Hadir pula Jimmy Bella (Direktur Logistik dan Sarana Distribusi Kemendag), Bambang Britono (Asosiasi Pengusaha Miuman Berakhohol), Refrizal (Anggota DPR RI), dan Anggara (Peneliti Senior ICJR).

Refrizal menjelaskan bahwa dengan adanya peraturan yang mengatur peredaran dari minuman berakhohol maka hal tersebut merupakan cara untuk mengurangi penyakit yang ada dimasyarakat. Menurutnya, peraturan tersebut dikeluarkan oleh Kementerian Perdagangan karena sudah menjadi penyakit di masyarakat.

“Banyak yang mati di tempat-tempat lain, termasuk anak kecil juga sudah bisa mengkonsumsi, sehingga pemerintah harus mengaturnya. Bila ingin memperbaiki mental melalui revolusi mental, ini salah satu cara,” jelasnya.

Sejurus dengan Refrizal, Jimmy menjelaskan bahwa Permendag tersebut sebenarnya tidak melarang peredaran dari minuman beralkohol, tapi hanya membatasi. Menurutnya, dalam peraturan tersebut sangat jelas pemerintah daerah diberikan kewenangan untuk mengatur dengan berpegangan terhadap Permendag, kawasan mana saja di daerah yang diperbolehkan untuk menjual minuman beralkohol.

“Diberikan kewenangan kepada pemda untuk mengatur kawasan mana saja didaerahnya yang diperbolehkan untuk menjual minuman beralkhol, misalnya seperti kawasan parisiwata. Itu semua yang tahu kan ya bupati dan kepala daerah masing- masing. Asal tidak bertentangan dengan permendag yang ada,” kata Jimmy.

Selain itu, Jimmy menjelaskan bahwa ada penambahan pasal didalam PermendagNo.6 Tahun 2015,yaitu pelarangan penjualan minuman beralkhol di minimarket dan eceran lainnya, di mana yang dimaksud dengan eceran lainnya ialah pedagang yang di atas 12 meter.

“Pengecer lainnya yang di atas 12 meter. Dulu waktu kita buat Permendag 20 banyak lapak dipinggir jalan yang datang. Di atas 12 m itu seperti toko tradisional dan warung, itupun karena keberadaannya di tengah pemukiman. Sehingga memang dalam Pemendag No. 6 Tahun 2015, kita samakan minol golongan a,” ujarnya.

Menanggapi hal itu, Ketua Asosiasi Pengusaha Minuman Beralkohol, Bambang Britono, menilai peraturan yang melarang minuman beralkohol, justru salah sasaran. Menurutnya, ada salah tafsir dari peraturan yang dibuat pemerintah yang melarang ini.

Dia mengatakan, walau pemerintah dan DPR mengatakan bukan pelarangan melainkan pengaturan, namun yang terjadi di daerah-daerah adalah pelarangan. "Permendag pada awal spiritnya membatasi, tapi sekarang malah kami lihat spiritnya melarang, walau tidak ada kata melarang. Seperti pencabutan di minimarket," ujar Bambang.

Dia menjelaskan, jika pemerintah melandaskan pikiran bahwa melarang minuman beralkohol karena banyak yang meninggal, menurutnya hal itu salah. Sebab, beda antara minuman beralkohol dengan oplosan. "Industri kami sudah 83 tahun tidak ada masalah. Produk-produk kami di Malaysia juga ada di minimarket. Ada memperketat regulasi, tapi kami takut salah sasaran," tuturnya.

Selain itu, mengenai kata “dan eceran lainnya” yang terdapat dalam Permendag No.6 Tahun 2015 juga merupakan kebingungan untuk dirinya. Pasalnya, ada penjual yang sudah 20 m dan sudah memenuhi syarat-syarat yang terdapat dalam Permendag No.20 Tahun 2014, seperti penjualan tidak dekat rumah ibadah, sekolah, dan rumah sakit juga tetap mendapatkan izin untuk menjual.

“Mengenai kata ‘dan eceran lainnya’ itu banyak dari kami yang tidak mendapatkan izin, padahal sudah 20 m dan memenuhi syarat. Bagus kalau misalnya sudah jelas yang dimaksud dengan ‘dan eceran lainnya’ itu yang diatas 12 m,” tambahnya.

Menengahi pro kontra tersebut, Anggara, Peneliti Senior ICJR (Institute for Criminal Justice Reform) menanggapi bahwa asas dalam pembuatan peraturan adalah kejelasan rumusan, di mana tidak boleh ada frasa pengecer lainnya yang justru penjelasannya malah secara lisan.

“Penjelasannya jangan secara lisan agar tidak ada penjelasan yang berbeda, baik dari orang per orang ataupun lembaga per lembaga,” jelas Anggara.

Menurutnya, jika dalam aturannya ditegaskan ingin ada pembatasan, maka politiknya harus pembatasan bukan pelarangan. Namun, sekarang dapat dilihat politik pelarangan, padahal Permendag itu pembatasan.

“Tapi DPR malah ada RUU larangan minuman beralkhohol. Itu kriminalisasi. Itu yang kita tahu kondisi lapas over crowded. Investor akan narik investasinya di Indonesia, karena yang dirugikan tidak hanya pemerintah tetapi kita harus lihat juga turunan yang ada dibawahnya, contoh hotel, bar dan orang-orang yang bekerja di sektor tersebut,” ujar Anggara.
Tags:

Berita Terkait