Namun langkah Kemenristek Dikti itu tak berjalan mulus. Kini ada perlawanan hukum dari kampus yang dikenakan sanksi. Salah satunya datang dari Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Gici Jawa Barat. Perguruan tinggi ini sudah menunjuk kantor hukum Ihza & Ihza untuk menempuh upaya hukum.
Senin (05/10) kemarin, Yusril Ihza Mahendra menjelaskan langkah kliennya. Menurut dia, surat yang dikirimkan Kementerian Riset berupa surat pemberitahuan non-aktif kampus STIE Gici tidak sesuai prosedur. Surat Kemenristek menyebutkan STIE Gici melakukan pelanggaran terhadap UU No. 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi, Keputusan Mendiknas No. 234 Tahun 2000 dan Surat Edaran Dirjen Dikti No. 2920/D/T/2007. Gara-gara pelanggaran itu, STIE Gici tidak boleh menerima mahasiswa baru.
“Surat peringatan tidak menutup kampus. Menutup kampus ada prosedurnya sesuai Undang-Undang,” kata Yusril saat konferensi pers di Jakarta, Senin (05/10).
Yusril melanjutkan, Dikti tidak teliti dalam mengeluarkan keputusan. Alasan non-aktif tidak jelas sehingga keputusan menyebut non-aktif sejumlah PTS tidak memiliki kekuatan hukum dan pengaruh hukum. Ditegaskan mantan Menteri ini, kliennya sudah mengirimkan surat ke Dikti untuk bertemu membahas persoalan ini. “Supaya tidak resah dan tetap melanjutkan kegiatan sambil membicarakan dengan Menristek,” tambah Yusril.
Yusril juga menegaskan STIE Gici di Batam tak punya hubungan dengan STIE Gici Jawa Barat meskipun punya nama yang sama.
Kepala Prodi D3 Manajemen Pemasaran Iklan STIE Gici, Krisna Sujana, menambahkan sebelum Kemenristek Dikti menyatakan STIE Gici non-aktif per 26 Maret 2015, beberapa kali Inspektorat Jenderal Kementerian berkunjung ke STIE Gici. Beberapa masukan Itjen sudah dijalankan. “Memang ada beberapa kali kunjungan, dan kami sudah menjalankan solusi dan masukan dari Inspektorat Jenderal,” kata Krisna.
Dikutip dalam situs Kopertis XII (http://www.kopertis12.or.id/), kampus non-aktif belum tentu kampus abal-abal. Kampus memiliki izin pembukaan kampus dan penyelenggara program studi. Hanya, dalam pelaksanaan kegiatan perkuliahan pengelola kampus diduga melakukan berbagai pelanggaran sehingga dikenakan sanksi skala sedang dari Dikti.
Adapun jenis pelanggaran kampus non-aktif adalah masalah laporan akademik, masalah nisbah dosen/mahasiswa, masalah pelanggaran peraturan perundang-undangan seperti pengelolaan kelas kelas jauh tanpa izin, program studi atau Perguruan Tinggi tanpa izin, penyelenggaraan kelas Sabtu-Minggu, jumlah mahasiswa over kuota (prodi Kesehatan/kedokteran/dll), Ijasah palsu/gelar palsu, masalah sengketa/konflik internal, kasus mahasiswa, kasus dosen (mis dosen status ganda), dan pemindahan/pengalihan mahasiswa tanpa izin Kopertis.
Laman Kopertis juga menjelaskan sanksi yang dikenakan terdiri dari ringan dengan memperoleh surat peringatan; sedang dengan status non-aktif; kategori berat yakni pencabutan izin prodi atau PT. Jika berstatus non-aktif, PT antara lain tidak boleh menerima mahasiswa baru untuk tahun akademik baru, tidak boleh melakukan wisuda (jika terjadi dualisme kepemimpinan dan atau kasus kualifikasi pemimpin yang tidak dapat dipercaya), dan tidak memperoleh layanan Ditjen Dikti dalam bentuk beasiswa, akreditasi, pengurusan nomor induk dosen, sertifikasi dosen, dan hibah penelitian.
Jika suatu prodi berstatus non-aktif, maka prodi tersebut antara lain tidak boleh menerima mahasiswa baru untuk tahun akademik baru, tidak memperoleh layanan Ditjen Dikti dalam bentuk beasiswa, akreditasi, pengurusan nomor induk dosen, sertifikasi dosen, dan hibah penelitian.
Status non-aktif suatu perguruan tinggi /program studi dapat dipulihkan atau diaktifkan kembali, dalam kondisi program studi/perguruan tinggi sudah memenuhi persyaratan peraturan penyelenggaraan program studi/perguruan tinggi yang diberlakukan oleh Ditjen Kelembagaan Kemenristek Dikti, dan peraturan perundang-undangan bidang pendidikan secara umum.