Kejagung Diminta Kaji Mendalam Kasus BW
Berita

Kejagung Diminta Kaji Mendalam Kasus BW

Jika memang dirasa janggal dan sulit pembuktikan, Kejaksaan mesti menghentikan dengan menerbitkan SKPP.

Oleh:
RFQ
Bacaan 2 Menit
Foto: RES
Foto: RES
Kasus yang menjerat Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) non aktif, Bambang Widjojanto (BW), sudah dilimpahkan ke Kejaksaan. Malahan berkas sudah dinyatakan lengkap oleh Kejaksaan. Namun belakangan, Kejaksaan didorong untuk menghentikan perkara karena dinilai sebagian kalangan bukan masuk ranah pidana. Atas dasar itu, Kejaksaan Agung mesti mengkaji perkara BW secara komprehensif dan independen.

“Kejagung sebaiknya memang mengkaji perkara BW ini secara komprehensif dan independen, tidak hanya sekadar memeriksa Berita Acara Pemeriksaan (BAP) yang diserahkan oleh Kejaksaan,” ujar anggota Komisi III DPR, Arsul Sani, Selasa (6/10).

Menurut Arsul, meski berkas telah dinyatakan lengkap namun jika belakangan tidak meunjukan adanya kejanggalan dan sulit pembuktian sangkaan, maka dapat dihentikan. Tentunya, kejaksaan  dapat menerbitkan Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan (SKPP). “Namun sekali lagi untuk sampai pada keputusan ini kejaksaan lebih baik melakukan gelar perkara yang melibatkan para ahli,” katanya.

Politisi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) itu mengingatkan jika kasus BW dipaksakan dilimpahkan ke pengadilan dan BW dinyatakan bebas, maka wajah kejaksaan akan tercoreng. Pasalnya, boleh jadi kejaksaan dianggap tidak cakap dan prefesional dalam melakukan proses penuntutan.

Sebaliknya, kata Arsul, jika kejaksaan bakal mengentikan penanganan kasus di tingkat penuntutan, maka harus didasarkan pada aspek tidak terpenuhinya unsur pasal yang disangkakan.  Namun, jika penghentian penuntutan dilandaskan desakan para akademisi hal itu juga tidak dapat dibenarkan.

“Bukan atas dasar pertimbangan-pertimbangan seperti karena adanya desakan dari para akademisi-akademisi seperti beberapa waktu lalu,” ujarnya.

Ketua Presedium Indonesia Police Watch (IPW), Neta S Pane, menilai proses hukum yang dilakukan Polri terhadap BW sudah sesuai dengan Standar Operasional Prosedur (SOP). Malahan, telah sesuai dengan rel penegakan supremasi hukum, yakni ada pihak yang melaporkan dan bukti yang ditemukan penyidik. Selain itu, kasus yang sudah dilimpahkan ke kejaksaan sudah dinyatakan lengkap.

“Artinya tidak ada yang salah dalam proses hukumnya. Dua institusi penegak hukum yang merupakan perangkat pemerintah dalam melakukan penegakan supremasi sudah menyatakan kasus BW dan Samad layak diproses,” ujarnya.

Neta menyarankan agar Presiden Joko Widodo mengabaikan permintaan dan desakan sekelompok akademisi dan tokoh masyarakat tersebut. Pasalnya, Neta menilai permintaan akademisi merupakan manuver politik dalam rangka menjebak Presiden Jokowi, bukan rangka penegakan hukum.

“Sama seperti saat Jokowi didorong pihak tertentu agar meminta maaf pada PKI, yang kemudian menimbulkan kontroversi yang membuat Presiden masuk perangkap "jebakan batman",” ujarnya.

Lebih jauh, Neta berpandangan kelompok akademisi mestinya mendorong tegaknya supremasi hukum secara sehat. Setidaknya, kasus tersebut dibuktikan oleh pihak pengadilan. Dengan begitu akan terlihat secara adil perihal terbukti tidaknya kasus yang dituduhkan terhadap BW, begitu pula dengan Ketua KPK non aktif Abraham Samad.

Neta berpendapat manuver dalam penegakan hukum merupakan penyesatan penegakan hukum yang membuat Presiden Jokowi masuk dalam ‘jebakan batman’. Pasalnya, bukan tidak mungkin Presiden Jokowi bakal dihujat masyarakat ketika melalui tangan kejaksaan menghentikan penuntutan. Oleh sebab itu, jalan tengah yang mesti diambil Jokowi dengan mendorong kejaksaan melimpahkan kasus BW dan Samad ke pengadilan.

“Biarkan pengadilan yang memproses dan memberi kepastian hukum pada kasus itu. Sebab adalah menjadi tugas para hakim untuk menyelesaikan sengketa hukum di masyarakat dan semua pihak harus menghormatinya, termasuk Presiden Jokowi,” pungkasnya. 
Tags:

Berita Terkait