MK Tolak Permohonan Wajib Belajar 12 Tahun
Berita

MK Tolak Permohonan Wajib Belajar 12 Tahun

Pemohon mengakui kecewa dengan putusan MK ini karena permohonan ini tidak menggelar sidang pleno.

Oleh:
ASH
Bacaan 2 Menit
MK Tolak Permohonan Wajib Belajar 12 Tahun
Hukumonline
Mahkamah Konstitusi (MK) menolak pengujian Pasal 6 ayat (1) UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) terkait program wajib belajar (Wajar) berusia 7-15 tahun atau Wajar 9 tahun. Mahkamah menganggap kebijakan Wajar 9 tahun merupakan kebijakan terbuka pembentuk undang-undang (open legal policy).

”Menyatakanmenolakpermohonan para Pemohon untuk seluruhnya,” ucap Ketua Majelis MK, Anwar Usman saat membacakan putusan bernomor 92/PUU-XII/2014di ruang sidang MK, Rabu (7/10).

Sekitar 17 organisasi masyarakat sipil yang tergabung Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (NEW Indonesia) diantaranya PP Muslimat NU, LP3S, Yayasan Aulia, YAPARI, Asppuk, PGRI, Cerdas Bangsa mempersoalkan Pasal 6 ayat (1) UU Sisdiknas. Program Wajar 9 tahun dinilai telah menghalangi hak konstitusional rakyat Indonesia memperoleh hak pendidikan layak seperti dijamin Pasal 28B ayat (2) dan Pasal 28C ayat (1) UUD 1945.

Menurutnya, program Wajar 9 tahun dari jenjang Sekolah Dasar (SD) hingga Sekolah Menengah Pertama (SMP) sudah tidak relevan lagi untuk kondisi saat ini terutama kebutuhan kualitas SDM Indonesia. Hal ini mempertimbangkan adanya kebutuhan pasar tenaga kerja yang mensyaratkan pendidikan minimal adalah setingkat Sekolah Menengah Atas (SMA).

Program Wajar bagi 7-15 tahun dinilai diskriminatif karena anak usia 16-18 tahun sesuai UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak tidak mendapatkan haknya. Karena itu, Pasal 6 UU ayat (1) UU Sisdiknas sepanjang frasa yang berusia tujuh sampai dengan lima belas tahun” minta dinyatakan inkonstitusional apabila tidak dimaknai “setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar hingga jenjang pendidikan 12 tahun.”

Mahkamah mengutipPasal 34 UUSisdiknas yang menggariskanpemerintah dan pemerintah daerah menjamin terselenggaranya wajib belajar minimal pada jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya sebagai bagiankebijakan pendidikan di Indonesia.Untukmenjaminan itu, pemerintahdan pemerintah daerahmenetapkan kebijakan nasionaldan daerahpelaksanaan program wajib belajar.

Karena itu, program pendidikan minimal yang harus diikuti warga negara Indonesia tanggung jawab pemerintahyang merupakan kebijakan hukum yang terbuka (open legal policy) pemerintah danpemerintah daerah,”ujar Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams saat membacakan pertimbangan putusan.

Terkait petitum para pemohon, Mahkamah juga mengutipPasal 7 ayat (4) Peraturan Pemerintah (PP) No.47 Tahun 2008tentang Wajib Belajaryang menyebutpemerintah daerah dapat menetapkan kebijakan peningkatan jenjang pendidikan wajib belajar sampai pendidikan menengah. Pengaturan lebih lanjut pelaksanaan program wajib belajar ini dimuat dalam Perda sesuai dengan kondisi daerah masing-masing.

Seperti, PerdaSumatera Selatan No. 3 Tahun 2009 yang telah diubah dengan Perda No.17 Tahun 2014 tentang Penyelenggaraan Sekolah Gratis di Sumatera Selatan. Isinya, setiap SD/SDLB/MI, SMP/SMPLB/MTs, SMA/SMALB/MA, SMK, baik negeri maupun swasta berhak mendapatkan biaya operasional sekolah dari Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota. Selain itu, PerdaNo.04 Tahun 2013 tentang Sistem Penyelenggaraan Pendidikan. Isinya, memuat ketentuan yang menjamin tersedianya dana guna terselenggaranya pendidikan bagi masyarakat yang berusia 7 sampai dengan 18 tahun.

Usai persidangan, kuasa hukum pemohon, Ridwan Darmawan, mengaku kecewa putusan MK. Sebab, Mahkamah tidak menggelar sidang pleno untuk mendengar pandangan/keterangan para pemangku pendidikan di Indonesia, melainkan justru langsung memutus perkara.

“Seharusnya, MK bisa mendengarkan pandangan pemerintah dalam hal ini Kementerian Pendidikan dan DPR. Diharapkan putusan ini akan lebih sempurna lagi sesuai konstitusi. Ini yang sangat kami sesalkan,” kata Ridwan.
Tags: