Pemerintah-DPR Dituntut Serius Hapus Hukuman Mati
Berita

Pemerintah-DPR Dituntut Serius Hapus Hukuman Mati

Bisa diubah dengan jenis hukuman seumur hidup.

Oleh:
ADY
Bacaan 2 Menit
Pemerintah-DPR Dituntut Serius Hapus Hukuman Mati
Hukumonline
Organisasi masyarakat sipil yang tergabung dalam Koalisi Anti Hukuman mati mendesak pemerintah dan DPR untuk serius menghapus hukuman mati dalam sistem hukum pidana di Indonesia. Sebagai bentuk keseriusan, Koalisi meminta eksekutif dan legislative menghapuskan hukuman mati dari KUHP, dan tidak memasukkan lagi ke dalam RUU KUHP.

Peneliti senior ICJR, Anggara Suwahyu, melihat Pemerintah sudah punya niat membatasi penggunaan pidana mati dalam RUU KUHP. Caranya,  menetapkan syarat-syarat ketat. Misalnya, ada ketentuan dalam RUU KUHP yang menyatakan pidana mati secara alternatif dijatuhkan sebagai upaya terakhir untuk mengayomi masyarakat.Ada juga aturan pelaksanaan pidana mati dapat ditunda dengan masa percobaan selama 10 tahun dan reaksi masyarakat terhadap terpidana mati itu tidak besar.

Apabila dalam masa percobaan terpidana mati menunjukan sikap dan perbuatan terpuji RUU KUHP mengatur pidana mati dapat diubah pidana seumur hidup. Namun, Anggara menilai pelaksanaan ketentuan itu sangat bergantung pada kemauan politik pemerintah. Jika pemerintah tidak menerapkan moratorium hukuman mati, maka ketentuan itu bisa tidak berlaku dan hukuman mati tetap dilaksanakan.

“Jadi penerapan hukuman mati itu tergantung situasi hati Presiden. Padahal, pelaksanaan hukuman itu mestinya tidak bisa digantungkan pada situasi politik pemerintahan yang berkuasa,” kata Anggara dalam jumpa pers di Jakarta, Kamis (08/10).

Koalisi meminta RUU KUHP tak memuat lagi ketentuan hukuman mati. Menurut Anggara, hukuman mati tidak pantas dijalankan karena Indonesia telah meratifikasi Kovenan Hak Sipil dan Politik. Penerapan hukuman mati tidak selaras dengan Kovenan tersebut.

Direktur LBH Masyarakat, Ricky Gunawan, berpendapat penerapan hukuman mati tidak berdampak signifikan dalam memberantas kejahatan narkotika. Itu terbukti dari kasus-kasus narkotika yang banyak terungkap pasca pelaksanaan eksekusi hukuman mati terhadap 14 terpidana mati dalam dua tahun terakhir.
Mengutip data yang dilansir Badan Narkotika Nasional (BNN), Ricky menyebut terjadi peningkatan tiga kali lipat kasus narkotika tiga bulan pertama 2015 dibanding periode yang sama tahun lalu. Begitu pula pernyataan Kapolri, Badrodin Haiti, di media pada Juli 2015 mengatakan kejahatan narkotika tidak bisa diselesaikan lewat hukuman mati. “Hukuman mati terhadap terpidana mati kasus narkotika tidak efektif menurunkan jumlah kejahatan narkotika dan peredarannya,” ujar Ricky.

Ricky menjelaskan hukum narkotika internasional tidak mengenal hukuman mati. Menurutnya perlu ada dekriminalisasi pengguna narkotika sehingga mereka tidak dijatuhi sanksi pidana tapi pencabutan pelayanan publik. Misalnya, mencabut SIM bagi pengguna narkotika. Praktik itu dilakukan Portugal dan berhasil menurunkan jumlah pengguna narkotika.

Direktur Eksekutif Imparsial, Poengky Indarti, menilai hukuman mati digunakan pemerintah untuk pencitraan, agar pemerintah dinilai masyarakat tegas dan menjunjung tinggi hukum. Padahal, sistem hukum yang berjalan saat ini cenderung korup. “Salah satu cara yang dilakukan untuk menutupi kegagalan pemerintah dalam memberantas kejahatan narkotika dengan eksekusi terpidana mati. Itupun yang dieksekusi bukan bandar, tapi kurir,” tukasnya.

Eksekusi terhadap terpidana mati kasus narkotika menurut Poengky juga digunakan pemerintah untuk 'menutupi bisnis narkotika yang melibatkan aparat negara.' Ia melihat banyak kasus kejahatan narkotika yang melibatkan aparat justru masuk peti es, bukan diusut tuntas.

Mestinya para terpidana mati kasus narkotika digunakan sebagai justice collaborator untuk menangkap bandar narkotika yang lebih besar. Dengan mengeksekusi terpidana mati pemerintah malah memutus rantai informasi yang dimiliki para kurir yang dihukum mati itu.

Poengky juga menyoroti ketertutupan proses pemberian dan penolakan grasi oleh Presiden kepada terpidana mati. Padahal, grasi itu secara filosofis adalah kewenangan yang dimiliki Presiden karena dianggap sebagai wakil Tuhan di muka Bumi. Presiden harusnya memeriksa berkas para terpidana mati dengan cermat dan teliti. Jangan sampai presiden salah mengambil keputusan karena ini menyangkut nyawa orang.
Tags:

Berita Terkait