Enam Kesalahan UU Kepailitan
Utama

Enam Kesalahan UU Kepailitan

Kementerian Koordinator Politik, Hukum dan HAM mengundang sejumlah praktisi dan akademisi hukum membahas UU Kepailitan. Kelemahan regulasi kepailitan diungkap.

Oleh:
FITRI N. HERIANI
Bacaan 2 Menit
Pengadilan Niaga pada PN Jakarta Pusat. Foto: RES
Pengadilan Niaga pada PN Jakarta Pusat. Foto: RES
Pada 18 Oktober 2015 ini, genap sudah sebelas tahun usia menjadi UU No. 37 tahun 2004tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU). Wet ini adalah pengganti aturan yang sama tentang kepailitan, UU No. 4 Tahun 1998. Ini adalah bagian dari paket perundang-undangan yang dibuat untuk mengatasi krisis moneter kala itu.

Bagaimana setelah UU Kepailitan itu berlaku, dan sempat mengalami perbaikan pada 2004? Apakah perubahan itu bisa membawa keadaan lebih baik? Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenko Polhukham) telah mengundang sejumlah praktisi dan akademisi hukum untuk membahasnya, Kamis (08/10) kemarin.

Praktisi kepailitan yang juga advokat, Hotman Paris Hutapea, berpendapat implementasi UU Kepailitan 2004 malah tak semudah yang dibayangkan. “Justru lebih berat dari UU Kepailitan tahun 1998. Padahal, krisis moneter sudah lewat,” kata Hotman dalam acara Pertemuan Para Ahli Hukum tentang UU Kepailitan di Jakarta, kemarin.

Hotman berpendapat substansi UU Kepailitan dan PKPU bertentangan dengan hakekat dari hukum kepailitan. UU Kepailitan seolah menjadi mesin pembunuh bagi kelanjutan usaha dari debitor. Hotman mencatat setidaknya ada enam kesalahan fatal dalam UU Kepailitan dan PKPU.

Pertama, syarat minimum kreditor sebagai pemohon pailit. Pasal 2 ayat (1) UU Kepailitan menegaskan pailit bisa dimohonkan jika memenuhi dua syarat: debitor mempunyai dua kreditor atau lebih dan debitor tidak membayar sedikitnya satu utang yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih. Pasal ini, dinilai oleh Hotman Paris menjadi bukti bahwa UU Kepailitan bertentangan dengan hakekat dibutuhkannya upaya hukum kepailitan yang seharusnya untuk kepentingan seluruh kreditor.

Prakteknya, bisa timbul masalah ketika kreditor lain yang bukan pemohon pailit dan tagihannya sudah jatuh tempo atau belum jatuh tempo tidak berniat untuk melakukan tindakan hukum (mempailitkan debitor). “Akibatnya para kreditor lain terpaksa ikut mendaftar sebagai kreditor,” imbuhnya.

Hotman mengusulkan syarat minimum jumlah kreditor sebagai pemohon pailit harus ditambah. Syarat debitor dapat dipailitkan juga harus memenuhi bukti bahwa minimum 75 persen kreditor memiliki utang dan sudah jatuh tempo, plus tidak dibayar. Debitor juga dibebani untuk membuktikan bahwa minimum 75 persen kreditor memiliki piutang yang sudah jatuh tempo. Jika hanya ada satu kreditor, kata Hotman, perkara tersebut bisa diselesaikan melalui jalur gugatan perdata biasa atau permohonan eksekusi jaminan dengan syarat ada perbaikan proses perkara perdata dari sisi waktu.

Kedua, jangka waktu PKPU yang sangat singkat. Ide dasar dari PKPU adalah memberikan kesempatan bagi debitor untuk mereorganisasi atau menata ulang usahanya. Penataan kembali bisnis itu membutuhkan waktu yang tidak sedikit. Faktanya, kata Hotman, waktu yang diberikan oleh UU Kepailitan hanya 45 hari. Waktu 45 hari ini dinilai sulit digunakan untuk menyelesaikan proposal perdamaian, lobi, dan reorganisasi usaha. Ia menduga masuknya batas waktu 45 hari ini didasari motif menguntungkan kreditor. “Ide pihak asing di tahun 2004 untuk membiayai UU No. 37 Tahun 2004 ternyata dimotivasi kepentingan yang sangat menguntungkan pihak kreditor dan menghancurkan usaha dari debitor,” jelas Hotman.

Yang lebih tak masuk akal, lanjutnya, jika kreditor yang mengajukan PKPU. Debitor dipaksa untuk mengajukan proposal perdamaian untuk seluruh kreditor. Idealnya, kreditor juga ikut mengajukan proposal perdamaian.

Ketiga, kreditor separatis berhak mempailitkan dan ikut dalam voting tanpa kehilangan hak atas agunannya. Ada ketidakadilan, dimana hak kreditor telah dilindungi oleh agunan atas kekayaan debitor, namun debitor tetap dipailitkan atas voting dari kreditor separatis tersebut.

Keempat, tingginya syarat perhitungan suara dan harus dipenuhi syarat kumulatif voting kreditor konkuren dan kreditor separatis yang diatur dalam Pasal 281 UU Kepailitan, menjadi penyebab utama upaya hukum PKPU sangat kejam. Bahkan ini juga menjadi penghambat utama proposal perdamaian yang diajukan oleh debitor sering mengalami kekalahan.

“Dalam praktek sering terjadi hanya kurang lebih satu tahun sesudah homologasi atas composition plan ternyata debitor gagal bayar karena memang sejak awal telah dipaksa. Jadi debitor itu dipaksa untuk membuat proposal perdamaian yang memukau para kreditor padahal sebenarnya sudah tak mampu bayar,” tambah Hotman.

Advokat senior itu memberi masukan agar pasal 281 UU Kepailitan harus direvisi menjadi kreditor separatis tidak berhak ikut serta dalam voting kecuali setuju menjadi kreditor konkuren seperti dulu berlaku di Perppu No. 1 Tahun 1998.

Kelima, terkait honorarium atau fee curator (pengurus). Saat ini, aturan untuk honorarium kurator didasarkan pada persentase total aset debitor atau presentasi dari total jumlah utang. aturan ini dinilai menjadi penyebab ‘kanibalisme’ dan ‘permainan’ oknum-oknum yang memiliki kepentingan dan mendapatkan keuntungan atas hal tersebut. Untuk mencegah agar tak terlalu besar kerugian yang dialami oleh debitor, maka Hotman berpendapat honor Pengurus PKPU harus dihitung per jam sesuai dengan standar internasional tarif honorarium lawyer.

Keenam, terjadi multi tafsir atas peringkat tagihan pajak, tagihan upah buruh, dan piutang kreditor separatis.

Ketua Umum Asosiasi Kurator Indonesia (AKPI) Jamaslin James Purba sepakat atas beberapa poin yang disampaikan Hotman Paris, terutama terkait isi Pasal 2 ayat (1) UU Kepailitan. Pasal ini tidak memperhitungkan apakah debitor mampu atau tidak mampu untuk membayar seluruh utang. James juga mengusulkan pasal ini direvisi. “(Pasal) ini dibuat saat krisis, apakah sekarang krisis? Sangat diperlukan perubahan atau revisi,” kata James.

Terkait pengajuan PKPU, James berpendapat, seharusnya PKPU diajukan oleh debitor. Faktanya, PKPU justru sebagian besar diajukan oleh kreditor karena UU Kepailitan dan PKPU mengizinkan hal tersebut. ketentuan ini dinilai salah kaprah. Oleh karenanya perlu dilakukan revisi yang menegaskan bahwa PKPU tak boleh diajukan oleh kreditor dan hanya dapat diajukan oleh debitor secara voluntary. Namun jika dengan segala pertimbangan kreditor dimungkinkan untuk mengajukan PKPU maka putusan PKPU harus membuka peluang kasasi bagi debitor. Yang lain, revisi harus mengatur secara jelas peringkat kreditor dan renvoi prosedur.

Dosen Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FHUI) Teddy Anggoro menegaskan revisi UU Kepailitan dan PKPU harus disinkronisasi dengan UU yang saling berkaitan seperti UU Perseroan Terbatas, UU tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, dan UU Penanaman Modal. Teddy juga melihat pentingnya hakim niaga lebih memahami seluk beluk kepailitan.

“Kepailitan memang rentan untuk dipakai nggak benar, tetapi juga penting bagi perusahaan yang memang punya aset tapi tidak mau bayar. Sehingga Hakim di Pengadilan Niaga pun harus benar-benar memahami seluk beluk kepailitan. Jangan tiap dua tahun diganti, jadinya susah karena harus menjelaskan dari awal lagi,” pungkasnya.
Tags:

Berita Terkait