Keabsahan Keputusan, Inisiatif Berharga dari MA
Fokus

Keabsahan Keputusan, Inisiatif Berharga dari MA

PTUN diberi wewenang memeriksa dan memutus penerimaan permohonan untuk mendapatkan keputusan atau tindakan pejabat/badan pemerintahan.

Oleh:
MYS/FNH
Bacaan 2 Menit
Gedung MA. Foto: RES
Gedung MA. Foto: RES
Pada 17 Oktober 2015 ini, genap sudah setahun usia Undang-Undang No. 30 Tahun 2014tentang Administrasi Pemerintahan (UUAP). Dalam usia dua tahun kelak, Pemerintah sudah harus menggenapi seluruh peraturan teknis yang diminta.

Pekerjaan besar yang kini sedang dijalankan pemerintah adalah menyusun dua Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP). Pertama mengenai tata cara pengembalian uang ke kas negara dan tanggung jawab badan dan/atau pejabat pemerintah akibat kerugian yang ditimbulkan dari keputusan pejabat dan/atau tindakan. RPP kedua mengenai tata cara pengenaan sanksi administratif.

Rencana penerbitan beleid tentang tata cara pengembalian uang ke kas negara akibat suatu keputusan atau tindakan yang dapat dibatalkan juga disinggung mantan Wakil Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, Eko Prasojo, di depan sejumlah akademisi nasional dan pegawai pemerintah kota Tomohon, Sulawesi Utara, Minggu (27/9) lalu. “Nanti akan ada keputusan yang bersifat ex-tunc dan ex-nunc,” ujarnya.

Penegasan Guru Besar Universitas Indonesia itu sebenarnya terkait dengan keputusan atau tindakan pejabat negara. Suatu keputusan pemerintah bisa dianggap sah jika memenuhi syarat: ditetapkan oleh pejabat yang berwenang; dibuat sesuai prosedur; dan substansi yang diatur sesuai dengan objek keputusan.

Lazimnya, ada batas waktu kewajiban untuk menetapkan suatu keputusan atau melakukan suatu tindakan. Direktur Eksekutif Dewan Pengurus Nasional Asosiasi Pengusaha Indonesia, Agung Pambudi, mengatakan respon pemerintah bukan sebatas respon saja, tetapi perlu standar tanggapan, misalnya batas waktu. Kalau ada kekeliruan kecil dalam permohonan, pemerintah seharusnya mengkomunikasikan langsung sehingga bisa diperbaiki oleh pemohon. Faktanya, sering tidak dilakukan, atau dibiarkan berlarut-larut. “Ini faktor penting dalam reformasi regulasi,” ujarnya.

Idealnya memang perundang-undangan mengatur batas waktunya. Jika tidak diatur, maka badan atau pejabat pemerintah wajib menetapkan atau melakukan dalam jangka waktu paling lama 10 hari kerja setelah permohonan diterima secara lengkap oleh badan/pejabat pemerintah dimaksud. Jika badan atau pejabat tadi diam, maka permohonan dianggap dikabulkan. Kalau kondisinya sudah demikian, pemohon disarankan meminta keputusan atau tindakan itu lewat pengadilan.

Sebenarnya, Indonesia punya Ombudsman. Menurut Ida Bagus R Supanca, masyarakat yang tidak mendapatkan pelayanan atas permohonan keputusan bisa mengadu ke Ombudsman Republik Indonesia (ORI). “Sebenarnya pemohon bisa melapor ke Ombudsman,” kata Direktur Pusat Kajian Regulasi itu.

Cuma, Supanca membenarkan ada kelemahan Ombudsman. Independensi dan kekuatan rekomendasinya untuk memaksa pejabat negara merespon keluhan pemohon.

PERMA 5
Putusan atau penetapan pengadilan lebih bergigi dibanding rekomendasi Ombudsman. Nah, dalam konteks inilah Mahkamah Agungselangkah lebih maju dari Pemerintah. Hampir setahun peraturan pelaksana UUAP ditunggu, akhirnya Mahkamah Agung membuat pedoman beracara lewat Peraturan Mahkamah Agung No. 5 Tahun 2015 (PERMA 5).

Intinya, PERMA 5 memuat pedoman bagaimana seseorang memperoleh keputusan yang dia tunggu-tunggu dari badan atau pejabat pemerintahan. UUAP memang memberi jalan keluar melalui pengadilan jika badan atau pejabat pemerintahan tak menghiraukan permintaan hingga lewat waktu yang ditentukan. Misalnya, pejabat tak merespon sama sekali, atau lamban menjawab permintaan keputusan atau tindakan tertentu hingga lewat waktu. Dalam situasi semacam ini, UUAP menganggap permohonan sudah dikabulkan. Tinggal meminta wujud konkrit keputusan atau tindakan itu lewat pengadilan.

Pemohon mendaftarkan permohonan ke Kepaniteraan Pengadilan Tata Usaha Negara yang berwenang. Jika pemohon berdomisili di luar negeri, maka permohonan diajukan ke PTUN Jakarta. Mahkamah Agung membuka ruang bagi pemohon, baik orang perseorangan maupun pemohon badan hukum perdata atau badan pemerintahan. Permohonan diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia, dibuat rangkap lima.

Dalam permohonan, pemohon minimal harus mencantumkan identitas diri dan nomor kontak; uraian yang menjadi dasar permohonan; dan hal-hal yang dimohonkan untuk diputus dalam permohonan. Jika pemohon menggunakan advokat, maka harus ada surat kuasa dan penjelasan mengenai identitas penerima kuasa. “Permohonan …wajib dilampiri surat kuasa khusus dan fotocopi kartu anggota advokat dari kuasa yang bersangkutan,” demikian penegasan Pasal 2 ayat (4) Perma 5.

Mahkamah Agung juga menetapkan batas waktu memproses permohonan. Jika berkas permohonan sudah lengkap, Panitera sudah harus menyampaikan berkas kepada Ketua PTUN paling lambat dua hari setelah deregister. Dua hari kerja setelah menerima berkas tadi, Ketua PTUN menetapkan susunan majelis. Tiga hari kemudian sidang dimulai. Batasan waktu yang tegas itu bukan tanpa implikasi. Mahkamah Agung menyatakan mekanisme administrasi perkara yang demikian bersifat mengikat. “Tidak ditaatinya jadwal tersebut menyebabkan hilangnya kesempatan atau hak bagi para pihak yang bersangkutan untuk berproses kecuali terdapat alasan yang sah,” tegas rumusan Pasal 6 ayat (6) Perma 5.

Perma 5 telah membuka ruang kepada masyarakat yang memohon suatu keputusan atau tindakan pejabat. Pemohon bisa meminta pengadilan ‘bertindak’ jika batas waktu yang telah disebut dalam peraturan perundang-undangan terlewati.

Cuma, monitoring dan evaluasi beleid ini tak mudah. Supanca hanya berharap kebijakan ini bisa dijalankan di lapangan. “Aturan itu harus implementable,” harapnya.
Tags:

Berita Terkait