Kekacauan Legislasi Ganggu Pembangunan Nasional
Utama

Kekacauan Legislasi Ganggu Pembangunan Nasional

Pelaku usaha mengeluhkan kekacauan legislasi baik di pusat maupun daerah. Bappenas mencoba atasi melalui Sistem Regulasi Nasional.

Oleh:
FITRI N. HERIANI
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi: BAS
Ilustrasi: BAS
Semakin banyak peraturan teknis yang dibuat secara sektoral semakin besar peluang kekacauan. Apalagi peraturan teknis itu masih ‘diterjemahkan’ lagi ke dalam bentuk Surat Edaran (SE) baik oleh instansi pusat maupun pemerintah daerah. Banyaknya SE justru membuat kekacauan legislasi semakin rumit.

Data yang dihimpun Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) menunjukkan sepanjang periode 2000-2015, Pemerintah sudah menerbitkan 12.471 peraturan perundang-undangan. Paling banyak adalah Peraturan Menteri (8.331), diikuti Peraturan Pemerintah (1.386). Pemerintah daerah juga telah menghasilkan 3.177 regulasi pada periode yang sama.

Penerbitan berbagai bentuk perundang-undangan itu tak lepas dari konsekuensi Indonesia sebagai negara hukum, dan penghargaan kepada hukum tertulis. Cuma, Bappenas mengkhawatirkan tumpang tindih, inkonsistensi, dan kekacauan dalam legislasi nasional.

Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Bappenas, Sofyan Djalil khawatir banyaknya regulasi berpotensi pada konflik antar regulasi baik secara vertikal maupun horizontal. Belum lagi duplikasi regulasi, dan pengaturan yang berbeda terhadap satu permasalahan. “Kondisi ini dapat saja mengganggu capaian sasaran pembangunan nasional,” kata Sofyan Djalil di Jakarta, Selasa (06/10). Jalan keluar terhadap persoalan ini adalah menyusun sebuah Sistem Regulasi Nasional. Sistem Regulasi ini diluncurkan Sofyan di kantor Bappenas.

Sofyan yakin Sistem Regulasi Nasional yang dikembangkan Bappenas harus sederhana dan tertib agar lebih mampu mengawal dinamika semua sektor kehidupan, baik dalam rangka penyelenggaraan negara dan pembangunan maupun perekonomian. Regulasi seharusnya ikut mendukung program pembangunan, bukan justru menghambatnya.

Pelaku usaha menyambut positif langkah Bappenas. Direktur Eksekutif DPN Apindo Agung Pambudi mengatakan pelaku usaha menaruh harapan besar terhadap reformasi regulasi yang dilakukan Pemerintah. Secara khusus, Agung menyinggung banyaknya SE yang dibuat pejabat pemerintah pusat dan daerah. Banyaknya SE justru membuat bingung pelaku usaha. Apalagi substansi SE seringkali menimbulkan disharmoni.

“Mengapa reformasi regulasi? Karena banyaknya disharmoni peraturan perundang-undangan atau regulasi termasuk Surat Edaran (SE) menteri, atau di daerah dan banyak lagi SE,” kata Agung.

Lebih ironis lagi, banyak peraturan yang tak dijalankan dengan benar. Ganti pemerintah ganti kebijakan. Walhasil, yang rugi adalah mereka yang terkena imbas peraturan itu. Misalnya, BKPM sudah membuat pelayanan satu pintu dengan waktu tiga jam. Tetapi untuk bisa masuk BKPM masih ada administrasi di lembaga lain. “Tinggal implementasinya. Kadang aturan itu sudah ada seperti perizinan tiga jam di BKPM, permasalahannya bukan di PTSP tetapi juga untuk memenuhi prasyarat sebagai syarat unutk mendapatkan perizinan itu,” jelas Agung.

Agung berharap melalui reformasi regulasi yang digulirkan Bappenas, pelaku usaha dapat melanjutkan bisnisnya dalam jangka panjang. Ia juga berharap reformasi regulasi juga harus menjawab persoalan jangka menengah seperti penciptaan lapangan kerja, mengatasi hambatan bisnis, dan peningkatan produktivitas.

Berdasarkan gambaran kualitas regulasi yang dilakukan olehWorldwide Governance Indicators (WGI) pada tahun 2013, kualitas regulasi yang cukup rendah dari segi dukungan untuk kemudahan berusaha (ease of doing business). Pada lingkup Asia Tenggara, kualitas regualasi Indonesia berada pada persentase 46 di bawah Singapura (100 persen), Brunei Darussalam (83 persen), Thailand (58 persen), Philippines (52 persen), dan Malaysia (72 persen). Posisi Indonesia hanya lebih baik dibandingkan Kamboja (39 persen) dan Vietnam (28 persen).

Direktur Pusat Kajian Regulasi Ida Bagus Rahmadi Supanca mengatakan pemerintah harus mempunya strategi untuk menjamin kualitas regulasi. Tiga strategi yang harus dijalankan Pemerintah adalah membangun sistem pengelolaan regulasi, meningkatkan kualitas regulasi yang baru, dan memperbaiki kualitas regulasi yang berlaku.

Menurut Supanca, regulasi yang ada di Indonesia sudah over-regulated, multitafsir, tumpang tindih (overlaping), saling bertentangan, tidak efektif, menciptakan beban yang tidak penting dan menciptakan beban ekonomi tinggi. “Idealnya jumlah regulasi proporsional, regulasi yang jelas rumusannya, tidak overlaping, harmonis dan sinkron, efektif dalam implementasinya, dan tidak menciptakan beban yang tidak perlu,” pungkasnya.
Tags:

Berita Terkait