SP PLN Persoalkan UU Ketenagalistrikan
Utama

SP PLN Persoalkan UU Ketenagalistrikan

Majelis akan menetapkan kelanjutan dari permohonan ini.

Oleh:
ASH
Bacaan 2 Menit
Pemohon didampingi kuasa hukumnya Muhammad Fadrian Hadi Sutianto dalam sidang pengujian UU Ketenagalistrikan, Senin (12/10). Foto: Humas MK
Pemohon didampingi kuasa hukumnya Muhammad Fadrian Hadi Sutianto dalam sidang pengujian UU Ketenagalistrikan, Senin (12/10). Foto: Humas MK
Sidang uji materi Pasal 10 ayat (2), Pasal 16 ayat (1), Pasal 33 ayat (1), Pasal 34 ayat (5), Pasal 56 ayat (2) UU No. 30 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan terkait privatisasi listrik yang dimohonkan Ketua Umum dan Sekjen DPP Serikat Pekerja PT PLN Adri dan Eko Sumantri di Mahkamah Konstitusi (MK). Dalam sidang perbaikan ini, pemohon menganggap pasal-pasal itu mengakibatkan hajat hidup orang banyak dapat dikuasai korporasi swasta nasional, multinasional dan perorangan.

“Bahkan, stabilitas ekonomi, sosial, politik, budaya, keamanan, dan mengakibatkan negara tidak memiliki kekuasaaan atas tenaga listrik,” ujar kuasa hukum pemohon, Mohammad Fandrian Hadistianto dalam sidang perbaikan permohonan yang diketuai Maria Farida Indrati di ruang sidang MK, Senin (12/10).

Misalnya, Pasal 10 ayat (2) UU Ketenagalistrikan menyebutkan “Usaha penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan secara terintegrasi.”

Pasal 33 ayat (1) UU Ketenagalistrikan menyebutkan “Harga jual tenaga listrik dan sewa jaringan tenaga listrik ditetapkan berdasarkan prinsip usaha yang sehat.”

Dia menerangkan pasal-pasal yang dimohonkan pada intinya memuat pengelolaan penyediaan usaha tenaga listrik secara terpisah atau unbundling (pemisahan proses bisnis PLN) dengan menerapkan prinsip usaha yang sehat/memupuk keuntungan usaha, perlakuan tarif tenaga listrik yang berbeda setiap regional/wilayah usaha, dan membuka selebar-lebarnya peran korporasi swasta, multinasional, atau perorangan mengelola dan mengusai tenaga listrik.

Menurutnya, pasal-pasal itu mengakibatkan privatisasi sektor ketenagalistrikan dan tenaga listrik menjadi komoditas yang dapat diperjualbelikan antar pengusaha, antar negara, pelaku usaha dengan konsumen semata-mata memupuk keuntungan usaha yang menyebabkan kerugian terhadap para pemohon. Misalnya, dipastikan terjadi kenaikan harga jual listrik yang berlipat-lipat.

“Adanya potensi terjadi rasionalisasi pegawai secara massal yang disebabkan regulasi atau kebijakan perseroan, sehingga menyebabkan pemohon kehilangan pekerjaan dan memperoleh kehidupan yang layak atau di-PHK,” ungkapnya.

Sesuai UU Ketenagalistrikan ini, Direksi PLN saat ini tengah melakukan proses unbundling vertical sesuai region masing-masing dan menuju unbundling horizontal per operasi bisnis yang menyerahkan operasi distribusi dan transmisi PLN kepada Haleyora Power. Sementara untuk pekerjaan administrasi (back office) kepada PT Icon. Pengoperasian ini bukan usaha penunjang, tetapi usaha operasi bisnis inti dari PLN.

Hal ini bisa berdampak pada meningkatnya tarif tenaga listrik secara drastis dan perubahan status perusahaan. Keberadaan SDM PLN dapat diintervensi pemilik modal (pembeli PLN sesuai region) dan PHK massal. Hal ini sebenarnya pengulangan Pasal 8 ayat (2), Pasal 16, Pasal 17 ayat (3), dan Pasal 68 UU No. 20 Tahun 2002 tentang Ketenagalistrikan yang telah dibatalkan MK melalui putusan No. 001-021-022/PUU-I/2003.

Misalnya, frasa ”prinsip usaha sehat” dalam Pasal 33 ayat (1) dan frasa ”secara berbeda” dalam Pasal 34 ayat (5) mencerminkan adanya semangat harga jual tenaga listrik atau tarif tenaga listrik untuk konsumen pemerintah dan pemerintah daerah memperhatikan kesepakatan di antara badan usaha sesuai penjelasan Pasal 33 ayat (2) UU Ketenagalistrikan.

Pasal 56 ayat (2) mengandung  semangat PT PLN (Persero) sebagai salah satu pemegang izin usaha ketenagalistrikan statusnya tidak lagi sebagai pemegang kuasa usaha ketenagalistrikan. Artinya, PLN harus berorentasi bisnis komersial memupuk keuntungan usaha, bukan sebagai pelayanan umum, sehingga harus merestrukturisasi bidang organisasi maupun restrukturisasi bidang usaha dengan membentuk anak-anak perusahaan.

Dalam petitumnya, DPP SP PT PLN meminta Pasal 10 ayat (2), Pasal 16 ayat (1) huruf d, e, Pasal 56 ayat (2), Pasal 33 ayat (1), dan Pasal 34 ayat (5) UU Ketenagalistrikan dibatalkan karena bertentangan dengan UUD 1945. Pasal 11 ayat (1) UU Ketenagalistrikan dinyatakan inkonstitusional sepanjang frasa “badan usaha swasta, koperasi, dan swadaya masyarakat yang berusaha di bidang penyediaan tenaga listrik”.

“Atau Pasal 11 ayat (1) inkonstitusional bersyarat sepanjang frasa ‘badan usaha milik daerah’ tidak dimaknai ‘dilaksanakan bersama PT PLN sebagai BUMN di bidang kelistrikan sebagai perusahaan induk,” pintanya dalam petitum permohonan.

Maria Farida Indrati mengatakan setelah sidang ini Majelis akan membahas permohonan ini dalam rapat permusyawaratan hakim (RPH). “Nantinya, RPH akan menetapkan kelanjutan permohonan ini, apakah lanjut ke sidang pleno atau tidak,” kata Maria.
Tags: