Kastrasi (Bukan) Solusi
Kolom

Kastrasi (Bukan) Solusi

Melalui Megan’s Law, kita dapat berefleksi, bahwa peraturan atas dasar emosi hanya akan melahirkan kebijakan yang prematur dan penuh dendam.

Bacaan 2 Menit
Foto: Koleksi Penulis
Foto: Koleksi Penulis
Legislasi berdasarkan niat baik tidak selalu menghasilkan peraturan yang baik (Koppel, 2004). Inilah yang terjadi pada “Hukum Megan (Megan’s Law)”, sebuah peraturan/hukum yang dikeluarkan oleh Pemerintah Amerika Serikat (AS) setelah adanya kasus yang memilukan hati negara adidaya tersebut.

Adalah Megan Kanka, seorang anak yang ditemukan tewas setelah diperkosa oleh tetangganya pada tahun 1994. Kasus ini menjadi perhatian nasional, dan akhirnya menjadi inspirasi para legislator AS dengan kebijakan membuka data dan informasi tentang seluruh pelaku kekerasan seksual kepada publik. Orang tua, guru, dan masyarakat dapat melihat siapa saja pelaku kekerasan seksual yang tinggal di daerahnya.

14 tahun setelah kebijakan tersebut, sebuah studi di New Jersey mempublikasikan hasil temuannya bahwa keberadaan Megan’s Law tidak menunjukkan dampak signifikan pada menurunnya kasus kekerasan seksual di New Jersey. Sehingga biaya yang tinggi dalam menerapkannya tidak dapat dibenarkan karena efektivitas kebijakan tersebut tidak terbukti (Zgoba, et.al, 2008). Sebaliknya, kehadiran Megan’s Law menimbulkan paranoia tersendiri di masyarakat.

Human Rights Watch pada tahun 2008 melaporkan fenomena kekerasan oleh masyarakat terhadap pelaku kekerasan seksual yang telah menjalani proses rehabilitasi dan pemidanaan. Terdapat 2 orang pelaku kekerasan seksual yang terbunuh secara brutal pada tahun 2006, dan 2 orang pada tahun 2007. Tindakan tersebut dilakukan oleh masyarakat sipil hanya karena melihat nama dan foto korban di situs kepolisian setempat. Istri dan anak dari mantan pelaku kekerasan seksual mengalami diskriminasi dan harus menghadapi cemooh dari masyarakat. Menjadi ironi ketika masyarakat yang awalnya peduli,  pada akhirnya menjadi pelaku kekerasan dan keluarga yang tidak bersalah menjadi korban.

Melalui Megan’s Law, kita dapat berefleksi, bahwa peraturan atas dasar emosi hanya akan melahirkan kebijakan yang prematur dan penuh dendam. Sikap reaktif hanya akan menghambat masyarakat dan pembuat kebijakan untuk bisa berpikir jernih, kritis, mencari solusi yang tepat sasaran dan menyentuh akar permasalahan berdasarkan bukti-bukti ilmiah.

Reaksi ala Indonesia
UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak mengancam siapapun yang melakukan hubungan seksual dengan anak ataupun tindakan pencabulan terhadap anak dengan ancaman penjara antara 3 hingga 15 tahun, dan denda antara Rp60 juta hingga Rp300 juta. Pasca kasus kekerasan seksual anak di Jakarta International School, reaksi negara terlihat dengan meningkatnya ancaman pidana melalui UU Nomor 35 Tahun 2014, yaitu menjadi antara 5 hingga 15 tahun, dan denda mencapai Rp5 miliar. Lalu kini negara kembali bereaksi dengan kebijakan suntik kebiri bagi pelaku kekerasan seksual. Sayangnya, pemerintah melupakan beberapa aspek dalam pembuatan kebijakan tersebut.

Permasalahan pertama yang perlu dijawab oleh pemerintah adalah apakah Pemerintah telah melakukan riset mengenai efektivitas/inefektivas peraturan-peraturan sebelumnya. Pemerintah belum dapat menunjukkan data yang memperkuat argumen bahwa kasus kekerasan seksual yang marak terjadi saat ini diakibatkan oleh sanksi yang terlalu ringan, dan kebijakan yang lebih berat (seperti kebiri atau kastrasi) dapat menekan jumlah kasus kekerasan seksual terhadap anak tersebut.

Permasalahan kedua yang luput dari pembicaraan adalah mengenai proses penegakan hukum itu sendiri. Pemerintah belum dapat mengemukakan berapa banyak kasus kekerasan seksual yang telah ditangani oleh penegak hukum, kualitas penanganannya, dan sikap penegak hukum dalam menanggapi korban yang melapor atas kasus kekerasan seksual. Belum lagi dengan laporan bahwa penegak hukum tidak sensitif dalam menghadapi korban kekerasan seksual, cenderung menyalahkan, bahkan menyudutkan korban. Buruknya kualitas penegakan hukum -bukan sanksi yang telalu ‘ringan’- dapat saja menjadi salah satu penyebab yang menghambat upaya menekan angka kekerasan seksual terhadap anak.

Ketiga, pemerintah perlu mempertimbangkan fakta bahwa sebagian besar pelaku kekerasan seksual adalah orang-orang yang terdekat dengan korban, baik orang tua, kakak/adik, tetangga, kerabat, ataupun teman sebaya anak. Perlu dicermati apakah hukuman yang berat akan membantu membuka perkara dalam lingkup privat, atau justru semakin menutup rapat fenomena ini. Terutama jika keluarga korban juga memiliki ikatan emosional dengan pelaku dan lebih mencari upaya rehabilitasi tanpa berakibat pada dampak yang lebih buruk apabila masuk ke proses peradilan formal dan diketahui publik. 

Sudah saatnya pula masyarakat dan negara mengakui bahwa fenomena hubungan seksual sukarela antar remaja memang terjadi. Tidak jarang di antara mereka (terutama remaja laki-laki) yang akhirnya dipidana karena tetap memenuhi unsur “persetubuhan anak”  pada Pasal 81 UU Perlindungan Anak. Gradasi mengenai perilaku “kekerasan seksual” terhadap anak perlu diklasifikasi secara tegas, kemudian diidentifikasi perilaku apa saja yang patut masuk ke dalam proses pidana, dan tindakan apa saja yang dapat ditindaklanjuti dengan proses alternatif dan rehabilitatif. Hubungan seksual sukarela antar remaja misalnya, mungkin merupakan tindakan yang dianggap menyimpang oleh masyarakat. Namun tidak dapat menjadikan pembenaran bahwa anak tersebut harus dipenjara, terutama mengingat penjara saat ini memberikan dampak yang lebih buruk daripada manfaatnya.

Terakhir, kebijakan pemerintah dalam menanggapi kasus kekerasan seksual selama ini belum secara utuh menyentuh pada sistem pencegahan, deteksi dini, dan mekanisme pemulihan untuk korban.

Investasi pada Riset dan Rehabilitasi 
Dalam konteks kebijakan publik, pemerintah juga perlu mempertimbangkan dampak kebijakan kastrasi terhadap anggaran negara. Apakah memang layak berinvestasi pada kebijakan yang tidak berdasarkan riset? Ataukah justru kasus kekerasan seksual yang kian marak terjadi ini dapat menstimulus negara dan masyarakat untuk mengerahkan upaya pada riset dan penyusunan kebijakan berdasarkan pemahaman pada pemahaman yang komprehensif.

Membuat dan menerapkan kebijakan memang tidaklah mudah, membutuhkan strategi dan koordinasi yang baik antar pemangku kepentingan dan masyarakat. Pembangunan basis data dan riset untuk mencari penyebab dasar terjdinya kekerasan seksual terhadap anak, reformasi hukum dan kebijakan, dan implementasi mekanisme preventif menjadi penting untuk menciptakan lingkungan yang aman bagi anak. Bagaimanapun juga masyarakat dan negara memiliki hutang yang besar terhadap anak negeri, dan hutang tersebut perlu dibayar dengan kebijakan tanpa emosi dan dapat dipertanggungjawabkan.

* Pusat Kajian Perlindungan Anak Universitas Indonesia
Tags:

Berita Terkait