Penting!!! Peralihan Pekerja Lewat Penetapan Pengadilan
Utama

Penting!!! Peralihan Pekerja Lewat Penetapan Pengadilan

Pekerja kontrak bisa menempuh upaya hukum ke pengadilan untuk memperoleh penetapan status PKWTT atau sebagai pekerja tetap.

Oleh:
AGUS SAHBANI
Bacaan 2 Menit
Buruh memperjuangkan penghapusan outsourcing. Foto: SGP
Buruh memperjuangkan penghapusan outsourcing. Foto: SGP
Akhirnya, Mahkamah Konstitusi (MK) memberi jalan hukum atas kebuntuan pelaksanaan frasa “demi hukum” dalam Pasal 59 ayat (7), Pasal 65 ayat (8), dan Pasal 66 ayat (4) UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Aturan itu terkait terpenuhinya syarat-syarat perubahan status perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT) menjadi perjanjian kerja waktu tidak tertentu (PKWTT) alias pekerja kontrak (outsourcing) menjadi pekerja tetap secara otomatis.

Dalam putusannya, Mahkamah memaknai frasa “demi hukum” dalam ketiga pasal itu terkait  pengesahan proses peralihan status dari PKWT ke PKWTT melalui penetapan pengadilan negeri. Sebelum ke pengadilan kedua pihak (pekerja dan pengusaha) telah menempuh upaya perundingan bipartit, tetapi tidak mencapai kesepakatan dan adanya nota hasil pemeriksaan pegawai pengawas ketenagakerjaan pada Dinas Ketenagakerjaan di daerah.

Menurut Mahkamah, frasa ‘demi hukum’ Pasal 59 ayat (7) UU Ketenagakerjaan bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang tidak dimaknai ‘pekerja/buruh dapat meminta pengesahan nota pemeriksaan pegawai pengawas ketenagakerjaan kepada Pengadilan Negeri setempat dengan syarat: a). Telah dilaksanakan perundingan bipartit namun perundingan bipartit tersebut tidak mencapai kesepakatan atau salah satu pihak menolak untuk berunding; dan b) Telah dilakukan pemeriksaan oleh pegawai pengawas ketenagakerjaan berdasarkan peraturan perundang-undangan’. Pandangan Mahkamah ini dibacakan langsung Ketua Majelis MK, Arief Hidayat saat membacakan putusan bernomor 7/PUU-XII/2014, Rabu (04/11).

Pertimbangan ini merupakan jawaban Mahkamah atas permohonan yang diajukan sejumlah aktivis Federasi Ikatan Serikat Buruh Indonesia (FISBI). M. Komarudin, Rian Andriansyah, dan Nurman Shaleh mempersoalkan frasa “demi hukum pada tiga pasal UU Ketenagakerjaan karena selama ini penetapan tertulis pegawai pengawas ketenagakerjaan terkait peralihan pekerja PKWT ke PKWTT tidak pernah dijalankan secara sukarela oleh pengusaha. Selain itu, penetapan ini tidak bisa dimintakan gugatan ke Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) atau PTUN.

Pemohon menilai pasal-pasal itu tidak mengatur mekanisme pelaksanaan eksekusi atas penetapan tertulis pegawai pengawas ketenagakerjaan terkait peralihan status dari pekerja kontrak menjadi pekerja tetap di perusahaan atau perusahaan outsourcing. Karena itu, mereka meminta agar frasa “demi hukum” ketiga pasal bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang tidak dimaknai pelaksanaannya dapat dimintakan ke pengadilan negeri.

Mahkamah menganggap penetapan tertulis pegawai pengawas ketenagakerjaan merupakan Keputusan Tata Usaha Negara yang bersifat konkrit, individual, dan final yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum seperti diatur Pasal 1 angka 9 UU No. 51 Tahun 2009 tentang PTUN. Karena itu, penetapan tertulis pegawai pengawas ketenagakerjaan itu harus dianggap benar sebelum dibuktikan sebaliknya dan dibatalkan.

Menurut Mahkamah, pegawai pengawas ketenagakerjaan berwenang mengawasi pelaksanaan UU Ketenagakerjaan termasuk menentukan terpenuhinya syarat-syarat perubahan status (pekerja/buruh) PKWT ke PWKTT yang diatur tiga pasal itu. Karenanya, pegawai pengawas ketenagakerjaan berwenang pula mengeluarkan nota pemeriksaan dan/atau penetapan tertulis terkait hal tersebut.

Merujuk putusan MK No. 96/PUU-XI/2013 frasa “demi hukum” tiga pasal itu merupakan ketentuan perubahan status dengan sendirinya yang harus dilaksanakan pihak-pihak dalam perjanjian perburuhan apabila memenuhi keadaan tertentu dan syarat-syarat tertentu. Perubahan status dimaksud dari PKWT menjadi PKWTT. Ketentuan syarat-syarat tersebut sebagai jaminan kepastian hukum yang adil bagi para pihak dalam hubungan kerja.

“Pertimbangan itu selaras dengan keterangan Presiden yang menyatakan frasa ‘demi hukum’ dalam Pasal 59 ayat (7), Pasal 65 ayat (8), dan Pasal 66 ayat (4) UU Ketenagakerjaan bersifat langsung dapat dilaksanakan (mempunyai titel eksekutorial) atau berlaku dengan sendirinya,” ujar Hakim Konstitusi Suhartoyo saat membacakan pertimbangan putusan.

Mahkamah menambahkan pemeriksaan oleh pegawai pengawas ketenagakerjaan adalah untuk menegakkan hukum ketenagakerjaan serta memberi perlindungan dan kepastian hukum bagi pekerja, pengusaha, dan pemberi pekerjaan seperti dijamin Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Karenanya, pekerja dapat meminta pelaksanaan nota pemeriksaan pegawai pengawas ketenagakerjaan kepada Pengadilan Negeri setempat.

Ada kepastian
Usai persidangan, salah satu pemohon, M. Komarudin menyambut baik putusan MK ini karena ada kepastian hukum mengenai prosedur peralihan status pekerja PKWT menjadi PKWTT. Berbekal putusan MK ini, pekerja kontrak dapat menempuh upaya hukum ke pengadilan negeri untuk memperoleh penetapan status PKWTT atau sebagai pekerja tetap.  Sebab, selama ini penetapan pegawai ketenagakerjaan tidak bisa dilaksanakan.

“Contoh kontrak (PKWT) yang sudah batal demi hukum, tetapi kami bingung mau kemana karena tidak bisa diapa-apain. Yang ada kita malah di-PHK semua,” kata Komarudin di gedung MK. “Dengan putusan ini, setidaknya hasil kerja pegawai pengawas bisa ditindaklanjuti. Kalau pemerintah sudah mengeluarkan nota hasil pemeriksaan dan pengusaha nolak, pekerja bisa (juga) gugat ke PTUN,” sambungnya.

Menurutnya, pekerja kontrak sudah merajalela di setiap perusahaan atau perusahaan outsourcing termasuk instansi pemerintah. Padahal, aturan persyaratan pekerja kontrak dan outsourcing sudah secara jelas diatur dalam UU Ketenagakerjaan. “Tetapi, sekarang eksekusi penetapan pegawai pengawas ketenagakerjaan sebagai keputusan pejabat negara lebih jelas dan tegas melalui pengadilan,” tambahnya.
Tags:

Berita Terkait