Ini Beleid tentang Virtual Office di Jakarta
Berita

Ini Beleid tentang Virtual Office di Jakarta

PTSP Pusat justru tak tahu surat edaran itu.

Oleh:
FNH
Bacaan 2 Menit
Ini Beleid tentang <i>Virtual Office</i> di Jakarta
Hukumonline
Badan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (BPTSP) DKI Jakarta mengeluarkan Surat Edaran No. 41 Tahun 2015 tentang Surat Keterangan Domisili Badan Usaha (SKDBU) untuk Badan Usaha yang Berkantor Virtual (Virtual Office) dan Izin Lanjutannya. Edaran ini dikeluarkan untuk mengantisipasi banyaknya permohonan perizinan terkait kantor virtual dan dalam rangka memberikan kemudahan berusaha.

Ada empat poin penting yang diatur. Pertama, SKDBU pada perusahaan yang berkantor virtual (virtual office) dapat diterbitkan dengan ketentuan penandatanganan dilakukan paling lama 31 Desember 2015. Kedua, izin lanjutan untuk badan usaha yang berkantor virtual hanya SIUP dan TDP (Tanda Daftar Perusahaan) yang diterbitkan dengan ketentuan penandatanganan dilakukan paling lama 31 Desember 2015.

Ketiga, saat ini BPTSP sedang menunggu ketentuan atau kebijakan Menteri Perdagangan yang mengatur penerbitan SIUP dan TDP pada badan usaha yang berkantor virtual guna memberikan kepastian dalam menerbitkan SIUP dan TDP. Keempat, setelah kententuan/kebijakan Menteri Perdagangan diterbitkan, akan dilakukan evaluasi kembali atas surat edaran ini.

SE ini kemudian menimbulkan keluhan, terutama bagi orang-orang yang tengah berkecimpung dalam Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) di Provinsi DKI Jakarta. Selama ini, virtual office menjadi pilihan bagi UMKM untuk memperoleh SIUP dan TDP. Cara ini dipakai oleh UMKM yang memang memiliki modal kecil dan tidak memiliki biaya untuk menyewa sebuah gedung kantor di zona yang telah diatur.

Lalu bagaimana nasib UMKM setelah terbitnya SE ini? Chairman Jaringan Pengusaha Muslim Indonesia (JPMI) Bimo Prasetio berpendapat virtual office tersebut dibutuhkan bagi pengusaha yang baru akan membuka usaha (start up). Penggunaan virtual office merupakan solusi bagi perizinan usaha yang belum memiliki domisili berupa kantor atau rumah toko (ruko). Kendalanya utamanya adalah cost efisiensi.

“Mereka (UMKM), ketimbang harus nyewa kantor yang mahal mending budget dialokasikan untuk marketing, untuk produksi, atau untuk investasi lainnya karena kebutuhan kantor fisik itu belum tinggi buat mereka apalagi kalau misalnya home industri. Ngerjainnya dari rumah aja tapi mau bikin PT dan CV tidak bisa karena rumah tidak bisa untuk izin domisili,” kata Bimo saat diwawancarai hukumonline, Jumat (6/11).

Menurut Bimo, ada beberapa masalah yang muncul dari edaran PTSP Jakarta itu. Pertama, akan menyulitkan start up UMKM yang sudah memiliki badan usaha. UMKM dipastikan tak bisa memperpanjang keterangan domisili, dan juga tak bisa mendapatkan SIUP dan TDP saat sudah habis masa berlakunya.

Kedua, mendirikan badan usaha kian sulit. UMKM akan sulit berkompetisi. Semakin tinggi level bisnisnya semakin kuat persaingan. Agar tetap tidak tergilas oleh pertarungan bisnis itu, UMKM bisa mengandalkan virtual office. “untuk bisnis kecil sampai menengah virtual office merupakan solusi,” tambah Bimo.

Bimo berharap pemangku kebijakan memiliki jalan keluar atas permasalahan ini. Legalitas merupakan pondasi awal dalam berbisnis. SE ini dinilai justru menghambat berkembangnya kewirausahaan. Sehingga UMKM harusnya menjadi pengecualian dalam larangan penggunaan virtual office tersebut, atau mungkin persyaratan yang lebih diperketat.

Jika ada kekhawatiran dari sulitnya menagih pajak dan kemungkinan adanya perusahaan fiktif, Bimo mengatakan masih ada solusi lain seperti diminta untuk menginformasikan kantor-kantor lain jika ada, atau memberikan alamat tempat tinggal. “Sehingga tetap terdata dan terverifikasi,” imbuhnya.

Bussines Development Director Easybiz Leo Faratody menilai bahwa aturan ini justru bertentangan dengan serangkaian kebijakan pemerintah untuk mempermudah orang berusaha. Jika pemerintah ingin orang berusaha dengan baik, maka aspek legalitas merupakan bagian terpenting. Aturan pelarangan virtual office justru membuat ornag berfikir ulang untuk memulai berusaha.

“Saya dapat informasi katanya pemerintah akan merevisi aturan modal dasar di PT menjadi nol. Di satu sisi modalnya nol, enggak perlu setor tapi enggak bisa virtual office dan harus sewa ruko Rp80 juta setahun, orang enggak akan sanggup dan akan berfikir ulang kalau dihadang dengan aturan seperti. Dan lagi kalau mau berbisnis dengan baik aspek legalitas itu penting,” kata Leo.

Untuk itu, ia  meminta konsistensi dari pemerintah jika pemerintah ingin mempermudah orang untuk menjadi wirausaha. Serangkaian kebijakan dari hulu sampai hilir harus dipermudah. Ia mengingatkan jangan sampai berbagai kemudahan hanya dapat dinikmati oleh investor asing sementara kondisi sebaliknya dirasakan oleh UMKM dan pengusaha lokal. “Permintah harus aware soal masalah ini,” jelasnya.

Deputi Bidang Pelayanan Penanaman Modal BKPM Lestari Indah mengakui tak tahu terkait SE tersebut. BPTSP DKI Jakarta tidak berada di bawah BKPM dan bersifat koordinasi. Meskipun begitu Lestari berharap BPTSP DKI Jakarta berkoordinasi dengan PTSP Pusat.

Ada beberapa kebijakan yang tidak memerlukan koordinasi dengan PTSP Pusat atau BKPM seperti pemberian insentif dari daerah. Tetapi untuk virtual office, seharusnya bisa dikoordinasikan terlebih dahulu. “Soal virtual office harusnya dikoordinasikan terlebih dahulu, apalagi ini di DKI Jakarta. Biar seragam,” pungkasnya.
Tags: