Sustainable Finance, Mengubah Paradigma Serakah Menjadi Hijau
Fokus

Sustainable Finance, Mengubah Paradigma Serakah Menjadi Hijau

Roadmap menekankan perlunya aturan yang menjadi payung kebijakan Sustainable Finance.

Oleh:
RZK
Bacaan 2 Menit
Sustainable Finance. Foto: www.ojk.go.id
Sustainable Finance. Foto: www.ojk.go.id
Ekonomi, sosial, dan lingkungan sejatinya adalah tiga bidang yang berbeda, karena memiliki karakteristik masing-masing. Berbeda tetapi bukan mustahil disatukan. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) telah membuktikan bahwa ketiga bidang tersebut tadi dapat disatukan dalam satu konsep yang diberi nama “Sustainable Finance” atau Keuangan Berkelanjutan.

Sebagaimana dikutip dari laman resmi OJK, www.ojk.go.id, Sustainable Finance merupakan dukungan menyeluruh dari industri jasa keuangan untuk pertumbuhan yang dihasilkan dari keselarasan antara kepentingan ekonomi, sosial, dan lingkungan.

Kurang lebih setahun silam, tepatnya 5 Desember 2014, Roadmap Sustainable Finance (Roadmap) diluncurkan oleh OJK berkolaborasi dengan Kementerian Lingkungan Hidup. Dalam acara peluncuran, Ketua Dewan Komisioner OJK, Muliaman D Hadad mengatakan Roadmap berisi paparan rencana kerja program keuangan berkelanjutan untuk industri jasa keuangan di bawah pengawasan OJK.

Menurut Muliaman, Roadmap akan menjadi acuan bagi OJK dan pelaku industri jasa keuangan serta pihak lain yang memiliki kepentingan dalam mendukung pembangunan berkelanjutan yang dicanangkan pemerintah. Di dalam Roadmap telah dicanangkan sejumlah langkah-langkah strategis.

Salah satu langkah itu adalah mengadakan payung hukum untuk kebijakan keuangan berkelanjutan dan panduan pengawasan implementasi keuangan berkelanjutan. Selain itu, akan dibuat kebijakan yang mendorong lembaga jasa keuangan untuk menyalurkan pembiayaan ramah lingkungan.

"Contohnya, peningkatan porsi pembiayaan ramah lingkungan dengan insentif izin penurunan porsi pembiayaan produktif," kata Muliaman.

Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya berharap penyaluran pembiayaan yang ramah lingkungan sebagaimana dicanangkan dalam Roadmap, tak hanya dilakukan oleh perbankan saja, tetapi juga industri keuangan non bank hingga pasar modal yang berada di bawah pengawasan OJK.

Peluncuran Roadmap ini merupakan kelanjutan dari kerja sama program bertajuk “Green Banking”yang pernah terjalin antara Kementerian Lingkungan Hidup dan Bank Indonesia pada tahun 2010. Seiring dengan lahirnya OJK, program Green Banking pun dilimpahkan oleh BI, dan konsepnya diperluas tidak hanya untuk perbankan, tetapi lembaga jasa keuangan.

Misi utama Sustainable Finance seperti halnya Green Banking ketika pertama kali dicetuskan adalah mengubah paradigma dalam pembangunan nasional dari Greedy Economy (Ekonomi Serakah) menjadi Green Economy (Ekonomi Hijau).

Greedy Economy merupakan istilah dimana fokus ekonomi hanya terbatas pada pertumbuhan ekonomi yang dinilai melalui pertumbuhan Gross Domestic Product (GDP), melakukan eksploitasi kekayaan alam, dan aktivitas ekonomi yang bertumpu pada hutang. Sedangkan Green Economy merupakan perubahan pandang terhadap pembangunan ekonomi dengan memperhatikan keseimbangan 3P yakni people (sosial), profit (ekonomi), dan planet (lingkungan).

Analogi sederhananya, Greedy Economy itu ibarat tubuh manusia yang terus mengonsumsi makanan tanpa memandang gizi dan kesehatan sehingga tubuh menjadi gemuk atau bahkan obesitas dan rentan penyakit. Sementara, Green Economy itu ibarat tubuh yang selektif memilih makanan atau minuman yang akan dikonsumsi dengan mempertimbangkan gizi dan kesehatan sehingga tubuh berkembang, tetapi tetap sehat.

Dalam Kata Pengantar buku “Energi Bersih: Pedoman untuk Lembaga Jasa Keuangan”, Muliaman menyebutkan beberapa negara maju yang terlebih dulu telah menerapkan konsep Sustainable Finance. Cina, misalnya, pada tahun 2011 telah menginvestasikan AS$45,5 milyar untuk energi rendah karbon. Negeri Tirai Bambu itu berhasil memenuhi pangsa 20,2% sebagai pemasok energi rendah karbon dari negara-negara G-20.

Lalu, India mengenakan tarif pajak 15% atas penggunaan/konsumsi energi terbarukan. Besaran tarif pajak itu 50% lebih rendah jika dibandingkan dengan penggunaan energi konvensional seperti minyak bumi, gas bumi, dan batu bara. Pada tahun 2011, sektor energi rendah karbon India tercatat menunjukkan pertumbuhan tercepat kedua di antara negara-negara G-20.

Tidak mau kalah dengan sesama anggota G-20 seperti Cina dan India, Indonesia juga menegaskan komitmennya dalam mendukung terwujudnya Sustainable Development yang salah satu agendanya adalah menurunkan emisi karbon. Hal mana dibuktikan dengan terbitnya Peraturan Presiden Nomor 61 Tahun 2011 tentang Rencana Aksi Nasional Gerakan Rumah Kaca (RAN GRK).

Bahkan, empat tahun sebelum RAN GRK, Indonesia telah mengadopsi Global Reporting Initiative (GRI) yang merupakan pedoman dalam menyusun laporan berkelanjutan untuk mendorong setiap perusahaan mengkomunikasi secara transparan dan akuntabel kepada pemangku kepentingan atas kinerja ekonomi, lingkungan, dan sosial. Adopsi GRI itu termaktub dalam Pasal 66 ayat (2) UU Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.

Selain UU Perseroan Terbatas, melalui Pasal 68 UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, peran swasta dalam mengelola risiko lingkungan hidup dan sosial juga lebih dipertegas.

“Upaya untuk mengembangkan keuangan berkelanjutan, khususnya untuk energi bersih dan energi terbarukan akan terus dilakukan seiring dengan tantangan Indonesia untuk mencapai target penurunan emisi karbon,” papar Muliaman dalam Kata Pengantar.  

Roadmap menjabarkan tiga rencana kerja strategis Sustainable Finance yakni peningkatan supply pendanaan ramah lingkungan hidup; peningkatan demand (permintaan) bagi produk keuangan ramah lingkungan hidup; dan peningkatan pengawasan dan koordinasi implementasi keuangan berkelanjutan.

Untuk melaksanakan tiga rencana kerja strategis tersebut, Roadmap membagi dua tahapan. Pertama, Jangka Menengah (2015-2019) yakni penguatan keuangan berkelanjutan yang difokuskan pada kerangka dasar pengaturan dan sistem pelaporan, peningkatan pemahaman, pengetahuan serta kompetensi SDM pelaku industri jasa keuangan, pemberian insentif serta koordinasi dengan instansi terkait.

Kedua, Jangka Panjang (2020-2024) yakni kegiatan yang difokuskan pada integrasi manajemen risiko, tata kelola perusahaan, penilaian tingkat kesehatan bank dan pembangunan sistem informasi terpadu keuangan berkelanjutan.

Merujuk pada rincian jangka menengah di atas adalah penekanan tentang perlunya kerangka dasar pengaturan Sustainable Finance. Lebih spesifik Tabel Rencana Kerja Keuangan Berkelanjutan dalam Roadmap menyebutkan perlunya aturan yang menjadi payung kebijakan Sustainable Finance.

Bicara aturan payung tentunya merujuk pada peraturan perundang-undangan level undang-undang. Dalam Roadmap, beberapa kali memang disebutkan undang-undang lingkungan hidup, tetapi tidak spesifik menunjuk pada UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

Pertanyaannya, apakah UU Nomor 32 Tahun 2009 dirasa cukup untuk menjadi payung hukum?

Sejauh penelusuran hukumonline, tidak ada satupun istilah keuangan berkelanjutan dalam UU Nomor 32 Tahun 2009. Sebagai fondasi, beleid tersebut hanya menyebut istilah “Pembangunan Berkelanjutan” yang didefinisikan “upaya sadar dan terencana yang memadukan aspek lingkungan hidup, sosial, dan ekonomi ke dalam strategi pembangunan untuk menjamin keutuhan lingkungan hidup serta keselamatan, kemampuan, kesejahteraan, dan mutu hidup generasi masa kini dan generasi masa depan”.

Meskipun tidak ada penyebutan dan pengaturan khusus tentang Sustainable Finance atau Keuangan Berkelanjutan, UU Nomor 32 Tahun 2009 sepertinya dirasa cukup sebagai payung hukum oleh pemerintah. Hal tersebut terlihat dengan tidak adanya RUU yang secara khusus berkaitan dengan Sustainable Finance dalam daftar 160 RUU Program Legislasi Nasional DPR periode 2015-2019.

Makanya, Roadmap hanya mencanangkan pembentukan peraturan pada level pemerintah sebagai pelaksanaan undang-undang lingkungan hidup, asumsinya adalah UU Nomor 32 Tahun 2009. Ini menjadi bagian dari rencana kerja forum koordinasi keuangan berkelanjutan yang diantaranya terdiri dari beberapa kementerian seperti Kementerian Perindustrian, Kementerian Pertanian, Kementerian Koperasi dan UKM, Kementerian ESDM, Kementerian Keuangan, Bappenas, dan Kementerian Pekerjaan Umum; serta Bursa Efek Indonesia; dan lembaga penegak hukum.

Secara praktis, penyusunan peraturan di level pemerintah memang relatif lebih mudah ketimbang penyusunan undang-undang yang melibatkan proses politik. Lagipula, merujuk pada performa legislasi DPR belakangan ini yang nihil hasil, maka membentuk peraturan level pemerintah tentunya menjadi pilihan yang lebih realistis.

Namun begitu, dukungan DPR sebagai lembaga representasi seluruh rakyat Indonesia tetap dibutuhkan agar Roadmap Sustainable Finance dapat terwujud sesuai rencana dan harapan. Pada akhirnya, yang patut diingat dan dijaga adalah tujuan hakiki dari Sustainable Finance yakni keseimbangan 3P: profit, people, dan planet.
Tags: