Kapolri: Kritik Kepada Pemerintah Bukan Hate Speech
Berita

Kapolri: Kritik Kepada Pemerintah Bukan Hate Speech

Kecuali menyudutkan agama, suku dan warna kulit tertentu.

Oleh:
ANT
Bacaan 2 Menit
Kapolri: Kritik Kepada Pemerintah Bukan <i>Hate Speech</i>
Hukumonline
Kapolri Jenderal Polisi Badrodin Haiti menegaskan jika berita yang cenderung menyudutkan atau mengkritik pemerintah itu tidak termasuk dalam ujaran kebencian atau hate speech. Kecuali, jika kritikan yang disampaikan telah menyudutkan agama, suku dan warna kulit tertentu.

"Jika yang disampaikannya itu dalam bentuk kritik, itu tidak masuk hate speech. Kalau sudah menyudutkan agama tertentu, suku dan warna kulit itu sudah masuk hate spech," tegas Badrodin saat membuka Rakorda Pilkada Serentak 2015 Provinsi Sulsel, Selasa (24/11).

Badrodin mengatakan, Surat Edaran (SE) No. SE/6/X/2015 tentang Penanganan Ujaran Kebencian (Hate Speech) yang dikeluarkannya itu dimaksudkan untuk masyarakat agar tidak sering mengeluarkan ujaran kebencian pada suku, agama, ras dan warna kulit (SARA). Tak hanya itu, hate speech adalah tindak pidana yang berbentuk penghinaan, pencemaran nama baik, penistaan, perbuatan tidak menyenangkan, memprovokasi, menghasut dan penyebaran berita bohong.

"Jadi perlu dilihat dulu masalahnya seperti apa. Kalau itu masuk kategori penghinaan, pencemaran nama baik, penistaan, menghasut atau menyentuh SARA pasti akan dipidana," katanya.

Ia mengatakan, SE ini dikeluarkan agar masyarakat lebih berhati-hati dalam memberikan komentar atau berpendapat baik secara langsung ataupun melalui sosial media. Selain itu, SE ini juga merupakan salah satu upaya penegasan dari KUHP terkait dengan penanganan perkara yang menyangkut ujaran kebencian.

Badrodin mengungkapkan, jika pihaknya pernah menangani kasus hate speech di Magelang, Jawa Timur. Saat itu, ada gambar babi yang menggigit Alquran dan itu sudah dipastikan masuk dalam hate speech. "Contoh itu di Magelang, kita pernah tangani kasus hate speech ini. Ada gambar babi yang menggigit Alquran. Ini sudah masuk dalam penistaan agama dan harus ditindak," jelasnya.

Selain itu, ia mengingatkan kepada semua pihak agar senantiasa bisa hidup secara rukun dengan menjunjung tinggi nilai-nilai budaya serta toleransi. Untuk menciptakan kehidupan yang aman dan rukun antara satu sama lain, dirinya memberikan tanggungjawab penuh kepada jajarannya di daerah agar bisa menciptakan situasi keamanan dan ketertiban dalam masyarakat.

Munculnya SE ini memicu kekhawatiran dari sejumlah organisasi masyarakat sipil. Kekhawatiran itu  terutama terkait pelaksanaannya di lapangan. Aparat penegak hukum di lapangan, khususnya polisi, bisa saja menggunakan ujaran kebencian sebagai dasar untuk memproses seseorang padahal pernyataan yang bersangkutan hanya krtik.

Penyalahgunaan itu bisa terjadi karena luasnya lingkup pidana yang dikualifikasi sebagai bagian dari hate speech.Kepala Divisi Riset dan Pengembangan Jaringan LBH Pers, Agus Komarudin, misalnya, tegas-tegas menyebutkan kekhawatirannya tentang potensi bias di lapangan.

Ada empat dari tujuh tindak pidana dalam SE Kapolri yang paling rawan disalahgunakan. Keempatnya adalah penghinaan, pencemaran nama baik, penyebaran berita bohong, dan perbuatan tidak menyenangkan. Tiga tindak pidana lain yang disebut dalam SE Kapolri adalah penistaan, memprovokasi, dan menghasut. Empat tindak pidana terdahulu sangat fleksibel di lapangan.

"Selama ini ketentuan-ketentuan itu digunakan untuk membungkam kritik dan tidak ada kaitan dengan hate speech," kata Asep.
Tags:

Berita Terkait