Inilah Poin-Poin Perubahan UU Perlindungan Konsumen
Utama

Inilah Poin-Poin Perubahan UU Perlindungan Konsumen

Mekanisme penyelesaian sengketa konsumen termasuk yang akan ditata. Mengakomodasi kemungkinan sengketa dalam jual beli elektronik.

Oleh:
FITRI N. HERIANI
Bacaan 2 Menit
Guru Besar FH Unpar, Johannes Gunawan. Foto: pip.unpar.ac.id
Guru Besar FH Unpar, Johannes Gunawan. Foto: pip.unpar.ac.id
Kementerian Perdagangan sedang mempersiapkan revisi UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK). Sudah 15 tahun Undang-Undang ini dijalankan, dan bolong-bolongnya sudah kelihatan. UUPK lahir saat Indonesia baru saja menghadapi hantaman krisis moneter, dan menjadi salah satu prasyarat yang diajukan Dana Moneter Internasional (IMF) agar Indonesia diberi bantuan. Karena itu, saat dilakukan revisi.

Gagasan revisi itu antara lain dikemukakan Yohanes Gunawan. Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Parahyangan Bandung, ini berpendapat sudah saatnya UUPK direvisi sebab selama lima belas tahun berjalan penegakan hukum perlindungan konsumen masih menghadapi kendala. Salah satu penyebabnya UUPK punya kelemahan, kekurangan atau kekeliruan.

Kekeliruan, kekurangan dan kelemahan pengaturan dalam UUPK, kata Yohanes, bisa dilihat dari aspek gramatika, sistematika, tanggung jawab pelaku usaha, penyelesaian sengketa konsumen, dan kelembagaan. “UUPK harus dicabut dan dibentuk Undang-Undang baru karena UUPK dirancang dengan amat tergesa-gesa,” kata Yohanes dalam diskusi di Kantor Kementerian Perdagangan Jakarta, Selasa (24/11).

Sebagai pihak yang ikut menyusun naskah akademik perubahan UUPK sejak 2007, Yohanes mencatat setidaknya ada empat perubahan substansi dalam UUPK. Pertama, hak dan kewajiban konsumen dan pelaku usaha/penyedia jasa. Dalam naskah akademik, terdapat klausula bahwa negara memiliki kewajiban untuk melindungi konsumen, penggantian istilah pelaku usaha jasa menjadi penyedia/pemasok jasa, rincian barang/jasa yang dibagi menjadi bergerak dan tidak bergerak, serta beraga/berwujud untuk barang, dan profesional atau komersial untuk jasa.

Naskah akademik juga memuat pemisahan hak dan kewajiban konsumen dan pelaku usaha/penyedia jasa, terutama hak dan kewajiban konsumen dan penyedia jasa. Jasa profesional wajib memiliki kode etik, sementara jasa komersial yang bertujuan untuk mencari laba tidak diwajibkan memiliki kode etik.

Kedua, perubahan UUPK harus menjelaskan secara rinci tanggung jawab pelaku usaha barang dan jasa.

Ketiga, perjanjian baku dan klausula baku. Menurut Johanes, seiring berkembangnya waktu, bentuk kontrak pun turut berkembang. Saat ini dikenal tiga kontrak yakni negotiated contract, standardized contract, dan digital contract. Namun kontrak yang dilakukan dalam e-commerce justru belum melindungi konsumen. Ia sepakat untuk membentuk cross border resolution dalam UUPK terutama untuk transaksi yang dilakukan secara online.

“Misalnya membeli sebuah produk di sebuah situs online seperti Amazone. Digital contract atau e-commerce, hukum yang berlaku apakah dari penjual atau pembeli? Ini belum ada aturannya, choice of law belum ada, apalagi choice of forum. Maka harus diatur e-commerce ini dalam UUPK,” jelasnya.

Keempat, mengenai penyelesaian sengketa konsumen atau kelembagaan perlindungan konsumen. Pasal 23 UUPK menjelaskan sengketa konsumen dapat diselesaikan melalui dua cara yakni pengadilan dan luar pengadilan. UUPK menyebutkan putusan yang diselesaikan melalui jalur non litigasi atau BPSK adalah final dan mengikat. Kemudian atas putusan tersebut, ada pihak-pihak yang mengajukan keberatan melalui pengadilan. Yohanes menyebut alur penyelesaian semacam itu keliru.

Dalam revisi UUPK, putusan BPSK  final dan mengikat. Pelaku usaha wajib melaksanakan putusan dalam waktu tujuh hari kerja. Jika tidak, maka BPSK dipersilahkan untuk menyerahkan putusan kepada penyidik sesuai hukum acara pidana.

Guna memperkuat posisi BPKN, Yohanes mengusulkan BPKN merupakan badan yang dibentuk oleh Presiden untuk memberikan usul, melakukan evaluasi dan pengawasan negara untuk menjamin konsumen memperoleh perlindungan. Pemerintah pun wajib memberikan tanggapan atas usul, hasil evaluasi, dan hasil pengawasan BPKN, dan badan ini harus mengumumkan hasil evaluasi, usul, dan hasil pengawasan tersebut kepada masyarakat.

Sementara untuk usul kelembagaan perlindungan konsumen terdiri dari pemerintah dan pemerintah daerah, BPKN, BPSK, Badan Peradilan Umum, Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat (LPKSM), Perhimpunan/Perkumpulan/Kelompok Konsumen, dan asosiasi pelaku usaha.

Ekonom Senior Australia Indonesia Partnership for Economic Governance Ahmad Sauqi menilai upaya perlindungan konsumen di Indonesia belum optimal. Pasalnya, UU PK sebagai dasar hukum perlindungan konsumen masih memiliki banyak kelemahan. Institusi pelaksana masih lemah, belum menjadi bagian utama dalam kebijakan ekonomi dan konsumen yang belum berdaya.

Menurut Sauqi, keberhasilan perlindungan konsumen ditentukan oleh tiga hal. Pertama, kerangka kebijakan yang efektif, konsumen yang berdaya, dan kebijakan persaingan yang efektif. UUPK saat ini masih memiliki banyak kelemahan dalam gramatika dan sistematika materi, tidak memadai lagi dengan kemajuan ITC, dan kelemahan dalam pengaturan lembaga. “Sementara untuk materi perlindungan konsumen dalam UUPK sudah cukup komprehensif,” kata Sauqi dalam diskusi yang sama.

Sauqi mengatakan fungsi BPKN hanya sekadar memberikan saran dan pertimbangan kepada pemerintah. Karena itu ia berharap cakupan tugas BPKN perlu diperluas, struktur organisasi harus optimal, sumber daya semakin ditingkatkan, dan harus masuk dalam mekanisme penyusunan kebijakan. Mengenai BPSK, Sauqi lebih melihat persoalan kapasitas yang rendah dan timpang antar wilayah. Sumber daya daerah belum memadai untuk mendukung BPSK, dan ketidakpastian komitmen pemerintah daerah dan sumber daya yang sangat terbatas. Masalah tersebut membuat BPSK menjadi tidak optimal.

Sehingga, lanjut Sauqi, perlu adanya pemberdayaan konsumen yang dilakukan oleh pemerintah dan LPKSM. Kebijakan persaingan guna melindungi konsumen, dan menyusun strategi nasional perlindungan konsumen. Salah satu caranya, reformasi penyelesaian sengketa konsumen. Langkah berikutnya adalah kebijakan persaingan. Sauqi berpendapat Pemerintah harus melakukan sinkronisasi kebijakan ekonomi dan kebijakan persaingan, pengarusutamaan kebijakan persaingan, dan kebijakan yang tepat untuk pengembangan industri dalam negeri agar kepentingan konsumen tidak dikorbankan.

Koordinator Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Sudaryatmo menyampaikan bahwa sudah sepatutnya hak konsumen dimasukkan ke dalam UUD 1945. Selain itu, keberadaan lembaga konsumen lebih tepat berada di bawah Bappenas.

“Di negara lain, persoalan perlindungan konsumen itu erat hubungannya dengan aspek legal. Maka sebaiknya isu perlindungan konsumen di Indonesia juga dilakukan demikian,” pungkasnya.
Tags: