Bila Keberatan Soal Upah, Pekerja Dianjurkan Uji Materi PP Pengupahan
Berita

Bila Keberatan Soal Upah, Pekerja Dianjurkan Uji Materi PP Pengupahan

Mogok nasional tidak diatur di dalam UU, tapi yang ada mogok apabila di dalam perundingan antara perusahaan dan serikat pekerja tidak menemukan kesepakatan.

Oleh:
HAG
Bacaan 2 Menit
Kemalsjah Siregar. Foto: AMR
Kemalsjah Siregar. Foto: AMR
Advokat Kemalsjah Siregar mengatakan, sebaiknya serikat pekerja melakukan uji materi ke Mahkamah Agung apabila tidak setuju dengan PP No.78 Tahun 2015 tentang Pengupahan. Hal itu disampaikan Kemalsjah setelah menyampaikan materi mengenai ‘Dampak Pemberlakukan PP No.78 Tahun 2015 terhadap Hubungan Industrial antara Pengusaha dan Pekerja” di Hotel Aryaduta, Selasa (24/11).

“Bahwa kalau ada ketidaksetujuan dengan PP No.78 Tahun 2015 tersebut, kan ada hak untuk menempuh upaya hukum dalam bentuk uji materil ke MA (Mahkamah Agung). Kalau mereka tidak sepakat, tidak usah bikin mogok nasional karena pengarahan masa menyebabkan banyak orang menderita. Kita ini selalu berbicara hukum, tapi kenapa upaya hukum untuk menyelesaikan perselesaian itu tidak ditempuh. Yang ditempuh adalah monas ini,” ujar lelaki yang bisa disapa Kemal ini.

Menurutnya, mogok nasional tidak diatur dalam undang-undang, tapi yang ada adalah mogok apabila di dalam perundingan antara perusahaan dan serikat pekerja tidak menemukan kesepakatan. “Undang-undang tidak mengenal yang namanya mogok nasional. Yang ada adalah mogok akibat gagalnya perundingan dalam satu perselisihan. Nah, kalau tidak ada dasarnya untuk melakukan monas. Maka tidak ada dasarnya untuk memaksakan dari serikat yang berafiliasi pada federasi dan konfederasi, di mana konfederasi memerintahkan anggotanya untuk mogok,” jelasnya.

Kemal juga mengingatkan apabila pekerja mengikuti ajakan untuk melakukan mogok kerja, maka pekerja tersebut dapat dijatuhkan sanksi.

“Kalau misalnya untuk mengikuti ajakan konfederasi kemudian buruh itu tidak melakukan pekerjaan, dia dapat dijatuhkan sanksi. Karena dia meninggalkan pekerjaan tanpa izin. Jadi bukan berarti organisasi mengadakan acara kemudian menjadi benar secara hukum,” tambahnya.

Berdasarkan pengalaman Kemal, selama 19 tahun menangani mogok pekerja, tapi tidak ada satupun mogok yang sah menurut hukum. Dia mengigatkan, kalau mogok tidak sah dan lebih tujuh hari maka hubungan kerja bisa putus karena mereka dianggap mengundurkan diri.

“Mungkin pengurus serikat pekerja tidak paham dan tidak sabar. Akibatnya, ada cedera hubungan antara pekerja/serikat pekerja dengan perusahaan,” jelas Kemal.

Meski demikian, Kemal mengatakan bahwa dirinya akan menulis surat kepada Presiden Joko Widodo. Tujuannya, agar presiden tahu bahwa PP tersebut bertentangan dengan undang-undang. Dia memastikan hal itu dilakukannya bukan untuk kepentingan diri sendiri melainkan kepentingan bersama.  

“Paling tidak kalau saya kirim ke presiden, lalu presiden akan berkirim ke menteri teknis. Silahkan mereka godok didapurnya, mau diapain, ” ujarnya.

Menurut Kemal, terdapat ketidaksesuaian antara PP No.78 Tahun 2015 dengan UU No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Ketidaksesuaian itu ada di Pasal 92 UU No.13 Tahun 2003. Pasal 92 tersebut tidak mewajibkan pengusaha untuk menyusun struktur dan skala upah. “Pengusaha menyusun struktur skala upah dengan memperhatikan golongan, jabatan, masa kerja, pendidikan, dan kompetensi.”

Sedangkan pada Pasal 14 PP No.78 Tahun 2015 ayat (2) menyatakan bahwa struktur upah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib disusun oleh Pengusaha dengan memperhatikan golongan, jabatan, masa kerja, pendidikan, dan kompetensi.

“Bahwa ketentuan Pasal 14 (2) PP Nomor 78 bahwa struktur dan skala upah wajib disusun oleh pengusaha bertentangan dengan Pasal 92 UU Nomor 13 Tahun 2003. Di dalam UU tidak mewajibkan tetapi di PP malah mewajibkan. PP kan tidak boleh bertentangan dengan UU, peraturan yang dibawah tidak boleh bertentangan dengan peraturan yang ada diatasnya. Kita harus konsiaten dengan undang-undang.” ujarnya.

Menurut Kemal, sebaiknya pemerintah melakukan revisi terhadap PP tersebut. Namun, Kemal menyadari  hal tersebut tidak mungkin dilakukan pemerintah, apalagi PP tersebut baru dikeluarkan November ini. “Sebaiknya memang pemerintah melakukan revisi, tapi hal tersebut sulit diharapkan. Kalau kita mengaharapkan pemerintah untuk merevisi itu tidak akan dilakukan. Karena itukan memalukan diri sendiri,” tutupnya.
Tags:

Berita Terkait