Kata “Segera” dalam Pemeriksaan Tersangka Fleksibel
Berita

Kata “Segera” dalam Pemeriksaan Tersangka Fleksibel

Pemerintah meminta agar menolak atau tidak menerima permohonan ini.

Oleh:
ASH
Bacaan 2 Menit
KUHAP. Foto: SGP
KUHAP. Foto: SGP
Pemerintah menganggap Pasal 50 ayat (1) dan (2) UU No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) telah memberi jaminan perlindungan hak-hak tersangka (HAM) dalam proses pemeriksaan. Bahkan, aturan tersebut sudah menjamin kepastian hukum yang adil bagi semua warga negara.

“Sebaiknya Pasal 50 ayat (1) dan (2) KUHAP tidak perlu diubah atau ditambah seperti permintaan pemohon (FKHK),” ujar Direktur Litigasi Kemenkumham Nasrudin saat menyampaikan pandangan pemerintah dalam sidang lanjutan pengujian KUHAP yang dimohonkan FKHK di gedung MK, Rabu (25/11).

Pasal 50 ayat (1) KUHAP menyebutkan tersangka berhak segera mendapatkan pemeriksaan oleh penyidik dan selanjutnya dapat diajukan kepada penuntut umum. Ayat (2)-nya menyebutkan tersangka berhak perkaranya segera dimajukan ke pengadilan oleh penuntut umum.

Menurut dia kata “segera” dalam Pasal 50 ayat (1), (2) KUHAP justru mengandung fleksibilitas dalam penanganan tindak pidana. Soalnya, dalam praktik, ketika penyidik memeriksa tersangka seringkali tidak cukup dilakukan sekali, tetapi dimungkinkan berkali-kali sesuai tingkat kesulitan pembuktiannya. Tak jarang, guna mengungkap dan memperkuat pembuktian, tersangka seringkali dikonfrontir dengan sejumlah saksi.

Lagipula, sesuai Penjelasan Pasal 50 ayat (1), (2) KUHAP, kata “segera” bermakna agar tersangka/terdakwa tidak terlalu lama diperiksa dalam setiap tingkat pemeriksaan. Hal ini dimaksudkan menghindari kemungkinan  penyelesaian penanganan perkara pidana berlarut-larut atau terkatung-katung. Pada akhirnya, penanganan perkaranya tidak memiliki kepastian hukum. “Jadi, pasal itu sebenarnya sudah sejalan dengan asas peradilan cepat, biaya ringan, dan sederhana,” dalihnya.

Dia melanjutkan di tingkat penuntutan, selama ini penuntut umum mengacu pada Peraturan Jaksa Agung (Perja) No. 036/A/JA/09/2011 tentang SOP Penangangan Tindak Pidana Umum. Dalam Pasal 32 ayat (1), (2) Perja tersebut menetapkan jangka waktu pelimpahan perkara tindak pidana umum ke pengadilan paling lama 15 hari yang tidak sulit pembuktiannya dan 30 hari untuk perkara yang sulit pembuktiannya.  “Menolak permohonan pemohon untuk seluruhnya atau setidak-tidaknya tidak dapat diterima,” harapnya.

Sekjen FKHK, Saifudin Firdaus mengatakan akan mengajukan dua orang ahli pidana dan seorang saksi dalam persidangan berikutnya. “Kita akan ajukan dua ahli pidana dan satu saksi, seorang buruh yang berstatus tersangka dan kasusnya terkatung-katung selama dua tahun,” kata Saifudin.

Sebelumnya, FKHK mempersoalkan Pasal 50 ayat (1) dan (2) KUHAP terkait kata “segera” dalam pemeriksaan tersangka. Soalnya, aturan itu tidak memberikan jangka waktu yang pasti terkait pemeriksaan tersangka. Dalam praktiknya, banyak orang yang sudah ditetapkan menjadi tersangka, tetapi tidak juga dilakukan proses penuntutan dan melimpahkannya ke pengadilan dengan alasan masih melengkapi berkas penyidikan.

Tak jarang, lantaran tidak adanya batasan waktu ini, seseorang bisa saja menjadi tersangka selamanya atau seumur hidupnya. Hal ini justru bertentangan dengan hak tersangka mendapatkan proses hukum yang sederhana, cepat dan berbiaya ringan. Padahal, Putusan  MK No. 3/PUU-XI/2013 menyatakan kata “segera” Pasal 18 ayat (3) KUHAP dianggap tidak memberi kepastian hukum. MK memberi tafsir “surat pemberitahuan penangkapan harus sudah diberikan ke keluarganya dalam jangka waktu selama 7 hari.

Karena itu, FKHK meminta kata “segera” dalam Pasal 50 ayat (1) dan (2) KUHAP bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang tidak dimaknai berkas perkara tersangka harus diserahkan kepada penuntut umum dalam waktu paling lama 60 hari terhitung sejak penyidikan dimulai. Jika tersangka tidak ditahan, berkas perkara tersangka harus diserahkan kepada penuntut umum dalam waktu paling lama 90 hari terhitung sejak penyidikan dimulai.
Tags: