APH Pelaku Salah Tangkap Perlu Dijatuhi Sanksi Tegas
Berita

APH Pelaku Salah Tangkap Perlu Dijatuhi Sanksi Tegas

Sebab kerugian bukan hanya dialami korban tapi juga membebani keuangan negara.

Oleh:
ADY
Bacaan 2 Menit
APH Pelaku Salah Tangkap Perlu Dijatuhi Sanksi Tegas
Hukumonline
Pemerintah kembali berniat merevisi PP No. 27 Tahun 1983  tentang Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. Salah satu perubahan itu berkaitan dengan besaran ganti rugi karena salah tangkap. Berdasarkan ketentuan pemerintah itu, orang yang perkaranya dihentikan pada tahap penyidikan atau penuntutan bisa menuntut ganti rugi maksimal satu juta rupiah. Nilai ganti rugi ini dianggap sudah tak memadai lagi.

Direktur LBH Mawar Saron, John Izaac Minotty Pattiwael, mengaku mendukung revisi PP yang diterbitkan 32 tahun lalu itu. Namun, ia mengingatkan agar revisi PP itu tidak hanya fokus pada besaran ganti rugi tapi juga penjatuhan sanksi tegas kepada aparat penegak hukum  (APH) yang melakukan salah tangkap.

John berpendapat penindakan APH itu perlu dilakukan mengingat kerugian yang ditimbulkan akibat salah tangkap sangat besar. Dampaknya berkepanjangan. Misalnya, salah satu korban salah tangkap yang diadvokasi LBH Mawar Saron. Walaupun klien LBH Mawar Saron itu sudah dinyatakan bebas, yang bersangkutan masih mengalami trauma. Sampai-sampai dia tidak mau berbicara di hadapan publik untuk membeberkan apa yang dialaminya dalam perkara tersebut.

John berpendapat meskipun besaran ganti rugi terhadap korban salah tangkap dinaikkan sampai ratusan triliun, tetap tidak bisa mengganti kerugian yang dialami korban, baik citra individu dan waktu maupun kesempatan untuk berkarya dan trauma yang ditimbulkan. “Akibat salah tangkap, klien kami terpaksa kehilangan pekerjaan dan anaknya putus sekolah,” katanya dalam diskusi yang digelar ICJR di Jakarta, Kamis (26/11).

Untuk mengatur soal salah tangkap John mengusulkan kepada pemerintah untuk membentuk regulasi yang mampu memberikan sanksi tegas kepada APH yang melakukan salah tangkap. Jika hanya fokus pada besaran ganti rugi kepada korban salah tangkap sama saja pemerintah menyiapkan anggaran untuk kelalaian atau kesalahan yang dilakukan APH. Menurutnya, itu merugikan keuangan negara.

Karena itu, kata John, rencana menaikkan ganti rugi bagi korban salah tangkap harus selaras dengan penjatuhan sanksi tegas bagi APH. Jika itu tidak dilakukan maka langkah untuk mendorong agar APH bertindak profesional semakin susah. Ia membandingkan dengan ancaman pidana 10 tahun bagi pekerja bank yang tidak menjalankan prinsip kehati-hatian dalam bekerja. Menurutnya, ketentuan serupa perlu diterapkan untuk APH sehingga mereka melaksanakan tugas dan fungsinya secara hati-hati dan profesional.

John berharap sanksi yang dijatuhkan kepada APH sifatnya jangan hanya melalui mekanisme internal seperti pengaduan ke Propam. Sebab, dari pengalamannya selama ini, proses perkara yang diajukan ke Propam tindak lanjutnya tidak jelas. Ia mengaku pernah melaporkan tindakan aparat kepolisian yang diduga melakukan penembakan kepada kliennya sehingga tewas. Sayangnya, sampai saat ini pelaporan itu belum mendapat tindaklanjut seperti yang diharapkan.

Peneliti Senior ICJR, Anggara Suwahju, mengatakan besaran ganti rugi terhadap korban salah tangkap dan prosedur sebagaimana diatur dalam PP No. 27 Tahun 1983 tidak manusiawi. Regulasi itu mengatur ganti rugi yang bisa diberikan sekurang-kurangnya Rp5 ribu dan paling tinggi Rp1 juta. Jika menyebabkan korban sakit atau cacat sehingga tidak bisa bekerja atau mati maka besaran ganti rugi Rp3 juta.

“Kami mendesak revisi PP No. 27 Tahun 1983 tidak membatasi besaran maksimal (batas atas) ganti rugi terhadap korban karena kita tidak tahu berapa potensi kerugian yang dialami korban. Potensi kerugian itu berapapun besarnya harus diganti,” ucap Anggara.

Begitu pula dengan prosedur yang diatur dalam PP No. 27 Tahun 1983, menurut Anggara tidak manusiawi karena korban harus mengajukan permohonan pra peradilan terlebih dulu. Baginya ketentuan itu membuat korban harus mengajukan mekanisme gugatan untuk mendapat haknya. Menurutnya itu tergolong tidak masalah jika korban punya kemampuan ekonomi karena dia bisa menyewa pengacara profesional untuk mengajukan gugatan tersebut. Namun, jadi masalah jika korban tidak punya kemampuan ekonomi.

“Penelitian ICJR tahun 2014 menunjukkan dari 80 kasus praperadilan, 77 kasus diantaranya diajukan lewat kuasa hukum. Fakta itu menunjukkan orang miskin yang tidak memiliki akses pada kuasa hukum tidak mampu mengajukan gugatan ganti rugi tersebut,” papar Ketua Badan Pengurus ICJR itu.
Tags: