Terkait UU Perkebunan, Sosiolog Curiga Anggota DPR Tak Paham Konstitusi
Utama

Terkait UU Perkebunan, Sosiolog Curiga Anggota DPR Tak Paham Konstitusi

Akibatnya, pasal dalam UU Perkebunan yang dibatalkan MK kembali disahkan oleh DPR.

Oleh:
KAR
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi perkebunan. Foto: lcdc.law.ugm.ac.id
Ilustrasi perkebunan. Foto: lcdc.law.ugm.ac.id
UU No. 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan kini telah masuk dalam proses pengujian undang-undang dengan Perkara Nomor 122/PUU-XIII/2015 di Mahkamah Konstitusi. Tiga orang petani mengajukan pengujian pasal-pasal yang dianggap rawan digunakan untuk mengkriminalisasi masyarakat adat maupun petani yang hidup di sekitar lokasi perkebunan. Sebab, sejak tahun 2012 di Garut sudah terjadi kriminalisasi terhadap banyak petani yang menggarap lahannya di sekitar perkebunan.

“Perusahaan itu cenderung memilih jalan kriminaisasi. Mereka tidak mau untuk berunding dengan masyarakat. Parahnya, UU Perkebunan memfasilitasi hal itu,” ujar Antropolog Hukum Universitas Tanjung Pura Pontianak, Hermansyah dalam sebuah diskusi di Jakarta, Kamis (26/11).

Hermansyah menegaskan bahwa pasal-pasal yang memfasilitasi kriminalisasi masyarakat harus dihapuskan. Sebab, menurutnya jika pasal itu tetap dipertahankan maka masyarakat yang dirugikan. Menurutnya, perusahaan akan menjadikan UU Perkebunan sebagai alat untuk memaksa masyarakat menyerahkan tanahnya kepada perusahaan.

Adapun pasal yang diuji di MK antara lain Pasal 55 dan Pasal 107. Pasal 55 mengatur bahwa  setiap orang dilarang secara tidak sah mengerjakan, menggunakan, menduduki, dan/atau menguasai lahan perkebunan, tanah masyarakat atau tanah hak ulayat dengan maksud untuk usaha perkebunan, melakukan penebangan tanaman dalam kawasan perkebunan, atau memanen dan/atau memungut hasil perkebunan.

Sementara itu, Pasal 107 memuat sanksi pidana atas pelanggaran Pasal 55. Masyarakat yang melanggar larangan dalam Pasal 55 diancam pidana dengan pidana penjara paling lama empat tahun. Atau, denda paling banyak Rp4 miliar.

Upaya yang dilakukan oleh masyarakat sipil yang tergabung dalam Koalisi Rakyat Perkebunan menguji UU Perkebunan ke MK ini bukan yang pertama kali. Pada tahun 2010, mereka melakukan hal yang sama untuk pasal serupa. Pasal yang mengandung ancaman pidana menjadi materi pengujian UU No. 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan.

Dalam putusan No. 55/PUU-VIII/2010 MK mengabulkan gugatan masyarakat sipil terhadap UU Perkebunan tahun 2004. Pasal 21 dan pasal 47 yang mengandung ancaman pidana dianggap bertentangan dengan konsitusi. Sayangnya, empat tahun kemudian saat DPR mengesahkan UU Perkebunan yang baru, pasal pemidanaan masyarakat kembali tercantum.

“Ketika undang-undang ini akan direvisi, waktu itu pengesahannya dilakukan dalam paripurna sidang terakhir. Waktu itu sebetulnya tidak ada jadwal pengesahan UU Perkebunan. Agak gelap memang prosesnya. Kami masyarakat sipil sudah percaya diri pengesahan tidak akan jadi, tapi ternyata disahkan,” keluh Andi Muttaqien, Advokat dari Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam).

Andi mengatakan, dalam proses pengesahan UU Perkebunan tahun 2014, PDIP menjadi partai yang menolak. Ia pun menegaskan, jika sebagai partai pemenang pemilu saat ini, seharusnya pemerintah mendukung pengujian UU Perkebunan yang diajukan para petani.

Lebih dari itu, ia berharap PDIP bisa melakukan pembelaan di parlemen. Oleh karena itu, saat MK memanggil DPR ia pun sangat mengharapkan kehadiran perwakilan PDIP. Kehadiran itu, menurutnya penting sebagai bentuk pembelaan terhadap rakyat.

“Kami masih menyimpan pandangan mini Fraksi PDIP saat melakukan penolakan. Dokumentasi itu akan kami sampaikan sebagai bukti di persidangan,” tuturnya.

Sementara itu, Afrizal, Guru Besar Sosiologi Universitas Andalas Padang mengatakan bahwa ada indikasi DPR melakukan penolakan terhadap putusan-putusan MK. Ia pun menyangkan, jika DPR hanya untuk bersaing dengan MK harus mengorbankan rakyat. Menurutnya hal itu terlalu jahat.

Dirinya pun berharap partai politik sebagai kendaraan bagi para anggota dewan bisa memastikan anggotanya sebagai orang yang membela rakyat. Jika tidak, ia khawatir upaya judicial review akan kembali dimentahkan DPR dalam proses pengesahan undang-undang berikutnya. Hal ini menurutnya akan membawa dampak yang cukup luas.

“Saya curiga anggota dewan itu tidak terlalu paham konstitusi. Kalau tidak, tidak akan begini. Sudah dibatalkan MK pasal itu kembali muncul,” ujarnya.
Tags:

Berita Terkait