Seleksi Pejabat Lewat Pansel Perlu Ditinjau Ulang
Berita

Seleksi Pejabat Lewat Pansel Perlu Ditinjau Ulang

DPR butuh acuan baku dalam melaksanakan tugas seleksi pejabat publik.

Oleh:
ASH
Bacaan 2 Menit
Seleksi Pejabat Lewat Pansel Perlu Ditinjau Ulang
Hukumonline
Pengamat Hukum Tata Negara Refly Harun menilai sistem seleksi pimpinan lembaga atau komisi negara independen (jabatan publik) masih memiliki kelemahan terutama ketika pelaksanaanya diserahkan ke Panitia Seleksi (Pansel). Sebab, praktiknya, kuasa presiden menentukan nama calon-calon komisioner independen, seperti di KY dan KPK, sangatlah terbatas karena mandatnya sudah dialihkan ke Pansel.

“Model sistem seleksi dengan menggunakan Pansel mungkin perlu dikaji ulang, seharusnya ke depan presiden diberi ruang yang lebih bebas memilih orang-orang yang terbaik,” ujar Refly Harun dalam diskusi bertajuk “Evaluasi Sistem Seleksi Pejabat Publik” yang diselenggarakan MaPPI FHUI di Jakarta, Kamis (26/11).

Refly memandang selama ini pola rekrutmen komisi negara independen dengan menggunakan model Pansel dirasa kurang efektif dan tidak fleksibel. Calon-calon komisioner yang dihasilkan belum sepenuhnya memenuhi unsur kualitas, netralis, integritas, dan bisa diterima secara politik di DPR. “Yang terjadi alih-alih mendapatkan calon yang terbaik atau luar biasa justru menjadi paradoks,” kata Refly.

Menurutnya, meskipun presiden diberi keleluasaan memilih calon-calon komisioner independen, proses pemilihan oleh presiden tetap menerapkan prinsip transparan, akuntabel, obyektif, dan partisipasi publik. Misalnya, sebelum mengusulkan calon-calon komisioner KY atau KPK ke DPR, presiden tetap meminta masukan atau melibatkan masyarakat terkait penelusuran rekam jejak para calon. “Ini untuk melihat dan mengukur sejauh mana kapasitas, integritas, netralitas para calon dari sisi perpektif publik,” kata Refly.

Selanjutnya, DPR cukup menyetujui atau tidak menyetujui calon-calon komisioner KY dan KPK usulan presiden. Kalau ada beberapa calon yang tidak disetujui DPR, presiden bisa segera ajukan calon-calon lain. “Proses seleksi dengan Pansel yang berliku-liku saat ini tidak ada fleksibilitas untuk mencari orang-orang terbaik. Jadi, tidak perlu pakai Pansel-Panselan agar bisa lebih cepat,” kata dia.

Dia juga mengusulkan sistem pergantian kepemimpinan di KY dan KPK perlu dilakukan secara bertahap atau tidak sekaligus atau lazim disebut stagged system, seperti seleksi calon hakim MK. Sistem ini dimaksudkan untuk menjaga kontinuitas kepemimpinan agar bisa menjaga ritme kerja di lembaga independen tersebut. “Sistem ini seharusnya ada, jangan semua komisioner diganti. Jadi, undang-undang seharusnya mengatur sistem penggantian komisioner tidak harus sekaligus,” tambahnya.

Tiga kelemahan
Dalam kesempatan yang sama, Pengajar Sekolah Tinggi Hukum Jentera, Bivitri Susanti, mengungkapkan berdasarkan catatan PSHK setidaknya ada 17 model pemilihan pejabat publik oleh DPR yang diatur dalam konstitusi dan undang-undang. Namun, seleksi pejabat publik terutama seleksi komisioner KY dan KPK setidaknya ada tiga kelemahan yakni tidak ada kejelasan metode, tidak ada kejelasan waktu (jadwal), dan pertanggungjawaban publik.

Bivitri memaparkan tidak ada metode pemilihan yang memadai terutama saat proses pemilihan di DPR yang mengabaikan prinsip transparansi dan bantuan ahli. Tak jarang, saat uji kepatutan dan kelayakan anggota DPR menanyakan hal-hal yang tidak substansial. “Makanya, penting bagi DPR untuk melibatkan orang-orang berkompeten dalam proses pemilihan,” usulnya.

Ketidakjelasan jadwal pemilihan seringkali mengakibatkan penundaan hingga saat-saat berakhirnya masa jabatan pimpinan KY dan KPK, sehingga menimbulkan polemik dan sangkaan. Ironisnya, penundaan ini kerap terjadi dalam proses pemilihan jabatan publik yang penting.

“Pemilihan calon komisioner KPK hingga saat ini masih tertunda, padahal masa jabatan pimpinan KPK saat ini sebentar lagi habis. Polemik yang sama muncul dalam pemilihan calon komisioner KPK pada tahun 2011 lalu,” ungkapnya.

Hingga saat ini, lanjutnya, berbagai proses seleksi selama ini, DPR tidak pernah menjelaskan apa indikator penilaian dan argumentasi terpilihnya seseorang dalam jabatan publik tersebut. Meski proses uji kelayakan dilakukan terbuka, hingga kini tidak pernah ada penjelasan terkait kriteria dan proses seleksi pemilihan.

“Yang lebih realistis, saya mengusulkan tiga kelemahan tersebut bisa diperjelas melalui Peraturan DPR agar bisa menjadi acuan DPR melaksanakan tugas seleksi pejabat publik,” sarannya.
Tags: