SP PLN Menggugat, DPR Menjawab
Berita

SP PLN Menggugat, DPR Menjawab

Prinsip usaha sehat tetap dipakai, tetapi peran pemerintah tetap kuat.

Oleh:
ASH
Bacaan 2 Menit
SP PLN Menggugat, DPR Menjawab
Hukumonline
Mengapa tarif, harga jual, dan biaya sewa jaringan listrik setiap daerah berbeda-beda? Benarkah karena campur tangan swasta yang berlebihan dalam pengelolaan bisnis PLN, sehingga ada pelanggaran konstitusi dalam payung hukumnya? Pertanyaan-pertanyaan inilah antara lain yang mendorong Serikat Pekerja PLN mempersoalkan UU Ketenagalistrikan ke Mahkamah Konstitusi.

Ketika diberikan kesempatan menyampaikan pandangan, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) tak menampik bahwa harga jual tenaga listrik dan sewa jaringan tenaga listrik didasarkan prinsip usaha yang sehat. Persaingan tak mungkin dihindari. Namun, Pemerintah tetap ikut berperan serta dalam pengelolaan, pengaturan, dan pengawasan sesuai konsep penguasaan negara yang diamanatkan Pasal 33 ayat (2) UUD 1945. Pada persidangan sebelumnya, Pemerintah juga membantah melakukan liberalisasi tarif listrik.

Anggota Komisi III DPR, I Putu Sudiartana, meminta pemohon tak tagu atas peran negara. “Tidak perlu meragukan kuatnya peran negara melalui pemerintah dan pemerintah daerah dalam mengontrol pengelolaan ketersediaan tenaga listrik bagi masyarakat termasuk soal tarif, harga jual, sewa jaringan tenaga listrik,” ujar wakil DPR itu dalam sidang uji materi UU No. 30 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan.

Putu mengakui penerapan prinsip usaha yang sehat lantaran membuka peluang unsur swasta  dalam pengelolaan listrik mengakibatkan tarif listrik di masing-masing daerah bisa berbeda-beda. Namun, pemerintah dan pemerintah daerah tetap diberi kewenangan menyetujui dan menetapkan usulan tarif listrik bagi konsumen, harga jual, dan sewa jaringan tenaga listrik dari pemegang izin usaha penyediaan tenaga listrik. “Jadi, peran negara tetap kuat, ini juga selaras dengan Pasal 18A ayat (2) UUD 1945,” tegasnya.

Pasal 18A ayat (2) UUD 1945 menyebutkan “hubungan keuangan, pelayanan umum, pemanfataan sumber daya alam dan sumber daya lainnya antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah diatur dan dilaksanakan secara adil dan selaras berdasarkan undang-undang.”

Menurutnya, penerapan prinsip usaha yang sehat sebagai konsekuensi logis dimungkinkannya peran BUMN/BUMD, swasta, koperasi, dalam usaha penyediaan tenaga listrik secara terintegrasi terutama di daerah yang belum mendapat pelayanan tenaga listrik. Tarif tenaga listrik bagi konsumen secara berbeda-beda di setiap wilayah usaha pun konsekuensi otonomi daerah. Pemerintah daerah berwenang mengatur harga jual, sewa jaringan, dan tarif tenaga listrik bagi konsumen.“Pasal-pasal yang dimohonkan pengujian sama sekali tidak bertentangan dengan UUD 1945,” katanya.

Serikat Pekerja PLN mempersoalkan Pasal 10 ayat (2), Pasal 11 ayat (1), Pasal 16 ayat (1), Pasal 33 ayat (1), Pasal 34 ayat (5), Pasal 56 ayat (2) UU Ketenagalistrikan terkait privatisasi listrik. Pemohon menganggap pasal-pasal itu mengakibatkan hajat hidup orang banyak dapat dikuasai korporasi swasta nasional, multinasional, dan perorangan. Akibatnya, negara tidak memiliki kekuasaaan atas tenaga listrik.

Pasal-pasal itu intinya memuat pengelolaan usaha penyediaan tenaga listrik secara terpisah atau unbundling (pemisahan proses bisnis PLN) dengan menerapkan prinsip usaha yang sehat/memupuk keuntungan usaha, perlakuan tarif tenaga listrik yang berbeda setiap regional/wilayah usaha, dan membuka selebar-lebarnya peran korporasi swasta, multinasional, atau perorangan mengelola dan mengusai tenaga listrik.

Menurut pemohon, pasal-pasal itu mengakibatkan privatisasi sektor ketenagalistrikan dan tenaga listrik menjadi komoditas yang dapat diperjualbelikan antarpengusaha, antarnegara, pelaku usaha dengan konsumen semata-mata memupuk keuntungan usaha yang menyebabkan kerugian terhadap para pemohon. Misalnya, dipastikan terjadi kenaikan harga jual listrik yang berlipat-lipat.

Direksi PLN saat ini tengah melakukan proses unbundling vertical sesuai wilayah masing-masing dan menuju unbundling horizontal per operasi bisnis yang menyerahkan operasi distribusi dan transmisi PLN ke perusahaan tertentu. Demikian juga pekerjaan administrasi (back office) kepada perusahaan lain.  Padahal, pengoperasian ini bukan usaha penunjang, tetapi usaha operasi bisnis inti dari PLN.

Bagi pemohon, inilah yang menyebabkan kenaikan tarif tenaga listrik secara drastis dan perubahan status perusahaan. Belum lagi, keberadaan SDM PLN dapat diintervensi pemilik modal (pembeli PLN sesuai region) dan berakibat PHK massal.

Dalam petitumnya, DPP SP PT PLN meminta Pasal 10 ayat (2), Pasal 16 ayat (1) huruf d, e, Pasal 56 ayat (2), Pasal 33 ayat (1), dan Pasal 34 ayat (5) UU Ketenagalistrikan dibatalkan karena bertentangan dengan UUD 1945. Pasal 11 ayat (1) UU Ketenagalistrikan dinyatakan inkonstitusional sepanjang frasa “badan usaha swasta, koperasi, dan swadaya masyarakat yang berusaha di bidang penyediaan tenaga listrik”. Pasal 11 ayat (1) inkonstitusional bersyarat sepanjang frasa “badan usaha milik daerah” tidak dimaknai “dilaksanakan bersama PT PLN sebagai BUMN di bidang kelistrikan sebagai perusahaan induk.
Tags: