Kepala PPATK Muhamad Yusuf mengatakan mayoritas kepala daerah yang terindikasi melakukan pencucian uang itu berada di luar pulau Jawa, baik itu tingkat provinsi, walikota/bupati. Modus yang dilakukan beragam. Kejahatan asalnya berbeda-beda. Ada korupsi, ada yang illegal logging. "Kita lihat ukuran profilnya. Semisal, sebagai kepala daerah yang tidak punya perusahaan, dan tidak punya warisan tapi kok uangnya banyak," kata Yusuf saat diskusi di gedung PPATK, Kamis (26/11).
Selain itu, lanjutnya, ada juga yang mengaku memiliki perusahaan. Namun tetap saja akan muncul kecurigaan. Seperti halnya dalam bercocok tanam, ada kalanya masa tanam hingga panen, dan seterusnya, uang juga mengalir terus mengikuti sistem. Kondisi ini memunculkan kecurigaan PPATK dan sering digunakan untuk TPPU.
PPATK telah menyerahkan hasil analisisnya ke lembaga-lembaga penegak hukum khususnya Kejaksaan Agung, namun hingga kini belum ada tindak lanjut. Karena itu Yusuf menyayangkan sikap Kejaksaan Agung yang belum menindaklanjuti laporan PPATK terkait sembilan kepala daerah yang diduga melakukan tindak pidana pencucian uang. "Kita belum menerima feedback nya, apakah dihentikan atau ada tindaklanjutnya. Itu tidak jelas. Bisa tanya ke Jampidsus. Kalau tidak dibeginikan saya kira tidak akan jalan," keluhnya.
PPATK juga memburu pengusaha yang melakukan pengemplangan pajak. Ia ingin pihaknya membantu pemerintah untuk meningkatkan penerimaan pajak melalui data-data yang didapat oleh PPATK. Salah satu caranya adalah PPATK memberi laporan hasil analisis (LHA) kepada Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan. Dari 116 LHA yang dikirim ke Ditjen Pajak, lebih dari 50 persen sudah dieksekusi. "Mendapat hasil Rp2,4 triliun. Kami lihat progress-nya bagus ke depan," ujarnya.
Saat ini Yusuf masih memerintahkan timnya untuk menelusuri beberapa hasil analisis pengusaha yang diduga menyembunyikan hartanya agar tak terlapor dalam surat pemberitahuan wajib pajak. Dalam proram DJP yakni tahun pengampunan pajak, pengusaha diharapkan dapat memafaatkannya. Jika tidak, PPATK tak segan membongkarnya.
Direktur Pemeriksaan dan Riset PPATK Ivan Yustiavandana mengatakan modus secara umum adalah banyak pelaku usaha yang menyembunyikan transaksinya di rekening pribadi sehingga SPT tidak mecerminkan transaksi sebenarnya. Atau, jumlah laporan produksi tidak sesuai dengan produksi yang sebenarnya. “Sehingga SPT tidak mencerminkan transaksi yang sebenarnya,” kata Ivan.
Saat ini, mengaku PPATK sudah mengantongi data-data pengemplang pajak tersebut. Data itu sudah terang-benderang dan tinggal bergulir. Bila data tersebut nantinya dieksekusi, penerimaan pajak tak lagi hanya sekitar Rp1.600 triliun, tapi bisa mencapai Rp6.100 triliun.