Pengadilan Belum Seragam dalam Memandang Nikah Beda Agama
Berita

Pengadilan Belum Seragam dalam Memandang Nikah Beda Agama

Alasannya karena hakim memiliki kebebasan dalam memeriksa dan mengadili perkara yang diterimanya.

Oleh:
NNP
Bacaan 2 Menit
Bedah buku ”Tanya Jawab Tentang Nikah Beda Agama Menurut Hukum di Indonesia” di Yogyakarta, Jumat (27/11). Foto: NNP
Bedah buku ”Tanya Jawab Tentang Nikah Beda Agama Menurut Hukum di Indonesia” di Yogyakarta, Jumat (27/11). Foto: NNP
Tidak bisa dipungkiri bahwa praktik penyelundupan hukum bagi pasangan beda agama yang ingin melangsungkan pernikahan di Indonesia masih kerap dilakukan. Paling tidak ada empat cara populer yang sering dilakukan antara lain, dengan penetapan pengadilan, perkawinan dilakukan menurut masing-masing agama, penundukan sementara pada salah satu hukum agama, dan menikah di luar negeri.

Manajer Klinik dan Penerbitan Hukumonline, Imam Hadi Wibowo, mengatakan, permohonan melalui penetapan pengadilan menjadi cara yang lebih populer dibandingkan dengan cara lainnya. Menurutnya, ketentuan dalam UU Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependukukan (UU Adminduk) sekilas memberikan celah hukum bagi pasangan beda agama yang ingin melakukan pencatatan pernikahan.

Pasal 35 UU Adminduk dan penjelasannya menyatakan bahwa pencatatan perkawinan berlaku bagi perkawinan beda agama dengan melalui penetapan pengadilan. Pasangan yang menikah beda agama meminta permohonan ke pengadilan dengan meminta pengadilan agar menyetujui permohonan pencatatan pernikahan beda agama itu ke kantor catatan sipil (KCS) setempat.

“Penetapan pengadilan dalam UU Adminduk jadi cara populer untuk legalkan kawin beda agama,” kata Imam dalam acara bedah buku ”Tanya Jawab Tentang Nikah Beda Agama Menurut Hukum di Indonesia” yang digelar di Perpustakaan UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Yogyakarta, Jumat (27/11).

Dikatakan Imam, sekilas memang implementasi terhadap aturan dalam UU Adminduk mudah dan legal untuk dilakukan. Akan tetapi, ada kendala dalam hal pelaksanaan terutama pandangan pengadilan yang belum seragam dari masing-masing pengadilan di Indonesia.

Sebagai contoh, penetapan Pengadilan Negeri Surakarta Nomor: 112/Pdt.P/2008/PN.Ska. Secara singkat, penetapan tersebut mengabulkan permohonan yang meminta ketua pengadilan negeri untuk memberikan izin kepada para pemohon untuk melangsungkan perkawinan beda agama di kantor dinas kependudukan dan catatan sipil.

Ada sejumlah hal yang menjadi pertimbangan hakim dalam penetapan tersebut. Pertimbangan yang pertama, bahwa perbedaan agama tidak merupakan larangan untuk melangsungkan perkawinan sebagaimana ketentuan Pasal 8 UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Selain itu, Pasal 29 UUD 1945 pada dasarnya memberi hak kepada seseorang untuk mempertahankan agamanya.

Dasar hukum lain yang dipakai hakim, yakni Peraturan Perkawinan Campuran (Regeling op de gemende Huwelijken S. 1898 No. 158) dimana dalam aturan itu diatur mengenai pernikahan beda agama. Pasal 6 ayat (2) aturan itu menyebutkan bahwa dalam hal hukum suami in casu agama Islam tidak menentukan cara-cara pelaksanaan perkawinan agama di hadapan siapa perkawinan dilaksanakan.

Dimana dalam hal ini UU Nomor 1 Tahun 1974 tidak mengatur mengenai perkawinan beda agama. Maka, ketua pengadilan negeri bisa memerintahkan pejabat dinas kependudukan dan catatan sipil untuk melakukan pencatatan tentang nikah beda agama. Selain itu, hakim juga mempertimbangkan Pasal 35 huruf a UU Adminduk bahwa pencatatan perkawinan berlaku pula bagi pernikahan beda agama melalui penetapan pengadilan.

“Atas dasar pertimbangan itu, hakim mengabulkan permohonan pemohon untuk melangsungkan pencatatan pernikahan beda agama,” imbuhnya.

Imam menambahkan, ada hal menarik yang dalam penetapan pengadilan di Surakarta ini. Dalam penetapan, hakim mengakui bahwa sebetulnya perkawinan yang telah dilakukan oleh para pemohon adalah tidak sah berdasarkan agama masing-masing dari pemohon. Sehingga, dosa yang terjadi dalam hubungan antara para pemohon merupakan tanggung jawab pemohon terhadap tuhannya masing-masing. Lebih lanjut, hakim juga tidak mau ikut menanggung dosa tersebut.

Dalam praktik peradilan, kata Imam, jarang sekali ada hakim yang memberikan pernyataan penyangkalan (semacam discalimer, red) dalam memberikan penetapan. Terlebih lagi terkait dengan hubungan antara manusia dengan tuhannya. Meski begitu, hakim menilai bahwa negara melalui peraturan perundang-undangan hanya memberi solusi perkawinan bagi kedua mempelai. Belum seragamnya penetapan peradilan, terlihat dari penetapan Pengadilan Negeri Bogor Nomor: 527/Pdt/P/2009/PN/Bgr.

Awalnya, permohonan ini dimohonkan oleh laki-laki muslim (pemohon I) dan wanita katolik (pemohon II). Kondisinya, pemohon II sudah pernah menikah secara Katolik dan telah bercerai dengan suaminya. Sehingga, ada sejumlah pertimbangan yang dirujuk oleh hakim. Yang pertama adalah berdasarkan pandangan Majelis Ulama Indonesia (MUI).

MUI berpandangan bahwa perkawinan antara muslim dengan non-muslim tidak diperbolehkan karena mesti berdasarkan Al-Quran dan Hadists. Sehingga, ketentuan Pasal 2 ayat (1) UU Nomor 1 Tahun 1974 mengenai syarat sah perkawinan tidak mungkin dilakukan oleh para Pemohon yang memiliki perbedaan agama. Selain itu, hakim juga membertimbangkan ajaran Katolik dimana bercerai berarti telah melanggar iman Katolik.

Oleh karena pemohon II telah menikah namun telah bercerai dan kemudian menikah lagi dengan seorang muslim, maka hakim berpandangan bahwa pernikahan yang dilakukan pemohon II tidak mendapat berkat dari berdasarkan ajaran Katolik. Sehingga, dalam pertimbangannya hakim menghormati hukum agama yang dianut para pemohon. Permohonan tersebut, tidak berdasar hukum dan tidak dapat dikabulkan.

“Kita di sini ngga bisa bilang tentang sah atau tidak sah nikah beda agama. Karena jika dilihat, ada dualisme di dua pengadilan yang berbeda,” kata Imam.

Di tempat yang sama, Dosen Prodi Filsafat Agama Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Fahruddin Faiz, mengatakan, paling tidak ada tiga hal yang mesti dipastikan sejak awal terkait persoalan nikah beda agama ini. Pertama, perlu ditegaskan mengenai seberapa penting agama bagi hidup seseorang.

Kedua, mesti dipastikan bahwa pernikahan itu urusan duniawi atau urusan agama. Ketiga, sejauh mana nanti agama ‘bermain’ dalam urusan rumah tangga. “Pastikan dulu komitmen, jadi diatur apapun mau. Kalau agama tidak penting, nggak perlu mikir capai-capai apakah boleh nikah beda agama,” kata Faiz.

Faiz menambahkan, penting untuk sejak awal memastikan komitmen seseorang terhadap agama yang dianutnya. Sebab, jika tidak ada komitmen, apapun pendapat serta dalil hukum agama yang diberikan tidak akan dipatuhi oleh orang tersebut. “Orang yang meributkan soal nikah beda agama, harusnya dia komitmen sama agama. Kalau tidak, ngapain kamu ributkan orang kamu tidak komit kok. Nanti dikasih dalil apapun nanti kamu pelintir sesuai kepentingannya. Jadi yang penting adalah komitmen,” pungkasnya.
Tags:

Berita Terkait